Senin, 08 Juni 2009

VISI CAPRES

Atasi Karut- marut Sistem Pendidikan

Jakarta, Kompas - Sistem pendidikan di Indonesia harus mampu menyiapkan anak-anak Indonesia untuk berkompetisi di masa depan. Sistem itu juga harus mampu membangun kultur bangsa yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, gotong royong, budi pekerti, termasuk mengasah budaya malu.

Inilah yang menjadi tantangan para calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia mendatang untuk membenahi karut-marut pendidikan di Indonesia.

Tim kampanye ketiga pasang capres-cawapres menyampaikan solusi permasalahan pendidikan kepada Kompas, Senin (8/6) di Jakarta.

Bagi pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, pendidikan yang akan dibangun adalah yang menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas dan mandiri.

”Politik ekonomi kerakyatan menjadi fundamental,” kata Sekretaris II Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo Hasto Kristiyanto.

Dengan visi pendidikan seperti itu, negara tidak akan mengambil alih kewenangan menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa. Yang terjadi selama ini, kelulusan siswa sekolah ditentukan melalui nilai ujian nasional. ”Selama ini kami tidak setuju dengan sistem ujian nasional. Yang menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa adalah gurunya. Guru yang paling tahu potensi siswa itu karena sehari-hari berinteraksi dengan siswa,” kata Hasto.

Mega-Prabowo, lanjut Hasto, dalam konteks pendidikan, menghargai budaya inovasi atau penemuan. Dengan demikian, kreativitas siswa dapat berkembang. Keseragaman yang selama ini diterapkan dalam kurikulum pendidikan nantinya ditiadakan.

Pendidikan yang dikembangkan nanti bukan hanya secara formal, tetapi juga nonformal dalam perspektif kebudayaan. Pembangunan pendidikan pun menyatu dengan program gerakan ibu-anak sehingga tidak sepotong-sepotong. Hal itu pun akan diselaraskan dengan peningkatan kualitas guru.

Dalam praktiknya, ujar Hasto, Mega-Prabowo akan menerapkan anggaran pendidikan bukan semata-mata 20 persen. Namun, 20 persen itu dijadikan sistem manajemen, kurikulum, serta mendorong proses berkebudayaan di Indonesia. Dengan demikian, setiap warga Indonesia berhak atas pendidikan yang seluas-luasnya. Pendidikan tinggi tidak bisa dengan mempertimbangkan status sosial siswanya.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai hal itu di antaranya menjamin pendidikan yang terjangkau dengan membebaskan biaya pendidikan hingga sekolah menengah atas.

Upaya lainnya, melakukan reformasi politik pendidikan dengan memperbarui kurikulum agar lebih berorientasi pada pengembangan anak didik, penguatan karakter nasional lewat materi kebudayaan dan pendidikan humaniora, serta menghapus ujian nasional.

SBY: Realisasi 20 persen

Max Sopacua dari Tim Kampanye Nasional Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengemukakan, realisasi, tindak lanjut, dan pengawasan pemanfaatan anggaran pendidikan minimal 20 persen dianggap sebagai langkah awal perbaikan mutu pendidikan secara menyeluruh. Sistem pendidikan yang sudah ditetapkan dan dijalankan saat ini akan dilanjutkan tanpa bongkar pasang dan perubahan yang mengorbankan murid.

”Kuncinya adalah good governance. Perlu tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian, anggaran pendidikan yang besar bisa berdampak banyak, tidak hanya pada biaya pendidikan yang lebih murah,” ujar Max yang juga menjadi Ketua DPP Bidang Pendidikan, Pemuda, Komunikasi, dan Informatika di Jakarta.

Max mengakui, biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi, memang mahal dan ini akan dirintis untuk terus diturunkan dengan pemanfaatan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen. ”Selama ini banyak anggaran yang bocor di pusat dan di daerah sehingga alokasi untuk pendidikan tidak maksimal,” ujarnya.

Mengenai mutu pendidikan, Max mengemukakan, prestasi pelajar Indonesia tidak kalah dari pelajar negara maju. Masalahnya memang prestasi itu masih belum merata. Untuk menjaga kesinambungan pembangunan di bidang pendidikan, SBY-Boediono memastikan tidak akan ada perubahan sistem pendidikan secara prinsip lima tahun ke depan yang bisa merugikan peserta didik. ”Kami sadar, jika perubahan dilakukan setiap ganti menteri, peserta didik yang paling menjadi korban,” ujarnya.

JK-Win: Dari tingkat dasar

Anggota Tim Kampanye Jusuf Kalla-Wiranto, Saleh Husin, di Jakarta, Senin, menilai, permasalahan pendidikan tidak bisa sekadar diselesaikan dengan keberpihakan dari segi anggaran pendidikan yang sudah diamanatkan konstitusi dengan alokasi 20 persen dari APBN.

Bangsa ini juga harus menyelesaikan problem pendidikan dengan niat baik, profesional, dan keberpihakan yang jelas pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. ”Problem pendidikan saat ini bukan saja kualitas lulusan lembaga pendidikan nasional yang masih sulit bersaing, tetapi juga mulai terlupakannya budaya bangsa” ujarnya.

Visi pendidikan nasional harusnya memang bisa mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter dan kuat memegang identitas kebangsaan serta tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh nilai asing.

Sistem pendidikan nasional saat ini juga menghadapi persaingan dengan lembaga pendidikan asing yang sudah merambah masuk ke dalam negeri. Ini sebagai akibat dari pasar bebas dan belum adanya pembelaan yang jelas dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan nasional.

Saleh Husin juga mengakui mahalnya biaya pendidikan yang sering kali menjadi hambatan bagi banyak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan.

”Di sinilah negara harus berperan,” katanya. (IDR/INU/MAM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog