Selasa, 30 Juni 2009

Mematahkan Mitos Presiden Suku Jawa

Amich Alhumami
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom

Jawa adalah episentrum politik nasional yang dipenuhi banyak mitos. Salah satu mitos yang masih berkembang adalah presiden Indonesia harus bersuku Jawa. Munculnya mitos ini berasal dari ramalan Joyoboyo, pemimpin bangsa Indonesia berasal dari suku Jawa yang akan membentuk istilah Notonagoro, Sang Penata Negara. Istilah Notonagoro diambil dari akhir suku-kata dari nama-nama sang presiden: Soekar(no), Soehar(to). 

Meskipun nama presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, telah menggugurkan susunan kata Noto(na)goro, namun mitos presiden suku Jawa tetap mengemuka dalam wacana perpolitikan nasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat, mitos ini telah memasung kesadaran dan menumpulkan rasionalitas politik. 

Dalam perspektif antropologis, mitos presiden suku Jawa jelas bersifat etnosentris yang menganggap orang Jawa lebih unggul dibandingkan suku-suku lain di Indonesia. Keyakinan mitologis ini diperkuat oleh tiga fakta sosial: (1) struktur demografi Indonesia mayoritas beretnik Jawa sehingga potensial menentukan keterpilihan seseorang menjadi presiden; (2) dominasi suku Jawa di pentas politik nasional dan di dalam struktur kekuasaan negara; dan (3) pengaruh kebudayaan Jawa yang sangat kuat dalam kehidupan politik kenegaraan. Kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa secara simbolis tercermin pada arsitektur bangunan, penggunaan nama untuk gedung bersejarah, pemakaian idiom bahasa, etiket berperilaku, dan berbagai ritus budaya yang lain.

Setelah menganut sistem demokrasi modern, mengapa mitos presiden suku Jawa tetap bersemayam di dalam kesadaran bangsa Indonesia? Suatu keyakinan mitologis sesungguhnya tak berkaitan dengan situasi ketradisionalan atau kemodernan sebuah bangsa. Mitos politik bisa saja dijumpai di kalangan bangsa-bangsa maju yang menganut sistem demokrasi modern.

Bahkan, mitos politik seringkali dijadikan basis legitimasi untuk mengukuhkan dominasi suatu kelompok etnik dalam praktik perpolitikan. Para ahli antropologi menyebut mitos politik sebagai cultural narrative, untuk menjustifikasi kebermaknaan dan signifikansi sebuah kelompok etnik di pentas perpolitikan nasional. Chiara Bottici menulis, ''Human beings need meaning and significance in order to master the world they live in, and political myths are cultural narratives through which human societies orient themselves, and act and feel about their political world'' (The Anthropology of Political Myth, Cambridge, 2007). 

Dalam perspektif demikian, mitos presiden suku Jawa merupakan bagian dari narasi budaya untuk melanggengkan dominasi politik suku Jawa di pentas nasional dan menempatkan suku-suku lain pada posisi subordinasi belaka.
Mitos politik yang bersifat etnosentris ini jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip meritokrasi, yang semestinya dijadikan sebagai parameter utama dalam menentukan kelayakan seseorang menjadi pemimpin nasional. Merujuk pada prinsip-prinsip meritokrasi, dalam memilih seorang presiden seharusnya didasarkan pada rekam-jejak, keahlian dan kecakapan, integritas, dan moralitas. Semua itu sama sekali tak berasosiasi dengan kelompok etnik tertentu. Maka, dalam Pemilu Presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang, bangsa Indonesia ditantang untuk dapat membebaskan diri dari belenggu mitos politik presiden suku Jawa, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. 

Tiga calon presiden Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla adalah pemimpin nasional yang memiliki keunggulan masing-masing dengan karakter pribadi yang berlainan. Megawati dikenal sebagai sosok pemimpin berprinsip, teguh pendirian, dan berhati tegar--sebuah kualitas pribadi yang penting dan diperlukan sebagai faktor perekat yang efektif untuk menyatupadukan segenap kekuatan bangsa. 

SBY dikenal sebagai figur yang menonjol dalam keanggunan personalitas, taat asas, dan selalu menjaga keteraturan--sebuah karakter pemimpin yang dinilai tepat untuk dapat memandu bangsa bekerja tertib, cermat, terukur, dan sistematis. Jusuf Kalla dikenal sebagai pemimpin autentik, visioner, lincah, dan cekatan yang mampu memecah kebekuan, melenturkan kekakuan aturan, dan berani ambil risiko--sebuah karakter pribadi yang dipandang cocok untuk menjadi pelopor dalam menjemput, bukan mencapai, kemajuan bangsa. 

Rasionalitas politik mengajarkan, untuk memilih presiden kita harus meyakini bahwa yang bersangkutan dapat mengemban amanat rakyat, memikul tanggung jawab politik, mampu menjawab segala rupa tantangan: domestik dan internasional, serta mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. 

Momentum Pemilu Presiden 2009 merupakan saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi mendalam, bahwa yang harus dipertimbangkan dalam memilih seorang presiden adalah political credentials, bukan cultural attributions. Yang pertama ditandai oleh kemahiran, kapasitas, dan kemampuan teknikalitas, yang dipandu oleh pemikiran visioner dalam mengemban tugas-tugas politik pemerintahan dan menunaikan amanat dalam mengelola urusan kenegaraan. Yang kedua ditandai oleh ketiadaan semua kualifikasi teknokratik, dan digantikan oleh kapitalisasi atribut-atribut budaya dengan cara membangkitkan sentimen primordial untuk memobilisasi dukungan politik. 

Dalam perspektif demikian, kemunculan Jusuf Kalla sebagai satu-satunya calon presiden non-Jawa harus dibaca sebagai ikhtiar politik, untuk mematahkan apa yang dalam kajian antropologi disebut cultural determinism. Sebagai tokoh non-Jawa, keikutsertaan Jusuf Kalla dalam kontestasi pemilu presiden merupakan fenomena menarik, terutama untuk menguji apakah bangsa ini mampu berpikir melampaui ikatan primordial dalam menentukan pilihan presiden. 

Tampilnya seorang tokoh politik dalam pemilu presiden yang bukan berasal dari kelompok masyarakat mayoritas dalam sebuah bangsa majemuk, tentu saja menarik untuk dijadikan bahan kajian. Sebagai perbandingan, tak salah bila kita merujuk pengalaman Amerika dalam pemilihan presiden November 2008 lalu. Bangsa Amerika berhasil mematahkan mitos politik White Anglo-Saxon Protestant (WASP) dalam kontestasi presidensial dengan memilih Barack Obama yang berlatar belakang Afro-Amerika--suatu kelompok minoritas di tengah dominasi masyarakat kulit putih, yang dalam batas-batas tertentu terkadang masih memelihara sikap rasialis. 

Dengan meyakini sistem demokrasi modern dan menjunjung prinsip-prinsip meritokrasi, bangsa Indonesia semestinya juga dapat mengubur mitos presiden suku Jawa.
(-) 
Index Koran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog