Senin, 08 Juni 2009

Apa yang Diharapkan Rakyat dari Seorang Presiden

DANIEL SPARRINGA

Dalam konteks Pemilihan Presiden 2009, saya perlu menyebutkan sekurang-kurangnya sepuluh catatan penting tentang apa yang saya konstruksikan sebagai hal yang diharapkan rakyat Indonesia terdapat dalam diri seorang presiden dan wakil presiden terpilih.

Catatan ini menjadi penting bukan saja untuk melengkapi apa yang sesungguhnya telah direspons dalam bentuk visi-misi dan atau jargon kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden, tetapi juga untuk membuat kita sadar bahwa terdapat hal-hal mendasar yang akan senantiasa penting setiap kali kita memilih seorang presiden/wakil presiden.

”Kebijakan ekonomi prorakyat”, ”melanjutkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan praktik good governance”, atau ”lebih cepat, lebih baik” masing-masing memang memiliki relevansinya untuk negeri ini. Walau begitu, terdapat sejumlah harapan pokok yang tidak semuanya dapat direspons dalam program aksi atau kebijakan yang bersifat nomenklatur. Berikut adalah sepuluh catatan saya tentang ihwal itu.

Pertama, rakyat Indonesia ingin agar presiden mendatang dapat memperkuat tradisi yang tidak saja memperlakukan demokrasi melulu sebagai prosedur, tetapi juga sebagai tujuan dan nilai-nilai. Mempertautkan ketiga ihwal itu secara utuh merupakan satu-satunya jalan untuk membuat demokrasi dapat menghasilkan kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan yang tidak saja meluas, tetapi juga berkelanjutan.

Kedua, rakyat menghendaki agar seorang presiden memiliki kecakapan dan komitmen yang kuat untuk membangun Indonesia di atas sebuah prinsip universal negara-bangsa. Prinsip yang dimuliakan adalah hadirnya kepercayaan bahwa negara sebagai sebuah kolektivitas bukanlah wujud penaklukan dan atau superioritas satu agama tertentu, ras tertentu, suku bangsa tertentu, atau golongan tertentu terhadap yang lain.

Dengan kata lain, negara adalah perwujudan kehendak bersama warga negara yang merdeka dan setara, apa pun latar belakang kelas dan kulturalnya.

Ketiga, rakyat ingin melihat presidennya menjadi cermin dan teladan bagi penghormatan dan toleransi atas kemajemukan Indonesia, baik yang timbul karena karena perbedaan ideologi (pluralisme) ataupun yang terlahir karena perbedaan identitas (multikulturalisme).

Kuatnya harapan ini karena hadirnya kesadaran bahwa kemajemukan adalah keniscayaan yang tidak saja melekat secara inheren dalam ke-Indonesia-an, tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan ketegangan dan perpecahan.

Keempat, rakyat negeri ini ingin melihat presidennya memiliki kecakapan bertindak untuk di satu pihak setia pada konstitusi, undang-undang (UU), serta kepatutan lainnya, dan di pihak lain menghasilkan terobosan kreatif untuk mengatasi skenario ”benang kusut” Indonesia. Kecakapan bertindak berdasarkan dua kebajikan ini merupakan kepemimpinan inventif yang menjadi jawaban bagi tantangan Indonesia di awal abad XXI.

Kelima, rakyat di negeri ini ingin memiliki presiden yang menyelamatkan, bukan yang membahayakan Indonesia dan masa depannya. Penyelamatan Indonesia terlihat dari kualitas kepemimpinan yang tidak saja cerdas secara ekonomi, politik, bahkan militer, tetapi juga secara sosial, budaya, dan etika.

Dunia sedang berubah, kerap dengan arah yang kurang jelas. Memastikan bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah yang tepat adalah harapan rakyat Indonesia. Saya pikir, ketepatan arah pergerakan ditentukan oleh hadirnya penguatan peradaban baru dunia yang dibangun berdasarkan asas yang mengutamakan kerja sama, kepercayaan, perdamaian, dan toleransi.

Keenam, rakyat ingin memiliki presiden yang memiliki kepercayaan kokoh bahwa mandat yang diperolehnya dari rakyat secara langsung itu dapat menyediakan wibawa konstitusional yang kuat untuk menghadapi parlemen.

Dalam sistem presidensial, parlemen menjadi penting karena dan hanya karena menjalankan fungsi checks and balances terutama melalui fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan tidak pernah untuk membuat seorang presiden berdiri di depan parlemen untuk bertanggung jawab kepadanya! Dalam sistem presidensial yang melibatkan pemilihan langsung, presiden diharapkan menjalankan mandat rakyat tanpa ragu dan atau menjadi terlalu sibuk memikirkan keseimbangan kekuatan politik di DPR.

Ketujuh, rakyat ingin mendengar presidennya berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti, bukan memakai bahasa orang Mars atau Venus. Dalam keseharian rakyat, hidup merdeka sekurang-kurangnya berarti tidak ada kecemasan untuk dapat makan, berteduh, berobat ketika sakit, dan menyekolahkan anak-anak setinggi cita-cita dan bakatnya.

Dalam pandangan rakyat, pembangunan hanya memiliki makna yang relevan apabila terjadi perubahan berangsur, tetapi pasti dalam penyediaan lapangan kerja, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

Kedelapan, rakyat ingin memiliki presiden yang berdiri tegak dan berbicara terang di depan mereka ketika negeri ini menghadapi situasi kritis. Mereka ingin mendengarkan pikiran presidennya yang di dalamnya tidak saja tersirat kepercayaannya yang kuat, tetapi juga tersurat kemasuk-akalannya sebagai solusi. Rakyat tidak ingin memiliki presiden yang suka membual, apalagi berdusta. Tidak juga pada presiden yang berpura-pura tidak tahu atau bertindak seakan-akan tidak ada masalah yang gawat. Rakyat ingin memiliki seorang presiden yang berpandangan jernih dan berbicara jujur kepada rakyatnya.

Kesembilan, rakyat ingin memiliki presiden yang dekat dan terjangkau. Kedekatan itu tecermin dari kemampuannya untuk mendengar rakyat, bahkan dalam bisik-bisik sekalipun. Keterjangkauan itu terlihat dalam tindakannya yang tanggap walaupun birokrasi dan protokol menguasainya.

Kesepuluh, rakyat di negeri ini ingin dapat melewati setiap tidur malamnya dengan nyenyak. Mereka bisa tidur nyenyak karena tahu bahwa presidennya mengurus diri dan keluarganya dengan baik di saat susah atau senang.

Dalam kepercayaan saya, ini adalah sepuluh suara rakyat yang tidak terucap, tetapi tertera secara bening dalam sanubari setiap warga negara-bangsa Indonesia. Suara-suara ini memang tidak untuk diteriakkan, tetapi untuk ditangkap oleh ”mereka yang terpilih”.

Daniel Sparringa, Departemen Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog