Kamis, 11 Juni 2009

Lingkungan dan Pilpres 2009



Firdaus Ali
(Pengajar dan Peneliti Studi Teknik Lingkungan UI)


Banyak orang yang terkejut dan bahkan panik ketika Lawrence E Joseph, penulis dan kolumnis terkenal yang juga ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Corporation di Amerika Serikat, menulis dan mempublikasikan Apocalypse 2012: an Investigation into Civilization End pada tahun 2007 lalu. Buku yang kemudian menjadi salah satu best seller tersebut didasarkan pada hasil risetnya terhadap ramalan kalender suku Maya Kuno yang selama ini terkenal dengan keakuratannya. Bahkan, suku Maya tersebut sudah meramalkan bahwa kiamat atau hari terakhir zaman ini akan jatuh pada tanggal 21 Desember 2012.

Apa pun latar belakang agama dan keimanan umat manusia, semua kita percaya bahwa akan ada akhir dari zaman dan peradabannya. Hanya Sang Maha Pencipta Alam Semesta inilah yang tahu kapan tibanya. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya dibekali otak, kecerdasan, dan (mudah-mudahan) keimanan untuk bisa menangkap tanda-tanda (clue) yang diberikan kepada kita.

Sebagian dari kita menyadari bahwa adalah karena ulah atau perbuatan manusia jugalah sehingga tanda-tanda menuju kepada kehancuran (kiamat) itu semakin dekat dan nyata. Adalah sangat wajar jika kita memelihara rasa takut tersebut secara individu maupun secara kolektif demi keberlansungan peradaban dan keberlanjutan lingkungan tempat kita hidup, beraktivitas, dan (tentunya) beribadah.

Beberapa masalah esensial terkait dengan masalah lingkungan yang menentukan keberlanjutan peradaban ini, di mana memerlukan perhatian, komitmen, dan upaya bersama dari penghuni bumi tercinta ini, sangat relevan untuk dibahas dalam rangka peringatan tahunan Hari Lingkungan Hidup Dunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2009 dan juga tidak kalah menariknya apabila dikaitkan dengan Pilpres 2009 ini.

Beban populasi
Bumi, sistem, dan tata lingkungannya terus mengalami tekanan berat dari waktu ke waktu. Sehingga, menyebabkan daya dukung (carrying capacity) lingkungan biosfer maupun atmosfernya menurun dengan sangat signifikan. Penyebab utama turunnya daya dukung lingkungan tersebut adalah akibat jumlah populasi manusia yang terus bertambah dan tentunya memerlukan berbagai kebutuhan dan sekaligus akan menghasilkan bahan-bahan buangan, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan akumulasi masalah lingkungan yang akan membutuhkan beban biaya (cost). Bahkan, memakan korban harta, benda, dan nyawa.

Jumlah penduduk bumi yang tercatat pada tanggal 4 Juni 2009 pada website-nya World Popclock Projection (Amerika Serikat) sudah mencapai 6,784 miliar jiwa. Telah terjadi pertambahan jumlah penduduk hampir 3 miliar jiwa dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun. Sementara ketersediaan sumber daya, termasuk ruang/lahan semakin terbatas adanya untuk menopang kehidupan hampir 6,8 miliar jiwa tersebut.

Pertambahan jumlah populasi telah mendorong timbulnya permintaan terhadap ketersediaan air bersih, layanan sanitasi, pangan, papan, ruang/lahan, energi, dan sumber daya mineral lainnya. Dalam saat bersamaan akan terjadi peningkatan limbah cair, padat serta B3, dan buangan gas yang potensial mencemari air, tanah, dan udara.

Hingga saat ini, dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa ada sekitar 1,1 miliar orang yang tidak memiliki akses ke sumber-sumber air bersih dan hampir 2,6 milyar dari total 6,8 milyar penduduk bumi tidak punya akses ke layanan sanitasi dasar. Tidak banyak yang menyadari bahwa air tawar yang tersebar di sungai, kali, waduk/bendungan, situ, dan danau hanyalah 0,009 persen dari total air yang ada di jagat ini. Karena 97,6 persen dari total air yang ada dalam lingkar atau siklus hidrologi ada dalam bentuk air, dengan salinitas (tingkat ke asinan) tinggi, yaitu yang ada di lautan. Sisanya sebesar 2,1 persen ada dalam bentuk yang tidak bisa dimanfaatkan lansung, kerena berupa bongkahan es yang ada di daerah kutub dan salju yang ada di dataran tinggi dan daerah-daerah dingin.

Akibat buruknya sistem dan kondisi sanitasi lingkungan, peradaban ini dihadapkan pada ancaman perkembangnya penyakit-penyakit baru (emerging diseases) dan penyakit-penyakit menular yang secara masif potensial memakan korban jiwa yang luar biasa besar apabila tidak bisa dikendalikan karena dapat bersifat pandemik. Flu Spanyol (1918), Flu Asia (1957), Flu Hong Kong (1968), SARS (2002), Flu Burung( 2003), dan yang terakhir adalah Flu Mexico (Swine Flu) yang telah ikut memperburuk krisis ekonomi global adalah ancaman bagi kelangsungan peradaban ini akibat kondisi lingkungan yang memburuk.

Dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa dan bahkan datang lebih awal dari yang sempat diperkirakan atau diramalkan oleh para ahli dan pengamat. Meningkatnya intensitas badai/topan, curah hujan yang terus menyebabkan genangan dan banjir besar serta longsor, naiknya permukaan air laut, ancaman kekeringan atau kemarau panjang yang potensial menyulut kebakaran hutan, dan kelangkaan air adalah sebagian dari dampak yang harus dihadapi oleh umat manusia baik dalam skala lokal, nasional, maupun global terkait dengan masalah lingkungan.

Pilpres 2009
Tentunya sangat beralasan jika kita sebagai rakyat Indonesia yang diwakili oleh 176 juta jiwa dan berhak memilih presiden dan wakil presiden RI pada Pilpres tanggal 8 Juli 2009 yang akan datang, menunggu tawaran program-program atau agenda-agenda yang konkret dari para pasangan capres dan cawapres, khususnya terkait dengan masalah keberlanjutan lingkungan, di samping isu terkait dengan ekonomi ke(rakyat)an yang lebih menjadi jargon dari para kandidat.

Karena begitu esensial dan strategisnya masalah lingkungan dewasa ini, sebagian besar masyarakat dunia menuntut kejelasan dan komitmen politik dari calon atau pemimpin mereka terhadap masalah lingkungan. Sebut saja Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia yang ke-26, yang dalam hitungan kurang dari 10 hari semenjak dinyatakan menang pada pemilu November 2007 lalu, pada tanggal 3 Desember 2007 mencatat sejarah baru dengan secara resmi menandatangani Kyoto Protocol.

Untuk itu, kita tunggu siapa pasangan capres dan cawapres RI yang bisa meyakinkan kita semua akan adanya perubahan yang signifikan dalam penanganan masalah lingkungan di Tanah Air tercinta ini. Kita lelah dengan masalah bencana ekologi, seperti kasus Lapindo, Situ Gintung, banjir, kebakaran hutan, dan pencemaran badan/sumber-sumber air yang sudah semakin kritis dan juga terus memakan korban.

(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog