Senin, 29 Juni 2009

Survei Pemilu Kompas Berpendarnya Loyalitas Pemilih Parpol

Toto Suryaningtyas

Seperti halnya fenomena dalam pilkada, dukungan loyalitas pemilih parpol bagi kandidat yang bertarung pada pemilu presiden tampak semakin berpendar. Pemilih cenderung semakin tidak bergantung pada partai politik.

Menjelang pelaksanaan pemilu presiden mendatang, semakin tampak kecondongan pilihan publik terhadap calon-calon presiden yang bertarung. Di satu sisi, ideologi, tokoh, dan jaringan sosial yang dibangun partai politik selama bertahun-tahun selama ini terbukti mampu menopang kehidupan partai politik. Partai Golkar, misalnya, bertumpu pada loyalitas jejaring ormas dan birokrasi yang selama berpuluh tahun mampu menjaga eksistensi Golkar dalam berbagai pemilu, termasuk pada Pemilu 1999 yang menjadi masa sulit bagi citra Golkar. Demikian juga PDI-P, sejauh ini banyak bertumpu pada gagasan kerakyatan dan ideologi nasionalisme Soekarno.

Namun, perkembangan peta politik nasional menunjukkan, modal ideologi, gagasan, dan jejaring sosial yang dibangun bertahun-tahun mendapatkan tantangan kuat dari aspek ketokohan partai. Gambaran yang terekam dari hasil survei ini menunjukkan, pemilihan sebuah partai kini semakin cair, tidak lagi selalu terkumpul dalam sebuah simbol-simbol kekuatan politik (parpol) tertentu. Dari keseluruhan responden yang menyatakan memilih Partai Gerindra dalam Pileg 2009, misalnya, sebanyak 48,6 persen memilih pasangan Mega-Prabowo dan sebagian lainnya (40,5 persen) menyatakan bakal memilih pasangan SBY-Boediono. Jika dilihat hanya dari proporsi responden yang memilih pasangan Mega-Prabowo, para pemilih Partai Gerindra memberikan kontribusi sebesar 5,1 persen suara.

Pemilih PDI-P yang sejauh ini banyak diasumsikan masih menaruh kepercayaan pada aspek ketokohan Megawati Soekarnoputri mendulang proporsi suara yang lebih lumayan, di mana 61,0 persen responden menyatakan masih akan memilih pasangan ini dalam pilpres. Namun, merujuk pada hasil survei ini, ada pula 32,9 persen pemilih PDI-P yang diperkirakan bakal menyeberang ke kubu SBY dan 0,9 persen menyeberang ke kubu JK.

Di kubu JK-Wiranto, kewaspadaan tampaknya harus dipasang jika melihat banyaknya potensi suara yang bisa menyeberang ke kubu lawan. Responden pemilih Partai Golkar dalam pileg yang lalu sebagian besar terancam berpindah jalur memilih SBY-Boediono ketimbang JK-Wiranto. Apalagi responden pemilih Hanura, yang dalam pemilu presiden mendatang kemungkinan justru lebih banyak memilih kubu SBY dan Megawati ketimbang kubu JK-Wiranto sendiri.

Gambaran menarik terlihat dari kecenderungan besarnya proporsi perolehan suara pasangan SBY-Boediono. Secara umum pasangan ini tampaknya berhasil menarik sebagian besar proporsi suara responden pemilih partai-partai kecil dan partai-partai koalisi Demokrat. Dari responden pemilih partai koalisi Demokrat, seperti PAN, PKB, dan PPP, tersirat sekitar 65 persen pemilih bakal memberikan suaranya untuk kubu SBY. Adapun Partai Keadilan Sejahtera, lebih tinggi lagi, yakni sebanyak 73,5 persen pemilihnya diperkirakan bakal memberikan suaranya kepada SBY. Bagaimana dengan suara dari pemilih Partai Demokrat? Proporsinya mencengangkan, mencapai angka 92,0 persen responden.

Fenomena tokoh

Berpendarnya perolehan suara dalam pemilu yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung sebenarnya sudah terjadi berulang-ulang dalam pilkada. Dalam pelaksanaan pilkada saat ini, semakin sulit mengandalkan loyalitas pemilih parpol terhadap kandidat yang diusung parpol. Beragam persoalan mengemuka, mulai dari aspek komplikasi negatif dari koalisi parpol yang dibentuk hingga soal pengenalan dan rekam jejak kandidat.

Dalam salah satu survei Exit Poll Pilkada Jawa Timur bulan Mei 2008, sebanyak 67 persen responden lebih memilih pasangan calon gubernur tertentu (lepas dari siapa orangnya) karena keyakinannya terhadap kemampuan pasangan calon gubernur tersebut. Hanya 20,3 persen yang memilih pasangan calon karena alasan partai pengusungnya. Selain itu, sosok pemimpin tertinggi, dalam hal ini gubernur, jauh lebih berpengaruh ketimbang sosok wakilnya. Dalam Pilgub Jawa Timur, 80,4 persen memilih karena tertarik kepada sosok calon gubernur dan hanya 9,2 persen yang memilih karena ketertarikan kepada wakilnya.

Gambaran umum yang terekam dari beberapa survei Exit Poll menunjukkan, potensi menyeberangnya suara pemilih dalam sebuah pilkada bisa diakibatkan oleh faktor pengenalan terhadap calon, ketidaksesuaian ideologi terhadap pasangan koalisi, hingga pengalaman individual pemilih terhadap calon. Dalam survei nasional yang dilakukan Kompas sebulan menjelang pilpres, terekam gambaran di balik menguatnya pamor kubu SBY. Penguatan citra ketokohan SBY menjelang pilpres ditunjang oleh kuatnya komunikasi politik kubu SBY, baik melalui kampanye maupun berbagai program pemberdayaan kemasyarakatan. Program bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan keuangan pedesaan adalah yang banyak disebut-sebut.

Aspek keyakinan

Bertolak dari tingginya preferensi bagi kubu SBY, sukar dielakkan bahwa keyakinan masyarakat saat ini memang banyak tertuju kepada kubu ini. Dari berbagai dimensi persoalan yang ditanyakan kepada publik responden di seluruh Indonesia, ada kesamaan optimisme dalam memandang kepemimpinan SBY. Dari mulai persoalan kemiskinan, ekonomi, hingga kestabilan politik menunjukkan kecondongan preferensi kepada SBY.

Dalam soal sembako murah, misalnya, 58,9 persen menyatakan keyakinannya terhadap kemampuan SBY, sebanyak 27,4 persen terhadap Megawati, dan 12,7 persen terhadap JK.

Uniknya, menjawab pertanyaan terhadap kemampuan menyelesaikan persoalan lumpur Lapindo sekalipun, optimisme lebih banyak berkumpul terhadap kubu SBY. Meskipun demikian, jika dilihat dari proporsi pemilih PDI-P, tampak keyakinan masih lebih banyak disuarakan bagi Megawati.

Jika dirunut lebih jauh kepada aspek-aspek kepribadian, preferensi responden tak banyak berubah. Faktor-faktor primordial, seperti suku dan jenis kelamin, cenderung mengacu kepada kesamaan fisiologis dengan SBY. Dalam kategori yang lebih jauh, seperti faktor berlatar belakang militer atau nonmiliter pun, responden tampaknya tidak memiliki masalah dengan latar belakang kemiliteran SBY.

Dalam kondisi keyakinan sosok yang cenderung kuat melekat semacam itu, tanpa tandingan munculnya sosok baru yang mampu setara, atau sebaliknya, militansi kader parpol hasil pemilu presiden mendatang tampaknya akan berlangsung sebagaimana prediksi survei ini.

(Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog