Selasa, 16 Juni 2009

SBY: Saya Manusia Biasa, Punya Hati dan Rasa


KOMPAS/ALIF ICHWAN
Susilo Bambang Yudhoyono

Sebelum wawancara khusus dengan Kompas, Minggu (14/6) malam, siang harinya, calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di tengah massa pendukungnya di Gedung Olahraga Flobamora, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketika seorang ibu mengacungkan tangan, SBY langsung berdiri dan menghampiri ibu yang berada di tengah kerumunan massa itu. SBY memberikan tangannya, menyalaminya. Ibu itu melinangkan air mata.

Kemudian seorang pemuda berpakaian agak kumal juga bertanya dan dihampiri SBY. Lagi, presiden ke-6 yang meraih gelar master of arts in management dari Webster University, Amerika Serikat, tahun 1991 itu mengulurkan tangannya. Sang pemuda bertanya dengan suara terbata-bata. Massa bersorak gemuruh. Uluran tangannya menyapa massa.

Ini direncanakan? ”Ini spontan karena pengalaman saya berada di tengah rakyat kecil sejak lama,” ujar SBY di sebuah kamar hotel di tepi pantai Kupang.

Percakapan berlangsung 1 jam 15 menit. SBY didampingi Andi Mallarangeng, Sardan Marbun, Denny Indrayana, dan Dino Patti Djalal. ”Saya ingin meletakkan dua hal, yakni good governance dan demokrasi,” ujar presiden yang menang dalam pemilu presiden secara langsung tahun 2004 dengan 60 persen suara itu.

Menurut lulusan Akabri Darat tahun 1973 yang lahir di Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, ini, pembangunan, percepatan pembangunan segala hal, serta pengelolaan sumber daya tidak akan terwujud bila tanpa good governance. ”Menurut saya, ini adalah landasan jalannya roda pemerintahan, penyelenggaraan kehidupan bernegara,” ujar suami dari Ny Ani Herrawati ini.

SBY yakin demokrasi bukan hanya harus selamat, tetapi harus berlanjut. Demokrasi tidak hanya prosedural. Demokrasi harus menjadi suatu jalan dan lingkungan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Ia berpendapat, reformasi adalah demokratisasi. Akan tetapi, pendewasaan atau pematangan demokrasi belum rampung saat ini. Konsolidasi juga belum rampung. ”Bila good governance dan demokrasi bergandengan tangan, saya yakin mimpi kita terwujud. Pada awal abad ke-21 atau 20-30 tahun dari sekarang, Indonesia betul-betul akan jadi negara maju,” tuturnya.

Ia juga yakin tentang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi serta aktivitas Indonesia dalam percaturan dunia. Ia bicara tentang pengalamannya berdiri di atas kapal di perairan Ambalat yang menimbulkan keyakinannya bahwa diplomasi dengan soft power lebih baik ketimbang menabuh gendang konflik.

”Hal yang mengganggu pikiran saya sebagai presiden selama lima tahun ini ialah bagaimana membangun bangsa ini menjadi masyarakat lebih rasional. Saya manusia biasa, punya hati, punya perasaan. Saya berkomunikasi dengan rakyat, dengan cara bermacam-macam, dengan SMS, surat, dan bertemu langsung. Saya membaca pernyataan para politisi, pengamat, siapa pun. Saya mendengarkan. Sebagian dari semua itu kurang rasional, terlalu emosional, kurang jernih. Kalau begini terus keseharian kita, demokrasi kita akan gagal. Akhirnya Indonesia bisa gagal memiliki peradaban unggul,” ujarnya pada akhir wawancara yang akan disajikan lengkap pada 29 Juni mendatang. (RIK/OSD/INU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog