Sabtu, 27 Juni 2009

Buah-buah Pinang

SUKARDI RINAKIT 

Seorang teman yang menjadi tim sukses pasangan calon presiden-calon wakil presiden SBY-Boediono tidak habis mengerti, mengapa penulis cenderung memihak kepada Mega-Prabowo meski kalkulasi politiknya jelas, yaitu pintu kemenangannya kecil.

Jawaban saya sederhana, ”Selain ingin memompa ban kempis, saya ini Marhaen. Ini pilihan ideologis, bukan oportunis.”

Selama ini tak pernah terpikirkan, kita condong kepada siapa, pasangan capres-cawapres yang sedang berlaga adalah luar biasa. Baik Mega-Prabowo, SBY-Boediono, maupun JK-Wiranto, ketiganya membuka kebuntuan sejarah.

Pasangan pertama menjadi simbol penghargaan tertinggi kepada perempuan. Pasangan kedua menghancurkan mitos bahwa pasangan capres-cawapres harus mempertimbangkan komposisi geografis Jawa-luar Jawa. Pasangan ketiga menegakkan prinsip kesetaraan sebagai bangsa bahwa orang luar Jawa pun bisa memimpin republik. Inilah revolusi abad ini. Roda demokrasi kita berputar begitu cepat, kian dewasa, dan menawan.

Pintu optimisme

Fenomena kehancuran mitos-mitos politik itu dapat dipandang sebagai salah satu pintu menuju optimisme masa depan. Siapa pun putra terbaik, entah dari sudut kampung di Merauke atau Sabang, dia berhak memimpin Republik. Dia berhak menggelorakan semangat rakyat untuk bangkit, hidup adil makmur, dan bersaing dengan negara-negara lain. Maknanya, pada masa depan tidak ada lagi pengkhianatan terhadap kodrat multikultur kita sebagai bangsa dan klaim dominasi sepihak.

Sejauh ini, gambaran nyata tentang bangsa Indonesia secara ironis bisa dijumpai pada syair lagu Franky Sahilatua. Sejatinya, kita tidur di atas emas, berenang di atas minyak. Tetapi kita miskin dan hanya menjadi penjual buah-buah pinang. Ini cermin bening untuk melihat diri sendiri. Sekaya apa pun negeri ini, republik yang kita idamkan ternyata belum mewujud dalam bentuk praksis. Sampai hari ini, sebagian besar warga bangsa masih miskin dan belum mendapatkan haknya untuk hidup aman dan tidak didiskriminasi.

Karena itu, pintu kekuasaan yang kian terbuka, seperti dicerminkan pada pemilu presiden kali ini, diharapkan mampu melahirkan pemimpin dan sistem politik yang lebih baik pada masa depan. Mereka akan menjadi muara akhir terwujudnya keutamaan umum (common goods) bagi warga bangsa. Dengan demikian, secara retorik bisa dikatakan, hanya dengan 40 pemuda berani dan cerdas yang kita miliki, Indonesia bisa bangkit sebagai bangsa besar dan berwibawa di mata dunia.

Selain itu, pintu optimisme juga harus disangga pilar paradigma pembangunan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Menerapkan paradigma pembangunan secara sembrono bukan saja akan membuat rakyat tidak bisa lagi menjual buah-buah pinang, tetapi pohon pinangnya pun akan tidak ada. Semua ditebang para pemilik modal yang tidak ramah pada kearifan lokal.

Yang membanggakan, kini berkembang kesadaran para kognitariat (pekerja otak) dan kelompok strategis bahwa pertumbuhan ekonomi bukan lagi dipandang sebagai tujuan utama pembangunan seperti pada masa lalu. Situasi ini akhirnya menggiring tiap pasangan capres-cawapres untuk mengedepankan kebijakan ekonomi prorakyat. Mereka telah mengibarkan panji-panji ekonomi kerakyatan.

Terlepas dari peluang manipulatif pada tindakan mereka, gairah menempatkan rakyat sebagai pusat dan inti pembangunan secara perlahan membangkitkan optimisme publik. Sehubungan dengan hal itu, saya teringat kata-kata Profesor Aris Ananta dari Institute of Southeast Asian Studies, Singapura.

Bagi Ananta, jika Indonesia ingin bangkit dan bertahan dari gempuran globalisasi, pilar utama paradigma pembangunannya harus people centred development. Ini mencakup kesehatan penduduk, penduduk yang pandai, yang punya kemampuan berpindah, dan yang bebas dari rasa takut (aman). Tanpa itu, semua akan sia- sia. Rakyat akan tetap miskin dan sebagian besar, terutama di kawasan timur Indonesia, hanya bisa menjual buah-buah pinang.

Mimpi besar bangsa

Menguatnya kesadaran bersama akan posisi rakyat sebagai pusat pembangunan dan hancurnya mitos kekuasaan, seperti ditunjukkan dalam komposisi pasangan capres-cawapres, adalah sinyal positif dalam menatap masa depan Indonesia. Kini di hadapan kita tinggal dicanangkan mimpi besar bersama. Ke sanalah totalitas hubungan dan energi seluruh bangsa harus menuju.

Jika generasi Bung Karno meletakkan ”kemerdekaan” sebagai mimpi bersama, generasi muda yang berani dan cerdas saat ini bisa meletakkan mimpi apa saja sebagai maskot. Jika generasi baru China dan India mengukir mimpi bahwa pada tahun 2020 mereka masing-masing akan menguasai pasar produk hardware dan software dunia, kita bisa mengatakan, ”kami akan menguasai industri maritim dunia”.

Sebagai negara kepulauan, mimpi bersama itu bukan mustahil. Pergeseran orientasi pembangunan dari kalkulasi kontinental ke maritim diyakini akan menjadi katalisator terwujudnya mimpi itu. Tetapi, apa pun mimpi besar itu, mengutip Francis Fukuyama (2004), tujuannya adalah penguatan negara dengan kehidupan rakyat yang sejahtera. Itulah makna republik seperti digariskan Aristoteles, Hannah Arendt, dan Bung Hatta.

Kita memang bukan bangsa penjual buah-buah pinang.

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog