Minggu, 28 Juni 2009

Selamatkan Kekayaan Nasional

Wisnu Dewabrata/Ninuk Mardiana Pambudy

Dahulu, sosoknya lebih dikenal sebagai ”The Rising Star”, seorang Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, perjalanan sejarah kemudian mengubah, tidak hanya garis nasib bangsa ini, melainkan juga karier serta kehidupannya.

Saat ini, keberadaan dan sosok seorang Prabowo Subianto jauh lebih dikenal sebagai seorang politisi asal partai politik baru, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang mengusung konsep ekonomi kerakyatan serta menyerukan upaya penyelamatan kekayaan nasional.

Bersama dengan calon presiden dari partai wong cilik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, pasangan ini bersiap merebut kursi RI-1.

Kompas berkesempatan mendapatkan pemaparan langsung soal visi serta misi, yang saat ini tengah diusung anak ketiga begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo, itu dalam wawancara yang berlangsung akrab, tetapi serius, di Klub Eksekutif Bimasena, Jakarta Selatan.

Jika terpilih, apa yang akan jadi prioritas Anda?

Prioritas saya adalah bagaimana menyelamatkan dan mengamankan terlebih dahulu kekayaan nasional kita, yang sejak awal sampai sekarang, masih terus mengalami kebocoran. Kekayaan nasional kita, our national wealth, yang bocor keluar dan tidak kembali ke kita.

Padahal, jika kita bisa selamatkan kekayaan nasional itu, Indonesia memiliki modal awal besar untuk bisa keluar dari persoalan yang kita hadapi sekarang. Saya punya datanya, bagaimana sebenarnya setiap tahun, setidaknya dalam 12 tahun terakhir, neraca ekspor-impor kita terus surplus.

Sederhananya, hal itu berarti negara kita untung karena jumlah (komoditas) yang kita jual (ekspor) jauh lebih banyak dari yang kita beli (impor). Besaran keuntungannya rata-rata per tahun sekitar 25 miliar dollar AS atau 300-an miliar dollar AS dalam 12 tahun terakhir.

Namun, hal itu tidak tampak dari cadangan devisa kita, yang per 31 Oktober 2008 menurut Bank Indonesia hanya mencapai 50,58 miliar dollar AS. Padahal, dari angka itu juga belum kita tahu pasti berapa yang masuk kategori uang jangka pendek (short term money) yang sewaktu-waktu bisa keluar-masuk.

Persoalan itu menurut saya adalah masalah yang fundamental. Namun, entah kenapa tidak ada orang yang peduli dengan ini, baik dari kalangan elite maupun kalangan terpelajar di negeri ini. Saya khawatir mereka menikmati kondisi seperti itu selama ini.

Seberapa buruk dampak kebocoran kekayaan nasional tersebut?

Hal itu berakibat terdegradasinya seluruh lini kehidupan bangsa dan negara. Kita tidak punya kekayaan berarti kita tidak pernah bisa berinvestasi ke hal penting. Semua lini kehidupan kita terdegradasi mulai dari budaya, mental, pendidikan, kesejahteraan, dan bahkan pertahanan kita.

Semua itu terkait masalah fundamental. Bagaimana kemudian kita bisa diganggu dan dilecehkan negara tetangga. Mereka bisa menghitung berapa kekuatan, misalnya, peluru kendali, pesawat tempur, kemampuan dan jumlah radar, serta semua persenjataan yang kita punya.

Walaupun di mana-mana kita bicara bagaimana pentingnya pendidikan, yang sangat mutlak dan vital bagi pembangunan bangsa, tetapi bagaimana peningkatan itu bisa diwujudkan tanpa ada dana.

Selain itu, soal birokrasi atau penegakan hukum, bagaimana bisa kita perbaiki, lha gaji birokrat dan penegak hukumnya saja kecil. Kita jangan pernah berharap para birokrat kita akan bekerja efektif jika gaji mereka terlalu kecil. Kalau kita lihat di Indonesia ini kan ada banyak ketimpangan antara sektor swasta dan pemerintah. Kalau dibandingkan, gaji pokok seorang dirjen atau profesor, atau jenderal (TNI) dengan profesional di sektor swasta, menyedihkan sekali.

Saya sendiri pernah mengalami, waktu pensiun sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad), saya hanya memperoleh Rp 900.000 per bulan. Mungkin sekarang sudah naik, kalau enggak salah Rp 1,4 juta.

Akan tetapi, coba bayangkan, seorang Panglima Kostrad yang membawahi kekuatan 34 batalyon tempur TNI AD, uang pensiunnya cuma segitu. Padahal, sewaktu-waktu dengan posisi seperti itu siapa saja pejabatnya (Pangkostrad) bisa saja kalau mau kudeta, ha-ha-ha.

Saya juga kaget seorang profesor, orang yang secara gampangnya bisa kita anggap paling pinter, lah, cuma digaji tidak lebih dari Rp 4 juta. Almarhum ayah saya pernah bilang, kalau mau melihat potensi suatu bangsa, coba hitung saja ada berapa jumlah profesor di negara itu.

Apa bisa kebocoran dicegah?

Semua itu sebenarnya sekadar masalah ada tidaknya kehendak politik dan masalah akal sehat saja. Apa yang terjadi selama ini, kebocoran kekayaan nasional, menurut istilah saya sangat konyol dan menjadi seolah kebodohan kolektif.

Kalau dihitung-hitung, kebocoran nasional yang terjadi selama 12 tahun terakhir kan bisa mencapai kisaran 240-an miliar dollar AS. Bisa dibayangkan, anggaran sebesar itu jika diambil untuk hak pemerintah saja dari pajak, sekitar 20-30 persen, ada banyak uang yang bisa kita pakai untuk membiayai apa saja. Mulai dari menaikkan anggaran pendidikan, belanja pertahanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesehatan, untuk membuka lahan pertanian dan membangun lapangan kerja baru. Dari situ saya yakin pertumbuhan ekonomi dua digit per tahun menjadi sangat mungkin untuk diwujudkan.

Selama ini Anda mengusung ekonomi kerakyatan dan antineoliberalisme, bisa dijelaskan?

Kalau bicara soal ekonomi kerakyatan, hal itu sesungguhnya buat saya sekadar penamaan atau satu judul untuk mengatakan dan membedakannya dengan mekanisme atau sistem ekonomi pasar bebas murni, neoliberal, atau neoklasikal, atau saya istilahkan sebagai bentuk kapitalisme yang tidak terkendali.

Dalam neoliberalisme peran pemerintah coba diminimkan seminimal mungkin dan semua hal kemudian sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar.

Argumen saya, tidak pernah bisa dan tidak pernah boleh nasib 200-an juta rakyat Indonesia diserahkan ke mekanisme pasar begitu saja. Mekanisme pasar sendiri pun terbukti banyak ketidakadilannya. Banyak negara Barat ngomong soal mekanisme pasar bebas, tetapi sebetulnya mereka tidak menerapkan hal itu ke negaranya sendiri. Lalu kita malah mau-mauan disuruh menerapkan itu, ha-ha-ha. Buat saya itu bentuk kolonialisme gaya baru. Neokolonialisme.

Bahkan, di AS sendiri sudah terbukti gagal. Pendulumnya di sana bahkan sudah berubah, dari yang sebelumnya terlalu pasar bebas menjadi sekarang malah pemerintah pun mengintervensi, kok. Kalau mau benar-benar menerapkan mekanisme pasar, ya biarkan saja itu General Motors hancur dan bangkrut. Tetapi kan tidak, Pemerintah AS mengambil alih 60 saham General Motors, karena memangnya mau dikemanakan itu sekian puluh ribu karyawan dan industri manufaktur AS?

Paham neoliberalisme masih dipercaya di Indonesia?

Itulah, menurut saya, para penganut paham neoliberalisme di Indonesia tidak punya kejujuran intelektual. Mereka sebelumnya terlalu mudah menerima paham dari Barat itu, lalu menganggapnya kebenaran.

Bahkan, ketika situasi dan kenyataan membuktikan paham itu tidak masuk akal, mereka masih saja ngotot dan tetap maju. Menyedihkan, sudah tahu kondisinya berubah dan keadaannya tidak sesuai akal sehat, paham itu masih saja mereka percaya.

Kalau mau bicara pasar bebas, memangnya bagaimana caranya para petani Indonesia yang hanya punya 0,2-0,3 hektar tanah disuruh bersaing dalam sistem pasar bebas dengan para petani AS atau Australia, yang punya ribuan hektar tanah dan notabene disubsidi serta dilindungi pemerintah mereka masing-masing?

Apa memang ada pasar bebas untuk orang miskin?

Sekarang saya tanya, kenapa sampai sekarang di AS mereka tidak membolehkan warga negara asing menjadi mayoritas dalam bisnis media massa mereka? Kalau mau dibilang pasar bebas, kenapa ketika perusahaan BUMN asal Dubai mau membeli pelabuhan di Florida, AS, Kongres mereka menolak?

Atau ketika perusahaan minyak China mau membeli perusahaan minyak milik AS yang ladang minyaknya ada di Myanmar tidak dibolehkan? Begitu juga di bisnis telekomunikasi dan industri penerbangan? Mereka bilang kan pasar bebas. Kok, penerapannya berbeda?

Apa berarti Anda ingin menerapkan sistem ekonomi populis?

Tidak, sama sekali tidak. Sistem ekonomi kerakyatan bukan berarti mau mengurangi peran sektor swasta. Buat saya, negara-negara yang berhasil dan bisa menjadi besar, dengan pertumbuhan tinggi, adalah negara yang mampu menyinergikan seluruh kekuatan ekonomi. Mulai dari kekuatan ekonomi besar, menengah, kecil, mikro, sampai ke kelompok-kelompok buruh, petani, dan nelayan di tingkat bawah.

Jadi bukannya mau mengorbankan yang kuat. Silakan saja mereka maju. Jangan seperti terjadi sekarang, bank pemerintah mendanai bisnis besar macam properti dan real estate. Padahal, sumber pendanaan bank pemerintah itu dari tabungan rakyat kecil. Seperti itu kan jadinya ironis.

Saya contohkan, Bank Rakyat Indonesia yang dahulu Bank Tabungan Tani dan Nelayan Indonesia, jumlah nasabahnya sekarang 32 juta orang petani dan nelayan dengan total tabungan Rp 31 triliun. Sekarang tinggal kita lihat, berapa besar dana yang mereka pinjamkan kembali ke nelayan dan petani? Kita harus juga pertanyakan, bagaimana jika dana itu justru dipinjamkan untuk membiayai proyek properti dan apartemen mewah?

Jadi, yang saya bicarakan sekarang hanyalah berdasarkan akal sehat. Jangan mengatakan, nilai ekonomi kerakyatan sebagai sesuatu yang radikal atau bertentangan dengan mainstream. Istilah itu kan hanya penamaan, dahulu pernah ada yang menamakan dengan istilah Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Gotong Royong.

Sementara kalau di negara-negara Barat ya, mereka enggak memakai nama ekonomi kerakyatan. Namun, pada prinsipnya seperti di Inggris, Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris), memakai sistem itu. Mereka istilahkan sebagai Ekonomi Jalan Ketiga.

Bagaimana tanggapan Anda dengan program Bantuan Langsung Tunai?

Sebetulnya kebijakan BLT baik. Hanya masalahnya, apakah benar bisa sampai ke tujuan. Beberapa petani di Cianjur, Jawa Barat, yang saya temui bilang tidak kebagian. Malah, menurut mereka, warga yang mampu menerima BLT.

Selain itu, kebijakan BLT menurut saya juga sekadar kebijakan yang sifatnya sementara, sedangkan yang fundamental, persoalan bocornya kekayaan nasional adalah akar persoalan yang tidak tersembuhkan lewat kebijakan BLT tadi.

Kalau cuma untuk jangka pendek, sekadar mengurangi penderitaan rakyat sih oke-oke saja. Akan tetapi, ibarat penyakit demam, kan tidak cukup cuma diberi aspirin. Apalagi kalau demamnya tidak hilang-hilang karena penyakit sebenarnya tifus, apa mau dikasih aspirin terus?

Soal usulan Anda terkait penjadwalan kembali utang-utang luar negeri?

Kenapa mesti takut minta penjadwalan kembali utang? Hal seperti itu dalam bisnis biasa saja kok. Kan kita bukannya mau mengemplang utang atau tidak mengakui punya utang. Kita kan bisa bilang ke mereka (negara pemberi pinjaman), kita akui masih ada utang namun dengan kondisi bangsa yang seperti sekarang, kita tidak sanggup kembalikan utang sesuai kesepakatan. Nah, ini kita punya sumber daya alam yang bisa ditawarkan.

Kita harus menghormati kontrak yang sudah dibuat. Namun, hukum internasional membenarkan adanya negosiasi ulang, apalagi jika kontrak yang bersangkutan berbau korupsi karena isinya dinilai tidak masuk akal. Bahkan aturan PBB membenarkan itu.

Upaya penjadwalan kembali dan renegosiasi kita lakukan dengan cara yang benar. Bukan dengan cara radikal atau ngemplang utang.

Yang namanya renegosiasi bisa dan biasa kok. Saya kan juga pengusaha, berapa kali saya datangi pemberi pinjaman dan bilang, ”Bagaimana nih, usaha sedang enggak bagus, apa bisa minta renegosiasi? Itu hal yang lazim sekali.

Cuma herannya kenapa pemerintah tidak pernah berani? Apa mau jadi ”anak manis” terus? Banyak negara berani dan sukses kok menempuh cara seperti itu. Ada banyak mekanisme bisa ditempuh seperti mekanisme debt swap, di mana utang kita dihapus dan uangnya untuk membangun misalnya sekolah, rumah sakit.

(J Osdar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog