Senin, 29 Juni 2009

BOEDIONO: INI BAGIAN AKHIR DARI MASA SAYA

Sri Hartati Samhadi/Tri Agung Kristanto

Nama Boediono semula memang tidak diunggulkan, bahkan tak mencuat, dalam percaturan mengenai calon pendamping Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden, 8 Juli 2009. Banyak kalangan masih mengharapkan SBY, begitu Yudhoyono biasa disapa, berdampingan kembali dengan M Jusuf Kalla, yang kini masih menjabat Wakil Presiden.

Sejarah memang tampaknya menggelinding pada mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Boediono disebut SBY sebagai calon terbaik pendampingnya sebagai wapres pada periode mendatang jika terpilih kembali sebagai presiden. Penolakan pun segera bermunculan terhadap Boediono.

”Ini adalah bagian akhir dari masa saya,” katanya dalam percakapan dengan Kompas di kediamannya beberapa waktu lalu.

Kapan Anda tahu diminta sebagai calon wapres?

Sebenarnya sudah tiga-empat minggu ketika saya bertemu dengan beliau dan membahas kemungkinan saya mendampingi beliau dalam pemilu presiden ini. Pertemuan itu dilanjutkan dengan pertemuan lainnya. Jadi, tidak sekali jadi. Finalnya saat Partai Demokrat melakukan tasyakuran pascapemilu legislatif yang lampau.

Pada awalnya, Anda tahu akan ke sana?

Ya enggak. Saya menduga-duga saja karena jarang sekali beliau memanggil saya sendiri, apalagi sebagai Gubernur Bank Indonesia biasanya bersama-sama dengan menteri yang lain. Bukan langsung ditawari. Saya menduga-duga, mesti akan ada sesuatu yang di luar bidang saya yang menyangkut personalia, kabinet, atau yang lain. Saya tak tahu waktu itu secara jelas.

Pada saat pertemuan dengan SBY, Anda terasa akan diminta menjadi sesuatu dan membicarakannya dengan keluarga?

Setelah itu. Bagi saya, keluarga itu nomor satu. Tidak mungkin saya mengambil keputusan tanpa diketahui keluarga. Saya pasti tanyakan kepada istri saya dan itu dipikirkan beberapa waktu. Saya juga berbicara dengan anak-anak setelah beberapa waktu. Anak-anak itu yang selalu saya jadikan konsultan.

Dulu Anda setelah tak lagi menjadi Menko ada keinginan kembali ke kampus. Tetapi, kini tampaknya semakin larut di pemerintahan atau politisi?

Waktu menjadi menteri kan juga politisi dari satu segi karena harus berdiskusi, berdialog, serta bernegosiasi dengan elemen politik dan masyarakat. Ini sesuatu yang lebih intens pasti. Saya tidak berangkat dari nol. Tetapi, kalau dikatakan politisi penuh, saya memang bukan. Saya akan tetap sebagai teknokrat, tetapi akan lebih banyak menangani aspek politik. Saya yakin Pak SBY akan memberikan pedoman.

Berminat masuk politik?

Saya tidak berminat masuk partai politik. Politik akan saya gunakan untuk pekerjaan saya yang utama, apakah nanti di bidang ekonomi atau sosial, seandainya kami terpilih.

Sekarang banyak nonpolitisi masuk ke politik, membangun jaringan. Selama ini kami tak melihat Anda melakukan hal itu....

Saya juga membangun jaringan ke politisi, tetapi kecil-kecilan. Ya, secara informal. Tetapi, secara sistematis, kayaknya memang belum. Politik itu, menurut saya, merupakan soal human approach. Memang ada hal-hal yang mendasar, seperti perbedaan ideologi yang harus dijembatani dengan ideologis lain. Namun, sebenarnya banyak persoalan politik yang bisa diselesaikan dengan human approach, membangun komunikasi dengan saling percaya. Kalau kita bicara jujur, dia tidak merasa saya membicarakan yang lain di belakang dia. Hal seperti inilah. Simpel saja. Setiap hubungan manusia, kalau kita tak pernah ngrasani orang, itu sudah kunci untuk trust. Ada kejujuran untuk bicara di antara kita. Akhirnya, manusia itu kan entitas yang baik. Good entity. Basically, human being is good. Ini mungkin nasib dari segi politik, tetapi so far sampai sekarang dengan politik terbatas yang saya alami, cukup berjalan.

Apakah kesederhanaan Anda itu menjadi kekuatan untuk menaklukan politik?

Ah, tidak juga. Saya menjumpai, kalau saya menggunakan approach dengan saling percaya, kejujuran, dan keterbukaan, kok tetap jalan. Saya tidak tahu apakah itu kekuatan atau bukan. Suatu saat, bisa saja saya melihat ini semua tidak jalan. Bisa saja. Tetapi, sampai sekarang saya masih percaya.

Pernah terpikir akan menjadi calon wapres?

Terus terang tidak. Saya tidak pernah menjadikan jabatan sebagai sasaran atau rencana hidup saya. Itu mengalir saja. Saya tidak tahu, mungkin hidup saya begitu, semua mengalir. Saya ikuti aliran itu. Kadang kala ada arus yang datang kepada saudara. Bukan mencari arus, tetapi datang. Kalau melawan arus, malah tidak baik. Itu pengalaman saya dalam hidup ketika menerima berbagai jabatan itu. Saya menoleh ke belakang, ini juga arus. Kalau saya lawan, nggak tahu.

Sekarang Anda sudah menjadi calon wapres. Apakah terlintas untuk jabatan yang lebih tinggi lagi?

Nggak. saya sudah pada bagian akhir dari masa saya. Saya menyadari itu dan saya menginginkan sebenarnya dari awal, waktu menjadi Menko atau Gubernur BI, yang mudalah yang maju. Tetapi, memang yang muda harus disiapkan. Jangan maju hanya karena muda. Siapkan diri. Saya sangat senang kalau yang muda mengambil alih. Kalau ke depan, saya tidak ada ambisi sama sekali.

Sudahkah ada tawaran untuk menjadi fungsionaris atau kader suatu parpol?

Belum. Kayaknya mereka tahu karena jawaban saya dari awal tidak. Sampai sekarang, saya juga tidak berminat. Kemungkinan besar, saya juga tidak akan ke sana. Catat saja sekarang, tidak ada ambisi sedikit pun. Coba saja nanti saya akan buktikan.

Apakah yang Anda pikirkan, jika terpilih, terutama karena sebelumnya ada resistensi terhadap Anda?

Resistensi bagaimana? Jadi, kalau seandainya kami terpilih dan mendapatkan mandat dari rakyat, tentu kami membentuk kabinet. Kabinet ini diharapkan lebih solid sebagai tim. Sebagai orang kedua, di mana presiden sebagai penanggung jawab akhir, tentu saja tim harus kompak. Artinya, harus bisa bekerja sama. Ini kuncinya, tentu saja harus bisa menampung elemen-elemen politik yang bisa memperkuat. Ini tatanan di kabinet. Kalau kita harus solid, portofolio yang ada di dalamnya satu sama lain harus sinergi. Jangan jalan sendiri. Saya kira itu yang mungkin dipikirkan oleh Presiden, yaitu sebuah kerja tim.

Dengan SBY, ada semacam kontrak politik yang Anda tanda tangani?

Saya tidak menandatangani apa pun. Saya percaya Presiden dan saya percaya bisa merumuskan mana-mana yang menjadi bagian tugas saya dan mana yang harus ditangani langsung oleh Presiden. Kalau didasarkan pada saling percaya dan saling mendukung, tidak perlu ada kontrak tertulis.

Tak adakah kekhawatiran apa yang direncanakan akan jalan jika tak ada kontrak yang ditandatangani?

Apakah yang tertulis di atas kertas sudah pasti jalan? Saya kira lebih mendalam kalau didasarkan pada rasa saling percaya. Saya merasa punya hal itu dengan Presiden.

Dahulu ada keluhan, karena saling percaya, banyak kebijakan yang tidak jalan di tingkat Menko....

Saya kira tidak. Tetapi, insya Allah tidak akan ada persoalan kalau kita saling percaya. Inilah pentingnya. Karena itu, menteri-menteri itu harus benar-benar menjadi komponen dari tim. Karena itu, mereka harus dipilih benar-benar atas dasar kemampuan untuk bekerja sama.

Menurut Anda, apa tantangan ke depan bangsa ini, terutama di bidang ekonomi?

Saya kira tinggal menyiapkan landasan untuk bergerak maju lebih cepat dan menyiapkan landasan agar gerakan maju lebih cepat ini diterjemahkan menjadi manfaat yang bisa lebih dirasakan rakyat. Nanti detailnya setelah kabinet terbentuk, tentu lebih konkret. Tetapi, intinya, kita harus menyiapkan mana-mana dari kendala terhadap percepatan pembangunan ini yang harus ditangani, apakah itu di bidang infrastruktur, iklim usaha, atau yang lain, akan kita lihat lagi simpul-simpul strategis. Jika itu kita tangani, perekonomian akan maju lebih cepat lagi.

Kedua, oke perekonomian bisa naik lebih cepat, tetapi muaranya kan pada kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan bagus, inflasi bagus, tetapi apa manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat? Saya kira nanti kita akan tetap meningkatkan program-program yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat. Sekarang ini sudah ada beberapa program itu, tetapi akan kita lihat lagi. Dengan demikian, akan nyambung antara program pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat.

Tentu saja, melandasi itu semua, seperti dalam pidato saya, pemerintahan yang bersih itu adalah kunci di mana-mana. Apa pun yang kita lakukan untuk dua hal itu, pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat, adalah pemerintahan yang bersih untuk bisa melaksanakan amanat rakyat dalam kenyataan di lapangan. Ini memang memerlukan birokrasi yang baik dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog