Jumat, 12 Juni 2009

POLITIK DAN AGAMA


Politisasi Aliran Tetap Mengalir

Meskipun banyak, bahkan di kalangan partai Islam sendiri, yang mengatakan bahwa pandangan politik aliran sudah tidak cocok lagi dengan politik Indonesia modern, politik Islam tampaknya masih mewarnai politik nasional.

Direktur Program Ma’arif Institute Fajar Riza Ul Haq di Jakarta, Senin (1/6), menilai politisasi aliran, dalam pentas politik nasional, sebaiknya tidak perlu diteruskan. Pasalnya, tidak saja akan merugikan perkembangan demokrasi, tetapi juga akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Politik ideologi dan politik aliran, menurut Fajar, memang sudah mulai surut sejak 1980- an. Kalaupun muncul politik aliran belakangan ini, lebih karena adanya sentimen agama yang menyeruak menjadi politik aliran. ”Sentimen politik aliran hanya dipermainkan dan diakhiri di ruang publik. Pasalnya, hanya menunjukkan kemunduran dalam pembentukan negara bangsa ke depan,” ujarnya.

Politisasi politik aliran seharusnya dihadapi secara sehat dulu. Misalnya, konvergensi sosial yang terjadi saat ini, di mana abangan dan santri semakin tipis jaraknya. Nasionalis dan agama juga semakin menyatu.

Apakah politik aliran tetap berjalan atau tidak? ”Yang jelas, sekarang lebih tampak hanya dipakai sebagai alat politik untuk menjatuhkan popularitas satu kandidat presiden,” kata Fajar.

Terlepas dari semua itu, Islam sebagai kelompok kekuatan politik yang nyata di masyarakat masih harus diperhitungkan dan tidak bisa dianggap sepele.

Bahwa pemilih partai Islam dalam pemilu tidak sebanyak pemilih partai yang berasaskan nasionalis dan sekuler memang fakta. Namun, jumlah pemilih yang menjadi pendukung partai Islam tetap nyata.

Paling tidak, di tengah musim gugur partai-partai politik berasaskan Islam, seperti PPP, PKB, PBR, dan PBB, masih ada Partai Keadilan Sejahtera yang konsisten dan mampu mendongkrak pemilihnya secara nyata.

Meskipun secara praktik politik berusaha meninggalkan kekentalan ciri keislamannya—terlepas dari kritik dan cibiran dari banyak pihak, PKS mampu menghimpun dukungan. Tidak sepantasnya politik Islam atau kekuatan masyarakat Islam dianggap sepi dalam pentas politik nasional.

Kegelisahan kalangan umat Islam karena direndahkan sebagai kelompok yang tidak mampu mengorganisasi diri sebagai kekuatan politik nasional juga bisa dilihat dalam pengajian bulanan di Gedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, akhir pekan lalu.

Meskipun PP Muhammadiyah sudah mengeluarkan maklumat tentang pemilu presiden yang sangat netral. Maklumat di antaranya memberikan kriteria pemimpin nasional yang mampu menjaga martabat bangsa dan kedaulatan negara dari berbagai intervensi dan kepentingan asing serta akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Meskipun merupakan pesan moral yang sangat wajar, maklumat tersebut tetap dirasakan sebagai tanda yang jelas tentang ke mana arah pilihan warga Muhammadiyah.

Belum lagi, sikap Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang mulai terang-terangan memperlihatkan kedekatan kepada pasangan Kalla-Wiranto di Jawa Timur, Minggu (31/5), juga memperlihatkan politik aliran masih mengalir di pentas politik nasional. Wallahualam bishawab.
(Imam Prihadiyoko)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog