Selasa, 23 Juni 2009

Debat Capres dan Masalah Pengangguran


Iman Sugema (InterCAFE, IPB)

Kita telah menyaksikan debat antarcapres tentang good governance yang tidak begitu menarik untuk ditonton. Selain mungkin isu yang diangkat dalam debat itu tak lebih dari tanya jawab mengenai pengetahuan umum biasa, diskusi terasa sangat kering karena praktis tak ada silang pendapat antarcapres. 

Dalam debat capres yang akan datang, mudah-mudahan kebosanan itu akan terobati. Setidaknya saya sebagai ekonom mengharapkan ada jawaban-jawaban yang jelas dan berbeda dari para capres tentang masalah pengangguran. Pengalaman di Amerika Serikat menunjukan bahwa salah satu faktor kunci kemenangan Reagan atas Carter adalah ketidakmampuan Carter dalam mengatasi masalah pengangguran. Dalam Pilpres 2004 lalu, Megawati juga kurang diuntungkan oleh memburuknya situasi pengangguran.

Sekarang memang angka pengangguran secara berangsur mulai turun, dari 8,46 persen di tahun 2008 menjadi 8,14 persen di tahun ini. Tapi, angka pengangguran sebesar ini masih terbilang tinggi. Kekhawatiran menjadi bertambah ketika kita menelisik lebih jauh angka-angka dari BPS.

Jumlah orang yang masuk ke dalam kategori setengah pengangguran justru mengalami peningkatan, dari 30,64 juta orang di tahun lalu dan menjadi 31,36 juta orang tahun ini. Begitupun, pekerja yang masuk ke dalam kategori pekerja keluarga telah meningkat dari 17,94 juta orang menjadi 18,66 juta orang. Jangan lupa juga bahwa lebih dari dua pertiga dari pekerja kita masih menggantungkan hidupnya di sektor informal.

Paparan di atas menunjukkan bahwa walaupun terdapat kecenderungan terjadinya penurunan angka pengangguran, data yang sama juga menunjukkan bahwa kualitas kesempatan pekerjaan yang tersedia justru menurun. Dengan kata lain, penyediaan lebih banyak kesempatan kerja justru terjadi dengan mengorbankan kualitas kesempatan kerja. Seolah-olah terjadi trade off antara kualitas dan kuantitas.

Salah satu implikasi dari fenomena di atas adalah bahwa kesejahteraan para pekerja belum tentu membaik. Pekerja biasanya merupakan lapisan sosial terbawah dan ketika kualitas kesempatan kerja memburuk, yang terjadi adalah 'bagi-bagi penderitaan'. Hal ini juga sejalan dengan fakta bahwa ketimpangan pendapatan selama empat tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Indeks Gini yang merupakan salah satu ukuran ketimpangan pendapatan telah meningkat dari 33 menjadi sekitar 38.

Memburuknya kualitas kesempatan kerja juga tercermin dari hasil survei InterCAFE yang menemukan fenomena down-skilling. Yaitu, kecenderungan pencari kerja untuk menerima pekerjaan yang tersedia walaupun kualifikasi yang dibutuhkan lebih rendah dari kualifikasi yang dimiliki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para sarjana baru sekarang ini banyak menyerbu jenis-jenis pekerjaaan yang sebetulnya cukup dikerjakan oleh mereka yang berpendidikan SMU saja.

Dengan terjadinya down-skilling ini, mereka yang kurang berpendidikan akan cenderung bekerja di sektor-sektor yang marjinal dengan penghasilan pas-pasan. Yang paling mungkin untuk dimasuki oleh mereka adalah sektor informal, terutama usaha kecil dan pertanian. Hal ini berarti bahwa mereka akan berbagi kemiskinan, bukan berbagi kekayaan.

Beruntung bahwa pertumbuhan ekonomi selama tahun 2007 dan 2008 cenderung berada di kisaran 6 persen sehingga ada kue yang lebih banyak dan bisa dibagi. Karena itu, kemiskinan juga sedikit berkurang. Tetapi, kecepatan kenaikan pendapatan di kalangan yang lebih kaya jauh lebih melesat, dibandingkan kelompok dengan status sosial yang lebih rendah. Kue yang kecil di kalangan bawah harus dibagi dengan jumlah orang yang lebih banyak. Akibatnya, ketimpangan pendapatan semakin memburuk.

Kini, kita menyadari betapa pentingnya mengaitkan penyediaan kesempatan kerja, dengan pemenuhan atas hak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan amanat konstitusi. Kalau kita hanya mengejar penurunan angka pengangguran semata, aspek pemerataan bisa jadi terlupakan. Ketimpangan dapat merupakan cikal bakal dari terjadinya instabilitas. Oleh karena itu, upaya-upaya serius harus dilakukan.

Dalam mencari penghidupan yang layak inilah, sebagian dari rakyat kita secara sukarela menggadaikan kehormatannya untuk menjadi kuli-kuli di negeri seberang. Itu karena bukan hanya tidak tersedianya pekerjaan di negeri sendiri, namun disebabkan kesempatan kerja yang tersedia tak mampu memberikan penghidupan yang layak.  

Kalau sudah begini, walaupun mereka diperlakukan secara kasar di negeri orang, selalu akan ada gelombang susulan para pekerja migran. Tentunya, sepanjang kita tidak bisa menyelesaikan masalah kesempatan kerja di dalam negeri, harus ada upaya serius agar para pekerja migran tersebut dilindungi sebaik-baiknya. Kalau tidak, akan ada puluhan ribu kasus kekerasan dan pelecehan oleh majikan di negeri seberang.

Untuk itu, adalah wajar jika kemudian masyarakat berharap banyak bahwa para capres dan cawapres, dapat memberi solusi yang nyata terhadap masalah di atas. Satu hal yang penting dari hasil riset kami adalah bahwa masalah kekurangtersediaan lapangan kerja dan masih tingginya pengangguran, tidak bisa hanya diselesaikan dengan mengubah struktur pasar tenaga kerja. Banyak ekonom yang terlalu percaya bahwa pada pendekatan ortodoks yang menyarankan agar dilakukan reformasi dalam pasar tenaga kerja, untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Katanya, pasar tenaga kerja harus dibuat menjadi lebih fleksibel.

Kenyataannya adalah bahwa pasar kerja kita sudah jauh lebih fleksibel dibandingkan Amerika Serikat dan Australia. Indikatornya sederhana saja, tiga perempat pekerja di negeri ini bekerja tanpa kontrak, yang secara hukum mengikat antara pekerja dan penyedia pekerjaan.Karena itu, kita tunggu jawaban dari para capres dalam debat mendatang atas permasalahan ini. Semoga saja ada perdebatan yang menarik tentang solusi yang mereka tawarkan. Selamat berdebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog