Minggu, 28 Juni 2009

Megawati Soekarnoputri


Roy BB Janis
Teguh Pendirian, Tetapi Kadang Masih Feodal


Saya mungkin jangan disebut lawan politik, tapi bekas anak buah saja. Saya kenal Megawati sejak Partai Demokrasi Indonesia Soerjadi, sekitar awal 1990-an. Saat itu saya sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Megawati jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Saat itu saya dengan Megawati termasuk kelompok 19 yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden di Sidang Umum MPR.

Pada waktu peristiwa penyerangan Kantor PDI-P atau dikenal Kasus 27 Juli, selama tiga tahun, bahkan selalu bertemu hampir setiap hari. Padahal, saat itu, banyak pengurus PDI yang menghilang. Hal itu juga yang membuat kami sangat dekat.

Hubungan personal dengan Megawati mulai terputus tahun 2005 ketika berseberangan di Kongres PDI Perjuangan. Saat itu, saya menjadi salah satu Ketua DPP PDI-P. Kemudian, saya mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan. Sejak itu tidak pernah saling sapa. Pernah bertemu di acara pernikahan atau di pesawat, tetapi juga belum saling sapa mungkin karena belum juga ada yang mempertemukan.

Setelah mengenal selama lebih kurang 15 tahun, saya lihat kekurangan Megawati itu karena tidak mau mengevaluasi diri berdasarkan pertimbangan rasional sehingga keputusan yang dibuat lebih banyak bersifat insinuatif.

Saat kalah dalam Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004, Megawati juga tidak mau melakukan evaluasi sehingga kesalahan lama diteruskan. Keputusan Megawati mencalonkan diri kembali dalam Pemilu Presiden 2009 seharusnya juga dievaluasi apa layak atau tidak. Kalaupun dianggap layak, harus ada perbaikan, tidak lagi menggunakan konsep lama. Dulu itu Megawati lebih percaya kekuatan luar daripada kekuatan dalam. Dukungan awal dari para pendukung setia diabaikan, tetapi malah menjalin koalisi kebangsaan dengan Partai Golkar. Perilaku Megawati juga elitis, tidak mau turun ke bawah. Meskipun menyebut sebagai pemimpin partai wong cilik, tetapi kadang masih bersifat feodal.

Tetapi, kelebihan Megawati adalah dia pemimpin yang punya pendirian teguh terhadap hal-hal yang diyakininya. Pada saat-saat kritis, Megawati juga tidak bisa dipengaruhi, termasuk oleh suami atau anaknya sendiri. Dalam pencalonan kali ini sebagai presiden, dia jalan terus, walaupun dari berbagai hitungan rasional berbicara lain. Ketika hampir terjadi kesepakatan koalisi antara PDI-P dengan Partai Demokrat, Mega juga berseberangan dengan Taufik Kiemas atau anaknya Puan Maharani. Dia tidak terpengaruh oleh lingkaran dekat. Dia teguh dengan keyakinannya.

***

Pramono Anung
Pemimpin yang Menggunakan Hati


Saya kenal beliau secara pribadi sejak 1998. Pada waktu itu beliau mengumpulkan anak-anak muda dan kalangan pengusaha. Saat Mbak Mega mengadakan pameran lukisan di beberapa tempat, saya termasuk yang sering diundang. Interaksi menjadi lebih dalam karena sejak menjadi Wakil Sekjen PDI-P tahun 2000, saya ikut membantu menyusun pidato. Sejak itu, hubungan tidak pernah terputus sampai sekarang.

Saya merasa kagum dan cocok dengan Megawati karena dia itu sosok pemimpin yang menggunakan hati. Dia juga seorang pemimpin yang kuat sekali. Dalam kekalahan pun dia selalu membangun optimisme. Dia juga seorang fighter, petarung. Ketika banyak orang yang mendorong untuk tidak maju lagi, dia juga sangat taat pada keputusan partai dan maju. Ini jadi kekuatan Megawati dibandingkan calon lain.

Sebagai politisi, Megawati itu sangat genuine, apa adanya, lugu. Megawati juga sebenarnya orang yang tidak pernah membicarakan kejelekan orang lain. Ketika 2004 hubungannya genting dengan Susilo Bambang Yudhoyono, dia juga tidak mau bicara kecuali ditanya. Itu pun bicara dalam konteks besar, pembangunan sistem.

Saya dan Mbak Mega juga sama- sama penggemar lukisan dari berbagai aliran. Banyak orang tidak tahu, Mbak Mega itu penggemar berat Masmundari, pelukis Damar Kurung. Saya juga termasuk yang mengerti koleksi lukisan Bung Karno. Jadi nyambung.

Kita juga punya kegemaran sama, wisata kuliner. Makanya badan saya juga mengalami pemekaran sistematis. Kalau keliling daerah, yang dipikirkan di mana cari makan yang enak dan sehat. Mungkin Mbak Mega gak kalah dengan Bondan Winarno. Dia tahu di Tuban ada rajungan yang enak, di Kediri ada sate siwun, cuma curangnya, yang saya sampai sekarang juga belum tahu, dia turun 12 kilogram, saya malah naik berat badan.

Dia juga sangat tertempa dengan kesenian. Dia sangat paham soal tarian, juga musik. Cuma kalau musik, kadang tidak nyambung. Kalau saya suka lagu sekarang, Mbak Mega zaman baheula.

Kekurangan Mbak Mega, dia orang yang tidak terlalu memedulikan membangun citra. Ketika saya dorong-dorong karena masyarakat sekarang sudah terbiasa melodramatis, nonton sinetron yang penuh tangis, dia malah katakan, kamu jangan atur aku. Aku mau jadi Megawati ya Megawati. Tahun 2004 pun dia membiarkan dinilai publik tanpa ada upaya untuk mengemas.

Namun, setelah berinteraksi lebih luas dengan publik, masyarakat juga mengetahui bahwa Megawati tidak seperti yang dipersepsikan selama ini, tidak bisa bicara. Stigma bahwa Mega pendiam, memang sudah terburu melekat. Tapi, dalam perjalanan, stigma itu luntur.

***

Hera Diana Tartosudiro
Tegas di Saat Genting


”Saya kenal Megawati sejak dia masih sekolah menengah pertama. Kebetulan, adik saya ada yang satu sekolah. Ayah saya, Suharyo, juga pernah menjadi Panglima di Kalimantan Timur saat Bung Karno jadi presiden.

Pengalaman paling berkesan waktu PDI Perjuangan tidak dikehendaki pemerintah saat itu. Kami pernah sama-sama nginap di salah satu pulau di Bali. Di sana tinggal di rumah penduduk yang banyak kutu busuk sehingga tidak bisa tidur dan pakai sarung. Pengalaman ini mungkin tidak akan dialami lagi.

Kelebihan Megawati itu biasanya di saat-saat genting sekali dia bisa mengambil keputusan yang tepat. Banyak yang mengira Megawati itu lambat, tapi setahu saya saat-saat krusial dia selalu cepat ambil keputusan. Dia juga sangat tegas, beda dengan saya. Karena itu, kami saling mengisi kalau diskusi.

Salah satu kelemahannya, dia itu kalau sakit hati susah kembalinya, agak lama. Tapi, dia itu manis. Dia itu memang keras hati, tapi lembut.

Pesan saya, kalau tidak terpilih sebagai presiden harus legowo karena yang terpenting siapa pun yang memimpin negeri ini tetap bisa menjaga NKRI. Kalau terpilih sebagai presiden kembali, dia harus meneruskan kerjanya yang belum selesai.(SUT) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog