Senin, 08 Juni 2009

Menyikapi Hasil Survei

Hasil survei pemilu presiden yang dipublikasikan sejumlah media memicu kritik. Independensi lembaga survei digugat dan dipertanyakan.

Transisi politik Indonesia dari negara otokrasi menjadi demokrasi sejak tahun 1998 telah membuka ruang keterbukaan politik. Keterbukaan politik memunculkan sejumlah lembaga riset yang secara berkala melakukan riset opini publik, termasuk riset popularitas dan elektabilitas seorang tokoh yang bertarung dalam pemilihan umum.

Lembaga survei menjelma menjadi sebuah instrumen demokrasi baru yang tentunya harus terus-menerus menjaga kredibilitasnya. Sekali kredibilitas itu tergadaikan— yang bisa mewujud dalam tertutupnya metodologi sehingga tak bisa diaudit sampai ke model pertanyaan yang diarahkan ke calon tertentu—maka berakhir pula eksistensi lembaga survei itu di mata publik.

Etika penelitian haruslah menjadi pegangan. Relasi antara lembaga survei dan lembaga yang membiayai sebaiknya diatur dalam kode etik. Sesuai dengan kode etik World Association Public Opinion Research, hubungan antara lembaga riset dan sponsor harus jelas dan diketahui publik secara terbuka, termasuk soal asal dana.

Sebagai sesuatu yang relatif baru, di tengah kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya memahami soal metodologi survei opini, hasil survei yang dipublikasikan kerap memicu kontroversi masyarakat dan memicu prasangka politik terhadap hasil survei tersebut. Ujung-ujungnya, kredibilitas lembaga survei digugat dan dipersoalkan.

Gugatan santer menyusul pengumuman hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI). Survei yang

dibiayai Fox Indonesia, yang merupakan konsultan politik calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, memprediksikan,

71 persen responden akan memilih pasangan SBY-Boediono, 16,4 persen memilih pasangan Megawati-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto mendapat 6 persen.

Kebingungan masyarakat terjadi menyusul pengumuman Lembaga Riset Indonesia (LRI). Dalam survei LRI yang diumumkan, 7 Juni—tiga hari setelah LSI mengumumkan hasil surveinya—SBY-Boediono akan dipilih 33,02 persen, Kalla-Wiranto mendapat 29,29 persen, dan Megawati-Prabowo mendapat 17,56 persen. Menurut prediksi LRI, yang tidak mau mengungkap siapa penyandang dana survei itu, pemilu presiden akan berlangsung dua putaran.

Perbedaan hasil survei jelas membingungkan masyarakat. Di Filipina, lembaga survei juga sering dibiayai sponsor. Namun, ketika survei akan diumumkan, pihak sponsor itulah yang mengumumkan hasilnya, bukan si lembaga survei. Juga menjadi pertanyaan, apakah survei internal yang dibiayai sponsor, hasilnya harus diumumkan kepada khalayak, kalau toh pengumuman itu hanya akan membingungkan masyarakat!

Sudah saatnya masyarakat membaca hasil survei secara kritis, termasuk terhadap lembaga yang cenderung menjadi alat dari si pemberi dana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog