Minggu, 31 Mei 2009

Pengamat: Rizal Duri Dalam Daging SBY


Laporan: M Hendry Ginting

Jakarta, RMonline. Capres Partai Demokrat SBY harus mengevaluasi anggota tim suksesnya yang bertindak tidak cerdas seperti Rizal Mallarangeng.

Pasalnya, bos Fox Indonesia itu bisa menjadi duri dalam daging yang dapat merusak citra SBY pada Pilpres 2009, kata Pengamat Politik UI Iberamsyah kepada RMonline, Jumat (29/5).

Menurut dia, SBY saat ini dikelilingi para preman politik. Pernyataan Rizal yang terus-terusan menyerang cawapres Megawati, Prabowo Subianto, menunjukkan adik Andi Mallarangeng tersebut tidak cerdas dan dapat merugikan SBY sendiri.

“Kalau tim sukses SBY dikelilingi preman maka akan menjadi blunder besar dan dapat merusak citranya sendiri yang dikenal santun dalam berpolitik. Ini berbahaya. Makanya tim sukses SBY harus dievaluasi total,” tegas Iberamsyah.

Rizal, tercatat beberapa kali menyerang Prabowo terutama soal program ekonomi kerakyatan yang diusungnya. Dia menilai program ekonomi kerakyatan tersebut hanya jargon belaka dan tidak akan dilaksanakan karena kalau terpilih mantan Pangkostrad tersebut hanya sibuk mengurusi kuda-kudanya.

Terbaru di sebuah situs, Rizal kembali menyerang putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo tersebut. Olahraga polo berkuda yang digemari mantan Danjen Kopassus itu dinilainya tidak sejalan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang sering dikumandangkan Prabowo.

Menurut Iberamsyah, dirinya heran mengapa Rizal bisa masuk dalam tim sukses SBY-Boediono. Padahal banyak di internal Partai Demokrat yang pintar-pintar dan tindak tanduknya sangat santun seperti SBY.

“Anas Urbaningrum misalnya. Orangnya sangat cerdas dibandingkan Rizal. Seharus orang seperti Anas yang direkrut,” kata Iberamsyah.
[dry]


kirim ke teman print


Baca juga:

Pemilu 2009 Rekayasa?



Agus Widiarto
Direktur Center for Indonesian Reform

Episode pemilu legislatif baru saja usai. KPU telah menetapkan bahwa Partai Demokrat memperoleh suara terbanyak sekitar 20 persen dengan raihan kursi sebanyak 150 kursi. Anggota legislatif terpilih pun telah ditetapkan oleh KPU. Pemilu legislatif kali ini juga menghasilkan konfigurasi politik sembilan partai politik yang berhak untuk menghuni Senayan.

Namun, episode pemilu ini tak henti sampai di sini. Masih ada episode season 2, pemilu presiden 8 Juli nanti. Riuh rendah dan hiruk-pikuknya pun kian terasa. Memang, ada pertalian yang tak bisa dipisahkan dari episode pemilu legislatif lalu. Munculnya tiga pasang calon presiden dan wakil presiden adalah konsekuensi logis dari hasil konfigurasi politik partai-partai, yang berujung kepada pengelompokan koalisi partai.

Fakta menunjukkan, koalisi ini terbangun melalui sebuah proses komunikasi politik yang berliku-liku dan bahkan sebagian publik melihatnya sebagai episode yang menjemukan, terutama dalam penentuan paket capres-cawapres. Terasa menjemukan karena episode ini sering kali mempertontonkan tingkah laku aktor yang lebih memburu kekuasaan, daripada mempedulikan kegetiran rakyat yang terpaksa harus gigit jari pula karena suara mereka kerap dimanipulasi, dipindahkan, dihilangkan oleh sejumlah aktor yang berperan sebagai pelaku antagonis.

Di sisi lain, banyak pihak yang menuding bahwa episode pemilu kali ini mempertontonkan kualitas pemilu terburuk, dibandingkan penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Beragam persoalan, misalnya data DPT yang kacau, tertukarnya surat suara antardapil, molornya batas penghitungan suara, manipulasi dan penggelembungan suara, terbelahnya partai dalam memberikan dukungan politik ke calon presiden dan wakil presiden, dan jual beli suara, menjadi fakta-fakta yang tak terbantahkan untuk mengatakan bahwa pemilu kali ini sarat dengan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, wajar jika banyak pihak mempertanyakan validitasnya.

Dari rangkaian episode pemilu legislatif lalu dan manuver-manuver elite jelang pemilu pilpres nanti, wajar jika sejumlah pertanyaan muncul. Apakah carut-marutnya pemilu kali ini merupakan sebuah skenario besar yang dirancang? Apakah hanya sekadar konsekuensi logis dari permainan elite politik? Apakah memang jalannya episode ini mengalir begitu saja?

Kelompok mana yang diuntungkan dari carut-marutnya pemilu kali ini? Apakah keuntungan ini menjadi sebuah blessing indisguise bagi satu pihak? Konteks sejarah banyak episode dalam sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa sebuah peristiwa dirancang oleh aktor-aktornya. Namun, di sisi berbeda, tak jarang skenario yang dibangun justru memiliki implikasi yang tak pernah dipikirkan dan direncanakan sebelumnya, yang kemudian mempengaruhi jalannya episode berikutnya. Blessing indisguised dapat disebut sebagai sebuah hikmah dari sebuah kejadian, atau bahkan bisa disebut sebagai sebuah kejadian yang memang sudah demikian adanya.

Dalam bahasa yang lebih religius, blessing indisguised disebut sebagai sebuah kehendak Sang Pencipta. Episode peristiwa kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah contoh nyata sebuah blessing indisguised yang bertalian dengan rekayasa aktor. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah fakta sejarah. Akan tetapi, di sisi lain, fakta itu tidak berdiri sendiri. Ada fakta lain yang mempengaruhi dan mengitarinya. Kekalahan Jepang tanggal 15 Agustus 1945 oleh sekutu bisa disebut sebagai sebuah blessing indisguised bagi bangsa Indonesia. Faktor ini pula yang mendorong para pelaku sejarah merancang sebuah proklamasi yang dipercepat dari yang seharusnya.

Seperti telah disampaikan di muka, Pemilu Legislatif 2009 ini menghadirkan kepada kita sebuah fakta yang kontroversial. Disebut demikian karena pelaksanaan pemilu penuh dengan ragam persoalan, yang mengundang kritik secara tajam. Timbul dugaan bahwa beragam persoalan yang muncul bukanlah persoalan yang terjadi begitu saja. Persoalannya tidak semata-mata administratif, seperti ketidakakuratan data dalam DPT, tetapi sudah merambah ke ranah politik.

Jika kita menempatkan episode Pemilu 2009 ini sebagai sebuah cerita yang utuh, agaknya fakta-fakta yang mengitarinya, baik sebelum dan sesudahnya patut untuk dihadirkan di sini. Sebut saja, soal produk UU tentang Pemilu tahun 2008 yang proses pembahasannya berlarut-larut dan yang telah memberikan pekerjaan amat berat bagi KPU, untuk menyelenggarakan pemilu. Pada titik ini, kesemrawutan pemilu kali ini memang tidak selamanya menjadi domain tanggung jawab KPU. Banyaknya parpol peserta Pemilu 2009 adalah produk UU Pemilu ini.

Bahwa KPU mempunyai kewajiban menyelenggarakan pemilu dengan baik memang seharusnya dilakukan, tetapi variabel-variabel yang terlalu rumit dalam segala aspek penyelenggaraan pemilu, adalah sebuah akibat dari kebijakan dan proses politik. Jika dilihat dari perspektif hubungan sebab akibat, carut-marutnya pemilu kali ini tak bisa dilepaskan dari perilaku aktor-aktor politik.

Publik tentu masih ingat ketika PKB pada akhirnya terbelah menjadi dua kubu, Muhaimin Iskandar dan Yeni Wahid. Pendapat rasional jelas mengatakan bahwa pecahnya PKB bukanlah tanpa kesengajaan. Bisa saja pihak-pihak yang bersengketa mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud memecah belah PKB. Publik tentu juga masih ingat ketika SBY mengumumkan dalam rapat kabinet, soal kemungkinan JK dan dirinya akan maju dan berkompetensi sebagai kandidat presiden, mengapa? Apakah ketika itu SBY memang sengaja menempatkan JK sebagai kompetitor karena adanya kekhawatiran soal capres tunggal?

Kita bisa saja berbeda argumentasi terhadap persoalan ini. Bisa saja episode ini memang dirancang untuk mencegah capres tunggal. Atau, bisa saja kita menyebutnya sebagai sebuah blessing indisguised. Artinya, kriteria yang dibuat oleh Demokrat telah menyebabkan JK maju sebagai kandidat presiden. Sehingga, hikmah yang terjadi adalah tidak terjadi capres tunggal.

Mengemas Citra Ala Mi Instan



Kisah Para Pemoles (3)


Oleh Rahmad Budi Harto, M Bachrul Ilmi

Apakah arti keluarga? Dalam iklan politik calon presiden (capres), itu bisa sangat berguna. Tim Kampanye Nasional Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sengaja 'mengeksploitasi' keluarga capres untuk iklan politik. SBY digambarkan sebagai sosok manusia yang nyaris sempurna. Di tengah kesibukannya sebagai kepala negara, dia masih bisa menyempatkan diri membagi waktu untuk keluarga.

''Di seluruh dunia, istri dan anak calon presiden itu penting. Di Amerika, bahkan anjing milik presiden dibicarakan. Di Prancis, publik ingin tahu siapa pacar Nicolas Sarkozy,'' kata Andi Zulkarnain Mallarangeng, pimpinan Fox Indonesia, konsultan politik kubu SBY-Boediono, yang menempatkan diri di bawah tim Bravo Media Center (BMC).

Iklan yang menceritakan sosok family man seorang SBY itu ditutup dengan gambar sang cucu perempuan yang sedang tersenyum lucu. Intinya, iklan ini ingin menggambarkan bahwa calon pemimpin lahir dari keluarga baik-baik dan bisa membina sebuah keluarga harmonis. Dan, sosok SBY bisa menjadi panutan bagi rakyat. Sebab, selain keluarganya harmonis, SBY berhasil mendidik kedua putranya sehingga bisa berprestasi.

Putra pertama, Agus Harimurti, lulusan terbaik Akademi Militer peraih bintang Adhi Makayasa. Sementara itu, putra kedua, Edhie Baskoro, menjadi anggota DPR termuda dengan dukungan suara paling banyak. ''Penting bagi publik untuk tahu bahwa tidak ada keluarga SBY yang macam-macam atau bermasalah. Juga, tidak ada yang terkait kepentingan bisnis,'' tegas Choel, sapaan Andi Zulkarnain Mallarangeng.

Tapi, Choel menyatakan, selama menjadi presiden, SBY sudah populer sehingga tak perlu lagi pencitraan. Citranya di masyarakat sudah terbentuk dengan sendirinya. Karena itu, dia membantah adanya pemolesan penampilan SBY di depan publik dengan bentuk pelatihan kepribadian.

Guyonan yang disampaikan SBY saat tampil di muka publik, seperti di forum Kadin, menurut Choel juga tidak dibuat-buat. ''SBY sudah presiden, tak perlu dilatih. Beliau sendiri suka joke. Beliau humoris,'' kata Choel.

Pengamat politik UI, Adrinof Chaniago, menduga penyusunan materi iklan capres SBY didasarkan pada beberapa kajian, seperti survei dari konsultan pencitraan. Itu tampak jelas dalam pesan dalam iklan yang mencakup aspek kepribadian dan aspek pendukung tugas kepresidenan.

Aspek kepribadian, salah satunya, ditunjukkan tampilan keluarga SBY. Ini untuk membidik kelompok pemilih strategis, seperti ibu rumah tangga dan pemilih pemula yang masih kental dengan semangat kekeluargaan. ''Dalam kelompok pemilih di Indonesia, salah satu yang cukup besar adalah kalangan ibu rumah tangga. Begitu juga dengan pemilih pemula,'' kata Andrinof.

Terkait kapasitas calon, iklan juga menyebutkan gelar doktor dan jenderal SBY. Ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan yang diklaim bakal membantu SBY menjalankan tugas sebagai presiden mendatang.

Adrinof menilai, strategi iklan SBY jelas mencontoh gaya iklan pemilu capres di Amerika. ''Perilaku sosial pemilih Amerika dan Indonesia tidak beda jauh karena terkait aspek personal dan kemampuan calon dalam memimpin,'' ujarnya.

Kubu SBY juga terlihat paling gencar mempergunakan media televisi. Itu diakui Choel. Dalam pencitraan politik, kata dia, tak bisa mengandalkan satu medium saja. Aspek supremasi udara memang sangat diperlukan dengan berondongan iklan tiap hari di televisi. ''Tapi, kita perlu juga yang namanya flexible engagement untuk membentuk opini dan menangkal serangan-serangan lawan. Itu tugas tim sukses yang lain,'' kata Choel.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa iklan politik kubu SBY memang lebih menonjolkan sisi citra pribadi SBY dibanding, misalnya, program kerja atau pemikiran politik, seperti iklan Prabowo Subianto. Bahkan, iklan politik SBY paling mutakhir mengambil mutlak format iklan mi instan Indomie, sekalian meminjam jingle buatan almarhum A Riyanto yang sangat populer itu.

Choel mengatakan, pemilihan jingle Indomie semata karena secara cepat bisa melekat dalam ingatan dan hati masyarakat. ''Masa kampanye pilpres itu pendek, tak seperti pemilu legislatif. Kami pilih jingle yang sudah melekat. Saya yakin, anak kecil juga cepat menangkap iklan itu.''

Namun, lagi-lagi isinya hanya lagu pujian sentimental dan ajakan memilih SBY sebagai presiden. Persis iklan jualan mi instan atau kecap nomor satu yang sering tak pernah menyebut alasan kuat mengapa kita harus membelinya.

Choel sendiri menolak menyebut iklan politik disamakan dengan menjual kandidat. Paling tidak, iklan ini cukup memancing perdebatan publik di media massa atau forum internet dan juga sindiran dari para lawan politik SBY.

Mungkin, program kerja pemerintahan SBY-Boediono bisa dijelaskan dengan slogan "Lanjutkan" dalam setiap iklan yang berarti program kerja mendatang adalah melanjutkan pemerintahan saat ini. Karena itu, iklan nonpencitraan lebih banyak berisi klaim prestasi pemerintahan SBY. ''Yang perlu adalah bagaimana supaya publik tahu apa yang sudah dikerjakan beliau,'' kata Choel.

Walau iklan ala mi instan itu menuai kontroversi, penampilan publik SBY juga ada yang menuai pujian. Sys NS yang 'desersi' dari Partai Demokrat dan kemudian mendirikan Partai NKRI mengacungkan jempolnya pada paparan SBY dalam acara Dialog Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Kamis lalu (28/5).

''Selamat, Pak. Pertanyaan panelis bagus, jawaban SBY juga sangat bagus,'' kata Sys sambil menyalami Djoko Suyanto, wakil ketua Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.

Entah kebetulan atau disengaja, ketika menutup dialog kebudayaan itu, SBY membaca puisi berjudul "Palagan Terakhir" yang merupakan salah satu dari kumpulan 31 puisi Taman Kehidupan yang dibuat SBY dalam waktu dua bulan, awal 2004 lalu. Puisi yang menceritakan sengketa berdarah di Tanah Jawa masa lalu itu merupakan refleksi kegundahan SBY tentang berbagai konflik di Tanah Air, seperti Maluku Utara, Ambon, Poso, dan Aceh.

Beberapa hari sebelumnya, Jusuf Kalla (JK) dalam acara sama juga membaca puisi bernada sama yang berjudul "Ambonku, Ambon Kita Semua", yang dibuatnya pada September 2004. JK yang saat itu menjadi menko kesra dalam kabinet Megawati bersama SBY sebagai menko polkam memang bertugas menciptakan perdamaian di wilayah konflik. Namun, peran JK dalam perdamaian justru jauh lebih menonjol dibandingkan SBY.

Apakah puisi SBY ini sengaja untuk melawan 'klaim sepihak' puisi JK? Choel dan Djoko Suyanto menolak spekulasi itu. ''Itu puisi yang paling disukai beliau,'' kata Choel.

Djoko menambahkan, setting Pegunungan Menoreh di puisi "Palagan Terakhir" terletak dekat Akademi Militer di Magelang. ''Itu tempat yang memberi kesan khusus pada SBY,'' kata Djoko.

Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, setidaknya Indonesia beruntung punya dua calon pemimpin yang sama-sama punya empati besar pada perdamaian sehingga krisis bisa teratasi. JK yang baru pertama kali membuat puisi itu isinya langsung menukik pada konflik Ambon. Sementara itu, puisi SBY yang memang gemar membuat kumpulan puisi sejak SMP itu memilih mengambil perumpamaan dari Tanah Jawa sebagai pusat konflik bersejarah.

''Kedua-duanya unik dan autentik. Tapi, puisi SBY lebih berpeluang masuk dalam substansi,'' kata Radar. Mungkin, puisi lebih jujur daripada iklan.

Kamis, 28 Mei 2009

Bangsa di Persimpangan

Oleh: Zaim Uchrowi

Sebenarnya, apa sih yang dimaui Pak Amien? Mas Tris mau mundur, ya?
Hari-hari ini, pertanyaan seperti itu banyak saya terima. Mungkin, saya dianggap mengenal keduanya.

Lima tahun lalu, saya menulis biografi resmi Pak Amien Rais. Saya telah berkawan dengan Mas Tris--panggilan Soetrisno Bachir--ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) sejak 1985. Kami bahkan punya usaha sosial bersama.
Yang membuat saya heran, mengapa mereka bertanya kepada saya? Mengapa bukan pada Pak Amien atau Mas Tris langsung?

Pertanyaan-pertanyaan itu cukup menunjukkan bangsa ini bimbang. Bangsa ini tengah berada di persimpangan. Budaya ewuh pekewuh pada pemimpin masih ada. Di sisi lain, orang mulai berani mempertanyakan setiap pilihan langkah pemimpin. Persimpangan seperti itu bukan hanya dihadapi masyarakat, namun juga sosok sekelas Pak Amien yang harus memilih antara politik tinggi atau politik praktis. Saat mundur dari kursi pimpinan partai 2005, Pak Amien seperti memilih politik tinggi dengan menjadi 'guru bangsa'.

Pemilu 2009 ternyata membuat belok lagi ke politik praktis. Pak Amien aktif 'menampung aspirasi' para kader. Mas Tris sudah banyak berkorban buat menyelamatkan partai Pak Amien. Tapi, ia tak didengar. Sesaat, pilihan Pak Amien masuk lagi politik praktis seperti benar. Jago yang digadangnya untuk calon wakil presiden, Hatta Rajasa, seperti akan dipinang Pak Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata tidak. Pak Amien tampak mendekat Kak Ucu, panggilan akrab Jusuf Kalla, saat Mas Tris resmi meneken koalisi dengan Partai Demokrat. Belakangan, Pak Amien harus jelaskan lagi posisi partainya. PAN secara partai tetap resmi berkoalisi dengan Demokrat. Tapi, boleh dong kalau kader punya aspirasi berbeda. Pak Amien menjadi tampak seperti politikus yang tak konsisten serta tega menyakiti kawannya. Banyak yang menuding Pak Amien. Tapi, saya malah berpandangan Pak Amien adalah korban.

Kapasitas serta karakter Pak Amien sangat mirip Ibnu Khaldun. Tokoh besar peradaban yang juga di persimpangan jalan politik dan akademik. Beberapa kali Ibnu Khaldun terjun langsung ke politik. Beberapa kali berhasil, namun lebih sering terjebak pusaran politik praktis. Ibnu Khaldun selamat setelah mampu keluar dari jebakan itu dengan membuat mahakarya peradaban, Muqaddimah.

Pak Amien masih terus terjebak di pusaran politik praktis hingga menjadi 'korban terbesar keadaan sekarang'. Jasa besar Pak Amien sebagai 'Bapak Reformasi' mulai diabaikan publik. Pak Amien dipandang sebagai politikus biasa seperti banyaknya politikus lain yang masih berlogika politik lama.

Pak Amien benar-benar di persimpangan. Terus, bergulat di politik praktis hingga berujung seperti Gus Dur? Atau, hijrah ke jalan intelektual hingga membuat karya peradaban seperti Ibnu Khaldun? Mas Tris yang sering disebut sebagai 'korban Pak Amien' juga di persimpangan. Politik dinilainya sangat carut-marut serta kotor. Pandangan itu serupa dengan penilaian ICMI yang pekan ini merasa perlu mengeluarkan 'Maklumat Politik'.

Demokrasi sudah dibajak dari tujuan semula untuk 'menyejahterakan rakyat' ke kepentingan permainan kekuasaan semata. Praktik politik kotor dan tak terpuji merajalela meskipun terbungkus dalam kemasan rapi dan santun. Mas Tris gamang. Bisakah politik kotor itu diperbaiki atau sudah perlu ditinggalkan sama sekali?

Haruskah terus berkecimpung di kancah politik hingga suatu saat berkesempatan memperbaikinya? Apakah lebih baik fokus ke kegiatan sosial yang lebih jelas dalam mengantar menuju jalan ke surga? Mas Tris terjebak dan terdiam di pusaran persimpangan itu. Sebuah keadaan yang, bila terlalu lama, akan membuatnya seperti seorang yang hanya bisa 'menangisi keadaan' dan bukan seorang yang memang mampu membuat perubahan. Pak Sus, sebutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pun tak luput dari persimpangan.

Persimpangan pertama telah dilampauinya menjelang pemilu lalu. Pilihannya antara menggunakan jalan politik polos seperti 2004 atau memakai mesin politik yang mengerahkan seluruh kekuatan. Pak Sus memilih yang kedua.

Hasilnya terbukti luar biasa. Partai Demokrat yang Pak Sus bina melonjak pesat. Pak Sus berkembang dari seorang figur pemimpin sederhana menjadi sosok pemimpin sangat kuat, seperti Pak Harto dulu. Hampir seluruh kekuatan politik lain kelabakan di hadapan Pak Sus.

Dalam posisi begitu kuat ini, Pak Sus memasuki pusaran persimpangan kedua. Pak Sus dapat menggunakan posisi kuat itu untuk membuat karya nyata secara cepat bagi bangsa.

Itu yang dilakukan Park Chung-hee dalam mendongkrak Korea Selatan pada 1960-an. Juga, oleh Mahathir Muhammad dalam memajukan Malaysia. Bisa saja Pak Sus menggunakannya untuk membangun imperium kekuasaan ke depan. Sahabat, kerabat, bahkan putra Pak Sus juga telah sangat siap untuk itu. Saat ini, tak seorang pun dapat menghalangi Pak Sus bila memilih jalan tersebut. Bila jalan pertama dipilih, kita masih punya peluang menjadi seperti Tiongkok.

Kita bisa segera tinggal landas menjadi negara maju seperti Jepang. Bila jalan kedua dipilih, Indonesia tak akan ke mana-mana dan hanya akan berputar-putar atas nama demokrasi seperti Filipina. Salah-salah, kita malah bisa seperti Myanmar. Bangsa yang di tahun 1950-an merupakan salah satu bangsa paling berkembang di Asia setelah Jepang dan Filipina. Politik permainan kekuasaan telah meruntuhkan kemajuannya.

Mana yang akan menjadi pilihan ada di tangan Pak Sus. Bisa saja Pak Sus minta rakyat menentukan pilihan di persimpangan itu. Namun, hampir pasti rakyat juga akan menyerahkan kembali keputusan itu pada Pak Sus. Pak Amien dan Mas Tris, apa boleh buat, cuma bisa jadi penggembira.

Mitos Capres 2009


Kalau diumpamakan dengan pertandingan, tiga pasang capres-cawapres kita seakan sedang berada dalam perlombaan lari jarak pendek, sprint.


Ketiganya berusaha untuk lari secepat mungkin guna mencapai garis finis dan merenggut kemenangan.Mereka sadar benar bahwa waktu yang disediakan untuk melakukan sosialisasi dan kampanye –yang tak sampai dua bulan—tidak terlalu panjang. Sebab itu, mereka langsung tancap gas begitu peluit pertandingan dibunyikan dari titik start masing-masing: lokasi deklarasi.

Pasangan JK-Win yang lebih dulu mendeklarasikan diri di Tugu Proklamasi, pada Minggu 10 Mei 2009, langsung melakukan manuver. Beberapa hari setelah perhelatan itu, mereka sowan ke Sultan HB X dan melakukan silaturahmi politik dengan tokoh ulama NU maupun Muhammadiyah. Pasangan ini terus bergerak menemui kantong-kantong pendukungnya. Begitu pula dengan pasangan SBY-Boediono. Setelah deklarasi pada 15 Mei 2009 Gedung Sabuga ITB, Bandung, juga langsung melakukan gebrakan sosialisasi.

Manakala SBY ke Bali, Boediono pada 22 Mei 2009 yang berencana salat Jumat di Masjid Istiqlal akhirnya melakukannya di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta. Tak ketinggalan, pasangan Mega-Pro langsung bikin kehebohan politik dengan melakukan deklarasi dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Minggu, 24 Mei 2009.Megawati juga mengunjungi Pasar Blok A, Jakarta, sehari kemudian.

Mitos Politik

Bercerainya Kala dari SBY, diambilnya Boediono sebagai cawapres SBY, dan berjodohnya Mega- Prabowo membuat mitos capres 2009 berbeda jauh dari mitos capres 2004. Kita coba lihat perbandingan dan signifikansinya.

Kita masih ingat, dalam pencapresan 2004 primordialisme menjadi mitos politik yang sangat kuat. Faktor Jawa-luar Jawa,sipil-militer, nasionalis-Islam dan isu gender menjadi pertimbangan dalam pencocokan pasangan.Kecocokan primordialisme itu pula yang dijadikan dasar penguatan merek politik (political branding) sekaligus alat jualan saat kampanye.

Karenanya kita maklum,ketika itu kalau Wiranto (militer) memilih Solahuddin Wahid (sipil berbasis NU),Amien Rais (agamais berbasis Muhammadiyah) berpasangan dengan Siswono Yudhohusudo (nasionalis), SBY (milter-Jawa) menggandeng Kalla (sipil luar Jawa),Megawati (gender,nasionalis) mengambil Hasyim Muzadi (agamais-NU-Jawa) serta Hamzah Haz (sipil) merangkul Agum Gumelar (militer). Kala itu muncul anggapan keunggulan satu pasangan atas pasangan yang lain dilihat dari siapa yang paling lengkap komposisi primordialismenya.

Maka beruntunglah pasangan SBY-Kalla. Mereka lengkap dalam kemiliteran- kejawaan serta kesipilankeluarjawaan. Ditambah pula keduanya memanfaatkan media massa secara masif sebagai media kampanye, termasuk gencarnya iklan politik yang mereka lakukan. Popularitas SBY yang tinggi karena “dizalimi”oleh Taufiq Kiemas menunjang keberhasilan duet ini.

Dalam pencapresan 2009 ini, tampaknya mitos primordialisme sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke isu yang lebih rasional: pemihakan pada kepentingan rakyat melalui isu ekonomi prososial “versus” propasar.Pergeseran mitos ini bukan saja menarik, tetapi sangat penting. Demokrasi Indonesia mulai memasuki babak pendewasaan politik. Rupa-rupanya sentimen kedaerahan mulai dianggap tidak masalah lagi, yang sekarang diperlukan adalah kesejahteraan rakyat. Adalah pasangan SBY-Boediono yang sering diperhadapkan secara diametral dengan pasangan Mega-Prabowo.

Sekalipun kubu SBY-Boediono menolaknya, opini publik terlanjur menyebut pasangan ini adalah propasar.Label “neolib” pun dilekatkan kepada mereka. Sebaliknya, Mega-Prabowo menegaskan diri sebagai pasangan yang menganut sistem ekonomi kerakyatan. Baik Mega maupun Prabowo berulang-ulang menegaskan pentingnya ekonomi prososial ini. Adapun pasangan JK-Wiranto (JK-Win) tampaknya memilih sikap di tengah. Campur tangan diperlukan dalam melaksanakan ekonomi pasar demi kesejahteraan rakyat. Pendukung pasangan ini juga mencoba memakai mitos primordialisme sebagai pasangan yang lengkap kenusantaraannya.

Kalla yang Makassar beristrikan orang Minang, sementara Wiranto yang Jawa beristrikan orang Gorontalo. Efektifkah mitos baru ini membawa masing-masing pasangan ke Istana Negara? Tentu saja tidak otomatis. Tetapi yang jelas, kini publik bisa menilai –dan ini pertanda baik masuknya cara baru memilih pemimpin melalui mekanisme rational choice—siapa di antara mereka yang paling pas mengelola Indonesia. Siapa di antara mereka yang lebih menjanjikan dari segi kemampuan mencapai Indonesia yang mandiri dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Deklarasi dan Penegasan Mitos

Disadari atau tidak,sebetulnya masing-masing pasangan caprescawapres sendirilah yang memulai digulirkannya mitos prososial atau propasar ini. Mereka mengawalinya dari tempat deklarasi masingmasing. Yang paling mudah dilihat adalah deklarasi pasangan Mega- Pro yang mengambil lokasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Minggu 24 Mei 2009.

Dalam keseharian, di tempat itu para pemulung mengais-ngais sampah demi mencari rezeki. Saat deklarasi berlangsung, ribuan “wong cilik” diundang di tempat ini. Sekalipun deklarasi ini memakai biaya ratusan juta rupiah, pidato politik yang disampaikan pasangan Mega-Pro semakin menguatkan pilihan sistem ekonomi mereka: prorakyat. Sepekan sebelumnya, dalam deklarasi pada 15 Mei 2009 di Sabuga ITB Bandung yang banyak dinilai “wah”, SBY-Boediono tak pelak mengesankan sikapnya yang propasar.

Tiruan model deklarasi “ala” Obama-Biden membuat pasangan SBY-Boediono dipersepsikan oleh publik sebagai duet yang mengusung nilai Barat (AS). Gaya deklarasinya yang berkiblat ke AS seakan membenarkan anggapan sementara orang yang menyebut pasangan ini “neolib”, walaupun belum tentu semua yang mengecap itu paham benar apa arti neoliberal. Memilih tempat deklarasi di Tugu Proklamasi, JK-Win sepertinya ingin mengatakan kepada publik bahwa mereka ingin mencontoh Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta.

Dalam deklarasi pada tanggal 10 Mei 2009 itu JK-Win melakukannya dengan cukup sederhana. Hanya dihadiri sekitar 200 orang dan ditandai dengan pelepasan 100 balon, deklarasi ini konon hanya menelan biaya Rp20 jutaan. Beberapa pekan ke depan, mitos ekonomi propasar (neolib) dan ekonomi prososial (kerakyatan) akan terus bergulir.

Dalam masa kampanye nanti, seperti sudah dimulai dari sekarang, khususnya dalam debat ekonomi di Forum Kadin, pertarungan dua mitos ini akan semakin menguat, termasuk pada masa kampanye pilpres, baik secara terbuka ataupun tertutup. Bagi kita, selaku pemilih, semakin terbuka dan jelasnya masing-masing pasangan mengungkapkan sistem ekonomi (baca: konsep pembangunan) yang akan dilaksanakan jika terpilih, tentu sangat menguntungkan.

Karena atas kepastian konsep pembangunan mereka itu kita akan memilih salah satu dari mereka pada 8 Juli nanti. Kita memilih karena kita ingin sejahtera,bukan semata-mata agar mereka berkuasa, apalagi sampai menyengsarakan kita.(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI

Sabtu, 23 Mei 2009

Neoliberalisme dan Militer Di Panggung Politik, Kasihan Indonesia!


Terkait dengan semakin mendekatnya pemilu presiden, semakin memanas pula perdebatan dan perang wacana di media massa. Diantaranya yang paling seru adalah hiruk pikuk Boediono neoliberal hingga terus bergulir sampai kehulunya. SBY Neoliberal, sesungguhnya lengkapnya duet SBY-JK yang masih berkuasa hari ini. Padahal ada soal yang juga sama pentingnya dan kritis (tapi hampir tenggelam) yakni soal ramainya para jenderal di kancah kompetisi politik negeri ini.

Rene L Pattiradjawane dalam artikelnya Politik Jenderal : Militer Dalam Politik Kartel Demokrasi di Kompas (20 Mei 2009) menulis dengan sangat baik dan lugas soal ini.

Rene melihat politik demokrasi di negeri ini ibarat sebuah labirin…..

Rene mencatat, menggugah, menggugat, tulisnya…..

Ada jenderal calon wapres yang masih dituduh melakukan pelanggaran HAM berat sehingga kita pun harus siap-siap dan waswas jangan smpai setelah menjadi wapres terpilih, jenderal ini ditankap polisi di luar negeri, seperti yang terjadi pada Jendearal Spinoza ketika berkunjung ke Lomdon.”

Ada jenderal dituduh melakukan penculikan menyebabkan sekitar belasan orang tidak jelas rimbanya sampai sekarang. Atau, jenderal yang mengendalikan negara selama lima tahun terakhir ini yang condong mengulangi perilaku pemimpin Orde Baru dalam versi 2.0. Belum lagi jenderal-jenderal lain pendukung para capres dan cawapres, menjadi semacam kartel kekuasaan dan kekuatan politik pasca-Orde Baru


Khusus untuk partai pemenang pemilu legislatif (Demokrat) saya mencatat bertaburan bintang di tim sukses atau pemenangan Partai Demokrat. Paling tidak pada 6 tim, mantan militer (jenderal purnawirawan) menjadi pendiri, pengurus atau pembinanya. Tim Echo, Gerakan Pro SBY, Tim Delta, Tim Romeo, Barisan Indonesia dan Yayasan Dzikir SBY Nurussalam. (silah lihat lebih lanjut di http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/04/mantan-militer-purnawirwan-dominasi-tim.html)

Selanjutnya Rene menulis bagi rakyat kebanyakan, kehadiran para jenderal ini menjadi dilema tersendiri, karena kehadiran para jenderal selama 32 tahun Orde Baru sebenarnya tidak memberikan arti dan makna yang luas dalam meningkatkan kehidupan demokrasi. Disisi lain politisi sipil seperti terjebak dalam labirin politik kartel yang menganggap seolah-olah para jenderal ini mampu memperbaiki kehidupan kita semua.

Kasihan Indonesia! Begitu Rene menutup artikelnya.

Saya jadi teringat juga pernyataan Imparsial dalam satu siaran persnya yang menyebut politik Indonesia hari ini sebagai Politik yang Tuna Sejarah. Imparsial menyatakan Politik Indonesia adalah politik yang “Tuna Sejarah”. Politik ini tidak mengkoreksi kesalahan masa lalu, dan bahkan sebaliknya melupakannya. Di sini, bukannya keadilan korban yang terpenuhi, tetapi kemenangan pelaku pelanggaran HAM yang terlihatkan.

Imparsial juga menyatakan “…….oleh karenanya, disisa akhir pemerintahannya adalah benar apabila pemerintahan SBY-JK untuk berani mengungkap semua kejahatan yang terjadi, termasuk kasus pembunuhan aktifis HAM Munir. Jika tidak, SBY- JK tidak hanya telah menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri dengan membiarkannya, tetapi juga telah menjadi bagian dari politik yang tuna sejarah”.
(Silah tengok Politik yang Tuna Sejarah)

Alkisah dibanyak negeri miskin dan berkembang militer dan pendukung neoliberalisme (sebuah jalan ekonomi sekaligus politik, sosial, budaya dan tentu saja ideologi) adalah pasangan ideal (mutualis simbiosis) untuk terus memerkaya segelintir orang di satu sisi dan melanggengkan kekuasaan yang menindas dan menghisap di sisi lain.

Kasihan Sekali Indonesia! Begitu saya menutup catatan kecil ini

salam pembebasan

andreas iswinarto

10 Tanda-tanda Kekalahan SBY

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada masa pemilu ini, mungkin hanya terjadi kebetulan, namun makna peristiwa ‘kebetulan’ bisa jadi adalah pertanda. Kalimat bijak mengatakan,”tak mungkin ada asap jika tak ada api”, mendung adalah pertanda hujan, sebagai pertanda bisa turun hujan bisa juga tidak, dengan demikian bagi para fans SBY Berbudi kiranya bisa memaklumi postingan saya ini. Ibarat pawang hujan yang menggiring agar si mendung tidak menurunkan hujan di tempat SBY Berbudi, nah ..metafora ini bisa menjadi saran bagi tim sukses SBY Berbudi agar segera menyiapkan pawang setelah membaca tulisan saya ini.

2031244p

Seorang paranormal Ki Joko Bodo juga telah meramalkan kekalahan SBY seperti postingan saya sebelumnya http://public.kompasiana.com/2009/04/22/ramalan-ki-joko-bodo-sby-tumbang/ tanda-tanda lain adalah sebagai berikut :

1. Dalam Rakernas PD di Kemayoran pasca Pileg, SBY melontarkan kalimat akan menolak hasil pemilu 300 % jika masalah DPT tidak selesai, ini pengingkaran nyata yang tidak disadari SBY, karena jika mau menyelesaikan DPT Pileg, maka sejumlah pemilih yang tidak masuk List DPT saat Pileg, harus diadakan pencontrengan ulang. Nyatanya tidak dilakukan, secara tidak sadar SBY sebenarnya sudah menolak hasil Pileg yang dimenangkan oleh PD.

2. Saat SBY melakukan sukuran di Cikeas untuk kemenangan PD di Pileg melontarkan pidato perang urat syaraf terhadap JK dengan slogan lebih cepat lebih baik, padahal slogan ini ada sebelum masa kampanye Pileg, koq bukan saat itu SBY bereaksi. Artinya SBY menyadari posisi yang terpojok, merasakan bayang-bayang kekalahan, penurunan semangat keyakinan akan menang. Lontaran ini juga disampaikan pada saat yang kurang tepat, lagi acara sukuran, kenapa mesti di isi dengan pidato seolah permusuhan. Artinya menodai barokah sukuran itu sendiri.

3. SBY tidak Berbudi lagi, istilah ini muncul setelah tagline SBY Berbudi diganti dengan SBY-Boediono, karena makna berbudi bagi orang palembang bermakna pembohong. Bagi kalangan yang percaya dunia mistikus ini adalah pertanda buruk, bagi kalangan awam ini menjadi tanda tanya besar, “koq bisa kena gitu ya.” Terlepas dari ini saya menilai bahwa SBY memilih Boediono tidak dalam persiapan yang matang, seperti tiba masa tiba akal, buktinya taglinenya mengalami kesalahan fatal. Jadi lamanya penentuan sikap SBY memilih cawapres bisa dikatakan SBY sangat gamang, lelet dan tidak bisa berpikir cepat dan strategis di dalam menentukan sikap.

4. Pemilihan Boediono SBY seperti bertarung mengundi nasib bak pepatah, “Air di tempayang ditumpahkan karena mengharap hujan besar akan datang,” Motivasi lain memilih Boediono selain sebagai misi di dalam membangun citra bahwa SBY serius menangani persoalan ekonomi Indonesia adalah kaderisasi Boediono sebagai Capres PD di Pemilu 2014. Ternyata Boediono mengalami banyak penolakan di berbagai kalangan, ini kesan arogansi SBY, padahal banyak tokoh lain yang lebih baik dan tidak resisten konflik di tengah masyarakat. Membuang air ditempayang karena jika berpasangan dengan JK atau HNW, SBY sudah jelas menang, sangat mungkin menang di putaran pertama. memilih Boediono karena mengharap hujan besar akan datang, bisa menang Pilpres nanti, bisa melindungi obligor BLBI yang bermasalah, dan Boediono siap di kader oleh SBY untuk suksesi di Pilpres 2014. Jika hujan besar yang diharap tidak datang, apa mau dikata mari bersama PD makan bubur. Yang jelas bulan Juli dan September saat Pilpres itu sudah musim kemarau.

4. SBY sebagai presiden adalah Pangti TNI, pada hari Senin 6 April 2009 pukul 13.00 Wib Pesawat Fokker TNI AU jatuh di Lanud Hussein Sastranegara Kota Bandung di mana SBY mengambil tempat deklarasi nyapres juga di kota Bandung. Saat deklarasi SBY Berbudi mengenakan busana warnah merah, simbol kalah, jatuh dan terluka. Mungkin kebetulan saja. Namun pada hari Selasa 28 April 2009 pukul 10.30 Wib Pesawat TNI AL Tobago (TB-10) jatuh di Sungai Srilandak Semarang Jateng. Artinya SBY akan kalah telak di Dapil Jateng dan Jogya, mungkin dari JK-Wiranto atau Mega-Pro, yang jelas SBY Berbudi jadi nomor bontot kurus kering di Jateng. Dan pada Hari Rabu 20 Mei 2009 pukul 06.00 Pesawat Hercules C-130 jatuh di Magetan Jatim di mana Jatim sebagai tempat kelahiran SBY dan Boediono dengan dukungan PKB diperkirakan akan menuai suara padat voter. Peristiwa ini pertanda mungkin SBY Berbudi akan kalah suara dari pasangan lain di Jatim, mungkin pula pertanda SBY Berbudi kalah dalam Pilpres.

5. SBY telah mengingkari karomah tanggal kelahirannya 9 September 1949 yang selama ini dipercayainya, contohnya PD dibentuk pada tanggal 9 September 2001 dan memiliki Tabloid SBY 9949. Karena deklarasi capresnya diadakan pada tanggal 15 Mei 2009 diundur dari rencana paling awal pada tanggal 9 Mei 2009. Kebetulan tanggal 15 Mei adalah hari kelahiran JK yang sudah deklarasi di Tugu Proklamasi, mungkin kebetulan bisa pertanda SBY Berbudi akan terkalahkan oleh JK-Wiranto.

6. Pertanda lain dengan dipilihnya Boediono, mesin politik koalisi partai dari PAN, PKS dan PPP, akan berbuat setengah hati, mendua, buktinya elit ketiga partai ini mengalami perpecahan. Di level grassroot voter ke tiga partai ini menjadi massa mengambang, potensi swing voter cukup tinggi.

7. Massa voter SBY-JK di Pilpres I 2004 adalah 33 %, pada putaran ke dua 66 %, penolakan SBY berduet kembali dengan JK, menghasilkan 33 % massa mengambang, akan melakukan swing voter ke pasangan lain sebagai dampak rasa kecewa.

8. Issu ketrlibatan Boediono di dalam kasus Obligor bermasalah BLBI. Pada tahun 1997-1998 pemerintah Orba mengundang IMF masuk ke Indonesia di mana Boediono dan Sri Mulyani adalah perwakilan pemerintah di dalam TIM IMF dalam rangka misi perbaikan ekonomi dengan cara resstrukturisasi dunia perbankan dan pengurangan subsidi BBM serta pengucuran BLBI di dalam penyiapan Aksevibilitas penyediaan dana perbankan yang mulai kekurangan modal karena aksi money rust para penabung.

9. Pada jaman kepresidenan Megawati, dimana SBY dan JK mundur, Boediono sebagai menteri keuangan merekomendasi penjualan beberapa BUMN seperti Indosat ke pada Investor asing, hal ini juga bagian dari scenario IMF untuk menyehatkan BUMN dengan melegonya ke pihak asing. Dan pada posisi yang sama Boediono kembali menggelontorkan dana 600 trilyun umumnya kepada obligor BLBI yang bermasalah dan sekarang menjadi donasi partai tertentu dan kontestan pilpres, di mana pada Pemilu 2004 para obligor ini juga menjadi donasi yang sama, seperti gaya klasik Robin Hud. Dana 600 trilyun ini juga masih macet dan bermasalah. Jadi jangan heran jika muncul tudingan Pengwapresan Boediono adalah sebuah scenario besar menyelamatkan para obligor BLBI yang bermasalah. http://public.kompasiana.com/2009/05/16/scenario-besar-penyelamatan-obligor-blbi/. Boediono melahirkan citra kesedarhanaan palsu, hidup sederhana tetapi menumpuk uang 22,06 Milyar, dengan pertambahan setiap tahun sebesar 3 Milyar. Sedangkan figur Boediono tidak memiliki ladang bisnis atau aktivitas sosial.

10. Issu Boediono sebagai neoliberalisme dapat dipahami karena beliau ahli dalam bidang ekonomi makro, memahami kedua korelasi ini anda tidak perlu untuk kuliah di fak ekonomi karena ekonomi makro menganut paham pasar bebas, invidualitas, dan penguatan ekonomi pada investor usahawan yang tidak peduli apakah itu dari investor dalam negeri atau pihak asing. kalau proses tender tentu investor asing lebih unggul. Dari berbagai tekanan dan issu praduga sepak terjang Boediono, menurut informasi salah seorang teman jurnalist kawakan, bahwa Boediono mungkin akan mundur sebagai cawapres SBY.

Anda setuju tidak setuju dengan postingan ini, ini hanya analisa pertanda seperti ramalan cuaca, lebih cepat lebih baik para fans SBY dan Tim Suksesnya menjadikan tulisan ini sebagai referensi menyiapkan pawang hujan, karena dua pasangan lain tentu sudah menyiapkan hal yang sama. Wallahualam.

Salam Blogger Kompasiana.

Minggu, 17 Mei 2009

Panggung Kecil untuk Orang Besar


Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono sebagai calon wakil presiden. Melalui survei dan salat istikharah.

SEORANG laki-laki sigap menyorongkan panggung kecil warna biru ke belakang podium ketika nama Boediono, 66 tahun, disebutkan. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu bangkit dari kursinya lalu menghampiri calon presiden 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menunggu di atas. Berdiri di samping Yudhoyono yang tinggi besar, Boediono yang tak terlalu pendek namun kerempeng itu memang tampak seperti liliput. Dingklik biru setinggi 10 sentimeter itu disiapkan panitia agar tinggi keduanya tak terlalu jauh terpaut.

Adegan itu tampak saat Yudhoyono dan Boediono menghadiri acara geladi bersih deklarasi keduanya menjadi calon presiden dan wakil presiden, Jumat pekan lalu, beberapa jam sebelum acara.

”Alat bantu” itu luput dari perhatian tamu yang menghadiri deklarasi di Gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung. Para undangan tercekam oleh haru biru acara. Boediono berpidato dalam bahasa yang tangkas. ”Sejak merintis karier sebagai ekonom, tidak pernah ada cita-cita menduduki jabatan puncak di negeri ini,” katanya.

Boediono, yang dikenal kalem dan santun, malam itu berani berolah kata. Dengan cerdik ia menangkis tudingan bahwa ia penganut pandangan ekonomi neoliberal. Ia berani menyentil kiri-kanan dengan mengatakan tidak punya bisnis dan konflik kepentingan. Jabatan, kata dia, tidak untuk mencari muka.

Tak seperti Yudhoyono yang membaca teks, Boediono seolah menghafal naskah. Menghafal? Ah, sebetulnya tidak juga. Malam itu ia dibantu teleprompter—alat yang biasa dipakai penyiar berita televisi.

Malam sebelumnya, di sebuah tempat di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Boediono dilatih agar lancar membaca melalui alat bantu itu. Naskah pidato yang disiapkan seorang penulis kawakan itu harus rampung dibaca dalam tujuh menit. ”Latihan dilakukan berkali-kali,” kata seorang sumber Tempo.

Panitia dengan serius memperkuat citra positif yang sudah melekat pada Boediono: kalem, sederhana, dan cendekia. Jumat pagi, beberapa jam sebelum deklarasi, ia misalnya pergi ke Bandung dengan menumpang kereta api Parahyangan—kereta sederhana dengan harga tiket Rp 45.000 per orang.

Di kereta berpenyejuk udara itu, Boediono duduk di kursi 7A. Di sebelahnya tampak ekonom M. Ichsan dan di depan terpacak Herawati, istri Boediono. Selain Ichsan turut juga hadir ekonom M. Chatib Basri dan Raden Pardede, serta pemimpin lembaga studi Freedom Institut Rizal Mallarangeng. Ketiganya hadir dengan didampingi istri. Selain mereka tampak juga pemimpin redaksi sejumlah media.

Di Bandung, panitia menyiapkan acara kecil sebelum deklarasi. Di Gedung Indonesia Menggugat, bangunan tua tempat dulu Soekarno diadili, aktor Wawan Sofwan membacakan potongan pidato Bung Karno. Setelah itu esais Goenawan Mohamad membacakan pidato pendek tentang demokrasi. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu duduk di barisan kursi paling depan berbalut celana khaki, kemeja kotak-kotak marun lengan pendek, dan jaket cokelat merek Polo. Di akhir acara, penulis Taufik Rahzen membacakan doa.

Siapa yang menyiapkan semua itu? Acara deklarasi diatur oleh Fox Indonesia, konsultan politik yang pada pemilu legislatif lalu telah mendampingi Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sumber Tempo menyebutkan, ihwal memoles Boediono dilakukan oleh Rizal Mallarangeng. Meski di kereta api tampak dua petugas memakai rompi Fox Indonesia, sumber lain menyebutkan acara ini disiapkan oleh Rizal pribadi. Rizal sendiri membantah punya peranan. ”Saya hanya dimintai bantuan,” katanya.

Ia menyatakan mengenal dekat Boediono dan Presiden Yudhoyono. Apalagi, katanya, kakak kandung dia, Andi Mallarangeng, adalah juru bicara Presiden. Adik Rizal, Choel Mallarangeng, adalah memimpin Fox Indonesia.

l l l

KABAR terpilihnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden berawal ketika Yudhoyono mengumpulkan sejumlah menteri di Cikeas, Senin pekan lalu. Menurut salah seorang Ketua Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, pertemuan itu dilakukan terbatas dan tertutup. Yang hadir dalam pertemuan itu adalah Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri-Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh.

Resminya, rapat itu diagendakan membahas persoalan keamanan dan ekonomi. Boediono, kata Andi, menjelaskan situasi moneter. Yudhoyono membicarakan persiapan membuka Konferensi Kelautan Dunia di Manado tiga hari kemudian, selain juga membahas syarat pendaftaran calon presiden.

Sumber Tempo menyebutkan, di forum itulah Yudhoyono menyebut Boe-diono sebagai calon wakil presiden. Hatta, yang sebelumnya digadang-gadang Partai Amanat Nasional menjadi pendamping Yudhoyono, diplot menjadi menteri utama. Ia juga akan dipercaya menjadi ketua tim pemenangan pemilihan presiden. Ketika dimintai konfirmasi, Hatta menolak menjawab. ”Saya tidak mau komentar,” katanya. M. Nuh, yang ikut dalam rapat itu, menjawab diplomatis, ”Saya tidak harus menginformasikan hal-hal yang saya ketahui.”

Seusai rapat, Yudhoyono memerintahkan staf khusus Kurdi Mustofa memberi tahu petinggi partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat. Kurdi menyampaikan pesan ke Partai Keadilan Sejahtera melalui Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin. ”Ada utusan dari Cikeas yang menyampaikan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono,” kata Hilmi.

Kepada Partai Amanat Nasional, pesan disampaikan melalui Ketua Majelis Pertimbangan Amien Rais. Sedangkan untuk Partai Kebangkitan Bangsa, pesan langsung ke Ketua Umum Muhaimin Iskandar. Hilmi dan Amien ”meriang” terhadap keputusan ini meski akhirnya bisa menerima (lihat ”Boediono No, Delapan Kursi Yes”).

Menurut staf khusus Presiden, Heru Lelono, Boediono dipilih melalui survei publik. Heru tak menyebut lembaga survei mana yang dipakai, tapi sumber lain menyebut Lembaga Survei Indonesia. Direktur Riset LSI Kuskridho Ambardi membenarkan soal peran lembaganya.

Hubungan Yudhoyono dan LSI memang telah lama terjalin. Pada Juni tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya popularitas SBY anjlok dibandingkan Megawati, Yudhoyono mengundang Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani untuk berdiskusi.

Diskusi itu diulang pada Sabtu, 18 April lalu—sepekan setelah pemilu legislatif. Di Cikeas keduanya ngobrol dari pukul sembilan sampai sebelas malam. Yudhoyono menganalisis sejumlah calon wakil presiden yang selama ini dibicarakan publik. SBY menyebut Hatta, yang secara pribadi memiliki ”kimia” yang baik dengan Presiden tapi belum saatnya jadi calon wakil presiden. Begitu juga Sri Mulyani.

Yudhoyono lalu menyebut tiga nama yang ia pertimbangkan menjadi calon pendamping: Boediono, bekas Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Kuntoro Mangkusubroto, dan Aburizal Bakrie.

Boediono dinilai Presiden profesional dan bisa bekerja sama. Kuntoro dianggap hebat karena bisa membangun kembali Aceh setelah dihajar tsunami pada 2004. Aburizal dianggap tokoh yang bisa menjalin ”kerja sama” dengan partai-partai.

Ketika dikonfirmasi, Saiful enggan berkomentar. Adapun Heru secara tersirat tak menampik perbincangan Saiful dan Yudhoyono itu. ”Anda lebih tahu gitu loh,” katanya.

Untuk mendapat hasil yang akurat, LSI menyiapkan survei dengan responden tiga lapis: masyarakat umum, warga kelas menengah, dan wawancara kualitatif dengan tokoh masyarakat. Yang terakhir adalah intelektual, pemimpin redaksi, akademisi, teknokrat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang dianggap independen. Menurut Kuskridho, agar tak bocor bahwa penelitian itu dilakukan untuk menguji tiga kandidat, nama Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan sejumlah kandidat lain juga dievaluasi.

Survei masyarakat umum dilakukan terhadap 2.014 responden di seluruh Indonesia. Survei kelas menengah terhadap 400 responden pemilik telepon di 33 ibu kota provinsi. Responden tokoh masyarakat dilakukan terhadap 56 orang di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Mereka antara lain advokat Nono Anwar Makarim, bekas Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, Rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta Amin Abdullah, Direktur Pemberitaan Media Group Suryopratomo, Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, peneliti Centre for Strategic and International Studies J. Kristiadi, dan ekonom Umar Juoro. ”Saya dan Saiful turun langsung, ” kata Dodi, panggilan Kuskridho.

Setelah disodori lima nama tadi, responden diberi pertanyaan terbuka tentang orang yang pas jadi calon pendamping Yudhoyono. Mereka dinilai berdasarkan aspek integritas, loyalitas, kapabilitas, akseptabilitas, dan pengaruhnya pada koalisi partai. Penilaian itu lalu diberi skor 0 sampai 10.

Nono mengaku menerima formulir LSI melalui surat elektronik. ”Saya tinggal mengisi calon mana yang saya anggap cocok dan alasannya,” katanya. Syafi’i dan Amin Abdullah didatangi Dodi di Yogyakarta. Soal Boediono, Amin memberikan masukan dalam survei itu, ”Ia tenang dalam memecahkan persoalan dan dibutuhkan dalam menangani krisis.”

Hasil survei tak sulit ditebak: tingkat keterpilihan Yudhoyono paling tinggi di tingkat responden umum. Di level kelas menengah posisi SBY bahkan 10 persen lebih tinggi. Tokoh masyarakat juga memuji Boediono. Dibandingkan Kuntoro dan Aburizal, skornya paling atas. Berturut-turut nilai Boediono: integritas 8, loyalitas 8, kapabilitas 8, akseptabilitas 7, dan kemampuan membangun koalisi 6.

Umumnya tokoh masyarakat juga meyakinkan Yudhoyono bahwa tak perlu takut pada partai politik karena Partai Demokrat kini memperoleh kursi paling banyak di DPR. Boediono juga dianggap bisa berdiri di tengah dan bersikap obyektif terhadap semua partai. ”Ini fondasi penting untuk memperkuat koalisi,” kata Dodi. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyetujui analisis ini. ”Yudhoyono mengambil Boediono karena jika wakil presiden datang dari satu partai, partai lain akan iri,” katanya. Alasan lain, kata Heru Lelono, SBY ingin menegaskan kesan tidak sedang menyiapkan putra mahkota.

Yudhoyono dan Saiful bertemu kembali sepekan setelah order survei disampaikan. Tapi ada sedikit kendala teknis: sejak hari pemungutan suara April lalu, rumah Yudhoyono selalu dipantengi wartawan. Agar kuli tinta tak tahu, pagi itu jalan ke arah Cikeas ”disterilkan”. Saiful masuk bukan dari pintu depan seperti biasanya.

Sumber Tempo di Cikeas menyebutkan, dalam pertemuan itu Yudhoyono menyatakan sudah memanggil Boediono dua kali. Pertama, Boediono menyatakan pikir-pikir. Dalam kesempatan kedua, Boediono menerima dengan sedikit keraguan: ia mengkhawatirkan ”nasib” Bank Indonesia yang akan ia tinggalkan.

Jawaban Boediono itu makin membuat Yudhoyono kesengsem. ”Ia tak punya ambisi. Kalau tokoh lain diberi kursi wakil presiden pasti langsung diterkam,” kata seorang sumber yang mengetahui pertemuan itu. Boediono tak menyangkal cerita itu. ”Saya menyampaikan kesediaan pada malam syukuran kemenangan Partai Demokrat yang digelar di Cikeas,” katanya (lihat ”Boediono: Saya Tidak Bercita-cita Menjadi Kaya”).

Keputusan Yudhoyono itu lalu disampaikan ke Tim Sembilan Partai Demokrat dalam sebuah rapat tertutup di Cikeas. Menurut Mubarok, Yudhoyono menetapkan pilihan setelah salat istikharah. ”Tiap hari beliau salat istikharah,” katanya.

Malam itu semua hiruk-pikuk penetapan calon wakil Yudhoyono berakhir sudah. Boediono berdiri di samping Yudhoyono. Di atas panggung deklarasi, dengan bantuan dingklik biru, ia tampak serasi dengan sang calon presiden.

Arif Zulkifli, Sunudyantoro, Iqbal Muhtarom, Akbar Tri Kurniawan, Ismi Wahid, Agung Sedayu (Jakarta), Widiarsi Agustina (Bandung

Tantangan Parlemen Baru

Oleh: Azyumardi Azra


Rekapitulasi suara pemilu legislatif telah selesai. Alokasi kursi bagi masing-masing partai yang berhasil mencapai electoral threshold dua setengah persen, juga hampir sepenuhnya sudah bisa dipastikan. Dan juga begitu, mereka yang sudah pasti masuk dan tidak masuk ke DPR. Seperti diketahui, hanya sembilan partai yang berhasil mencapai 'ambang batas' persentase jumlah kursi di DPR RI; 29 partai lainnya harus menghilang dari percaturan politik legislatif nasional setidaknya selama lima tahun mendatang.

Di tengah perkembangan itu, mulai banyak suara skeptis tentang apakah DPR RI yang baru mampu lebih meningkatkan kualitas dan kinerja parlemen. Hal ini didasari kenyataan, cukup banyak anggota DPR RI sebelumnya yang memainkan peran penting, ternyata gagal terpilih kembali ke Senayan. Sebaliknya, cukup banyak artis dan selebritas lainnya, yang selama ini tidak pernah terlibat dalam politik--khususnya di parlemen--berhasil menjadi wajah-wajah baru di DPR nanti. Di luar itu, terdapat pula dari mereka yang terpilih, diragukan dapat memainkan peran sebagai legislator dengan baik.

Karena itu, menjadi salah satu tantangan para anggota DPR RI yang baru saja terpilih untuk membuktikan, mereka dapat meningkatkan kualitas, kapasitas, dan kinerja parlemen kita. Dalam beberapa tahun terakhir ini, semakin kuat kesadaran tentang pentingnya peranan parlemen, tidak hanya dalam memperkuat dan memberdayakan demokrasi, tetapi juga dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi yang memungkinkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Parlemen yang berkualitas menjadi tumpuan, misalnya, untuk dapat memainkan peran lebih aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Meski rancangan pembangunan sejak lima tahun lalu banyak berdasarkan visi, misi, dan program pasangan presiden-wakil presiden terpilih, tetapi tetap saja parlemen memainkan peranan krusial dalam penetapan kebijakan pembangunan, setidaknya selama lima tahun ke depan.

Kesadaran lebih kuat tentang pentingnya peningkatan peran parlemen itu, misalnya belum lama ini diputuskan dalam Persatuan Antar-Parlemen di Cape Town, Afrika Selatan. Juga diputuskan, misalnya, parlemen bertanggung jawab mengawasi secara ketat kebijakan pemerintah dalam membuat pinjaman luar negeri. Pada saat yang sama, parlemen berkewajiban memperkuat kepemilikan proses pembangunan. Dengan demikian, sekaligus mendorong penguatan tata kepemerintahan (governance) yang berorientasi kepada pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Karena itu, kita juga memerlukan parlemen yang kuat dan bisa memainkan peranannya secara efektif, tanpa harus terlibat atau campur dalam hal-hal yang memang semestinya menjadi bidang tugas eksekutif. Penguatan parlemen mestilah ditempatkan dalam kerangka: pertama, untuk peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah; kedua, untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan pemerintah tetap berkeadilan demi kesejahteraan rakyat; ketiga, untuk mengurangi ketegangan politik dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak puas untuk berbicara di parlemen; dan keempat, untuk memastikan bahwa negara semakin mandiri dalam penganggaran, tidak terus tergantung pada bantuan dan pinjaman dari pihak asing, yang pada gilirannya membuat kian beratnya beban negara.

Apakah yang dapat dan harus dilakukan untuk penguatan parlemen sehingga dapat memainkan perannya secara efektif dan efisien? Pertama-tama, melakukan pengembangan kapasitas (capacity building) pada tingkat individual anggota parlemen, yang kemudian menghasilkan peningkatan kapasitas parlemen. Untuk itu, khususnya mereka yang baru menjadi anggota parlemen mesti memperkuat pengetahuannya tentang keparlemenan, serta fungsi dan tanggung jawab mereka masing-masing, baik dalam konteks DPR itu sendiri maupun dalam hubungannya dengan eksekutif.

Jelas, jika kapasitas para anggota DPR rendah dalam hal-hal tersebut, sulit diharapkan parlemen dapat memainkan perannya secara efektif, baik dalam fungsi legislasi, budget, maupun pengawasan. Dan, jika kapasitas para anggota DPR rendah, apa yang terjadi di parlemen lebih banyak hanyalah perdebatan, pembicaraan yang ngalor ngidul seperti sering terjadi selama ini; terdapat anggota-anggota DPR yang asal ngomong dan mencerminkan bahwa mereka sebenarnya, tidak memiliki kapasitas pengetahuan yang memadai tentang subjek yang dibicarakan.

Tak kurang pentingnya, para anggota parlemen semestinya memelihara kredibilitas, akuntabilitas, dan harkat parlemen sebagai lembaga wakil-wakil rakyat. Jika tidak, lembaga terhormat ini kembali menjadi sasaran cemoohan dan kejengkelan masyarakat, karena sikap dan tindakan yang tidak mencerminkan kehormatan lembaga wakil rakyat. Sudah sepatutnya, citra DPR selama ini yang tidak sepenuhnya memuaskan, dapat diperbaiki; muncul dengan citra baru yang mengundang trust publik secara keseluruhan.

Boediono No, Delapan Kursi Yes


Kecewa karena kadernya tak dipilih sebagai wakil presiden, sejumlah partai anggota koalisi Yudhoyono meradang. Lobi hingga detik terakhir.

BERDIRI di depan papan tulis putih, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menuliskan empat nama partai mitra koalisi Partai Demokrat. Selain nama partainya sendiri, ia menulis Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Ia lalu menorehkan jumlah kursi perolehan partai masing-masing.

Delapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari partai yang disebut duduk menyimak di ruang Fraksi Partai Keadilan Sejahtera lantai tiga Gedung Nusantara I kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa siang pekan lalu. Saat itu mereka baru saja mengikuti Rapat Paripurna Dewan.

Kabar terpilihnya Gubernur Bank Indonesia Boediono menjadi calon wakil presiden untuk berpasangan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono malam sebelumnya membuat mereka gelisah. ”Keputusan itu tidak pernah dikomunikasikan SBY sebelumnya dengan partai-partai calon koalisi,” kata Muhammad Najib dari Fraksi Partai Amanat Nasional.

Juga hadir dalam pertemuan dadakan itu dua anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta dan Aboe Bakar al-Habsyi, ketua dan anggota Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dan Ahmad Farhan Hamid, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin, dan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Imam Nahrowi.

Mereka lalu menghitung seberapa kuat otot politik para calon mitra koalisi. Setelah ditotal, jumlah kursi mereka ada 164. Jumlah ini jelas jauh melebihi batas minimum syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai, yakni 112 kursi. Mahfudz Siddiq lalu menambahkan Partai Gerakan Indonesia Raya. ”Jumlah kursi menjadi 190,” kata Najib. Angka ini setara dengan 34 persen kursi di parlemen.

Opsi lainnya, Farhan menambahkan, para mitra koalisi bisa mengalihkan suaranya ke Jusuf Kalla, pesaing Yudhoyono. ”Para calon mitra koalisi merasa tidak diwongke,” kata Farhan. Boediono dinilai tidak mewakili pakem koalisi—Jawa-Non-Jawa dan nasionalis-Islam. ”Pola pluralitas ini sudah ada sejak zaman Bung Karno dan Bung Hatta,” katanya. SBY dan Boediono sama-sama Jawa dan sama-sama nasionalis. Boediono dinilai tidak punya basis dukungan politik.

Partai Amanat Nasional mengusung Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera menjagokan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid. Partai Kebangkitan Bangsa menyodorkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar.

Malam harinya, pertemuan dilanjutkan di lantai 15 Hotel Nikko, Jakarta. Sekitar setengah delapan malam, peserta rapat mulai berdatangan. Mereka adalah Mahfudz Siddiq, Anis Matta, Ahmad Farhan, Zulkifli Hasan, dan Muhammad Najib.

Tapi tanda kempisnya ”pemberontakan” calon mitra koalisi Demokrat mulai terlihat malam itu. Wakil dari Partai Kebangkitan Bangsa tidak nongol hingga rapat yang digelar satu jam itu berakhir. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Helmy Faisal Zaini tetap akan mendukung Yudhoyono.

Menyadari ketidakpuasan para calon mitra koalisi, Partai Demokrat tidak tinggal diam. Sekitar pukul delapan, Selasa malam pekan lalu, pimpinan partai calon mitra koalisi diundang ke Wisma Negara, kompleks Istana, untuk diberi penjelasan tentang terpilihnya Boediono. Dari pihak pengundang hadir Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa. Dari empat mitra koalisi, hanya Partai Keadilan Sejahtera yang tidak mengirim wakilnya.

Keesokan harinya, sedianya para ”penentang Boediono” akan kembali berkumpul meski batal tanpa alasan yang jelas. Partai Persatuan Pembangunan melunak. Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim mengatakan, partainya tidak mempermasalahkan Boediono. Alasannya, sejak awal partainya tidak berambisi menduduki kursi wakil presiden. Meski demikian, rencana penandatanganan koalisi Partai Demokrat dengan partai mitra dibatalkan tanpa batas waktu.

l l l

PENENTANG Boediono hari itu praktis tinggal Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera. Yudhoyono menyadari kondisi ini. Rabu pagi, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amien Rais bertemu empat mata dengan Yudhoyono di Wisma Negara, Jakarta.

Kepada Yudhoyono, Amien menyampaikan kekecewaannya. Kata Amien, pemilihan Boediono merupakan kesalahan karena tidak mengikuti pakem Jawa-non Jawa dan Islam-nasionalis. ”Anda bisa masuk perangkap,” kata Amien seperti dituturkan seorang politikus Partai Amanat Nasional.

Amien juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa ekonomi kerakyatan akan terabaikan karena Boediono dinilai pro-pasar bebas. Atas keberatan Amien, Yudhoyono menjelaskan alasannya memilih Boediono.

Kepada Amien, Yudhoyono tetap mengharapkan dukungan PAN. Tapi kata bekas Ketua MPR itu, seperti dituturkan seorang sumber, ”Sulit menjual pasangan ini ke publik. Kami berkoalisi itu bukan untuk kalah.” Amien Rais sayangnya tidak bisa dimintai konfirmasi soal ini. Permintaan wawancara lewat anggota staf pribadinya, Ismail, tidak ditanggapi.

Siangnya, Amien menjelaskan hasil pertemuannya dengan Yudhoyono di sebuah kantor milik kader partai di daerah Bulungan, Jakarta Selatan. Menurut salah seorang fungsionaris PAN Tjatur Sapto Edy, dalam pertemuan itu Amien menunjukkan tiga lembar surat dari Yudhoyono. Surat itu diduga disampaikan Presiden melalui Hatta Rajasa.

Sebagian isi surat bersifat pribadi. Pada bagian lain Yudhoyono memaparkan alasan penunjukan Boediono. ”SBY berjanji, ekonomi Indonesia akan bersifat kerakyatan dan bukannya pasar bebas,” kata Tjatur.

Di surat itu, Yudhoyono juga menyebut Amien sebagai kakak dan great figure. Amien membalas surat itu dengan tulisan tangan dan menjelaskan kembali alasan penolakannya terhadap Boediono. ”Pak Amien itu sikapnya tegas,” kata Tjatur. Ketika dikonfirmasi, Hatta Rajasa mengaku tidak tahu soal surat itu.

Kamis keesokan harinya, rapat internal PAN digelar untuk menyikapi undangan deklarasi pasangan Yudhoyono-Boediono. Empat orang petinggi partai, termasuk Sekretaris Jenderal Zulkifli Hasan, diperintahkan berangkat. Amien Rais memutuskan tetap di Jakarta. ”Ini menunjukkan dukungan koalisi tidak penuh,” kata Tjatur.

PAN sebetulnya sempat berniat untuk berpaling. Pada Rabu malam, Amien Rais dikabarkan mengutus politikus senior PAN, A.M. Fatwa dan Djoko Susilo, untuk menemui Jusuf Kalla. Fatwa membenarkan cerita itu. Sedangkan Djoko enggan dimintai komentar. Sumber Tempo lainnya bercerita, pertemuan itu untuk menjajaki reaksi kubu Kalla setelah penunjukan Boediono. ”Kubu Kalla senang karena Boediono dianggap lebih banyak kekurangannya dibandingkan Hatta Rajasa,” kata sumber itu.

l l l

SAMPAI Kamis, penolakan terhadap Boediono praktis hanya dari Partai Keadilan Sejahtera. Di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin dan Suripto sempat bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto, yang berambisi menjadi presiden. Menurut Suripto, pertemuan itu baru sebatas perkenalan antara Hilmi dan Prabowo. ”Ustad Hilmi mengatakan hubungan Prabowo selanjutnya lewat saya,” kata Suripto kepada Tempo Jumat pekan lalu.

Sebelumnya PKS sempat mengirim Anis Matta dan Wakil Sekretaris Jenderal Fachry Hamzah untuk menemui Kalla. Namun pertemuan ini tidak berlanjut. Hari itu juga Yudhoyono menelepon Presiden Partai Keadilan Tifatul Sembiring dan menjelaskan sikapnya yang tetap peduli pada isu Islam internasional—agenda yang telah lama diusung PKS.

Melanjutkan hubungan telepon itu, tiga utusan Yudhoyono kemudian menemui Tifatul Sembiring dan Mahfudz Siddiq. Namun penjelasan tentang pemilihan Boediono dianggap kurang tuntas dan PKS menuntut penjelasan langsung dari Yudhoyono.

Pertemuan dengan Yudhoyono dilakukan di Hotel Sheraton Bandung, Jumat pekan lalu, beberapa saat sebelum deklarasi ”SBY Berbudi”—begitu nama duet Yudhoyono-Boediono kini disingkat.

Fungsionaris PKS Mardani berkisah bahwa pada saat itu kepada Hilmi dan Tifatul, Yudhoyono menjelaskan pilihannya pada Boediono. ”Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara terwujud ketika Boediono menjadi Menteri Koordinator Perekonomian,” kata Yudhoyono, seperti dikutip Mardani.

Yudhoyono juga menegaskan posisi Partai Keadilan dan Partai Demokrat sebagai tulang punggung koalisi. PKS juga akan dilibatkan dalam kabinet. Karena SBY harus hadir dalam deklarasi, pertemuan dipindah ke Junior Suite 305. Yudhoyono meninggalkan hotel dan meminta Hatta Rajasa menemani kedua petinggi PKS.

Menurut sumber Tempo, saat itu Tifatul menyampaikan permintaan agar PKS diberi posisi delapan menteri, di antaranya Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, Menteri Riset dan Teknologi, serta Menteri Usaha Kecil dan Menengah. Soal ini, Mardani tak menyangkal atau membenarkan. Katanya, ”Itu kan sebagian dari portofolio yang kami kaji.”

Namun Tifatul menampik partainya meminta jatah delapan menteri kepada SBY. ”Banyak amat delapan menteri,” katanya via telepon, Sabtu pekan lalu. Dalam pertemuan di Sheraton itu, ujarnya, ia hanya menandatangani platform kerja sama di legislatif dan eksekutif.

Budi Riza, Ismi Wahid, Agung Sedayu

SBY, JK, Boediono


Toriq Hadad

WARTAWAN TEMPO

Semakin dekat hari pemilihan presiden, saya semakin galau. Aneh. Saya tak sebegini kalut ketika memilih wakil-wakil rakyat. Ketika itu saya enteng saja mencontreng partai X--kecuali di tingkat kabupaten saya mencentang nama tetangga saya yang ikut pemilihan--lalu cepat-cepat melipat surat suara, memasukkannya ke kotak. Beres. Sebuah eksekusi yang mudah, nyaris tanpa perasaan.

Memilih presiden ternyata lain. Saya kemrungsung membayangkan harus menjatuhkan pilihan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Saya umrah karena undangan SBY, ketika ia melawat ke lima negara Teluk pada 2006. Saya berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa (sai) di belakang SBY. Lalu, ketika memasuki makam Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi, Madinah, saya juga ikut berdoa bersama dia--peristiwa yang tak terlupakan. Di Istana, kalau ada undangan atau kesempatan wawancara, dia selalu tersenyum dan menyapa, "Apa kabar, Dik?" Ya, dia memang selalu cool. Walau banyak orang mendapat kesan dia rada jaim, saya yakin senyumnya tulus.

Jusuf Kalla selalu hangat, ramai, apa adanya. Satu kelebihan JK, ia ingat dan menyebut nama hampir semua wartawan yang dia kenal. Tapi yang mengesankan: JK tak pernah marah walaupun dikritik pedas.

Sekali waktu pada Maret 2007, saya dan kawan-kawan Tempo mewawancarai JK soal helikopter Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Bencana yang ditahan Bea dan Cukai lantaran perusahaan pemasok belum membayar jaminan kepabeanan. Nah, perusahaan pemasok itu rupanya milik keluarga JK. Begitu saya sampaikan bahwa Tempo ingin menulis laporan utama, JK langsung "menyerang" bahwa soal itu bukan berita lantaran hanya Tempo yang ribut. Saya coba jelaskan, dia tetap berkukuh. Akhirnya wawancara gagal.

Menjelang meninggalkan ruang tamu di kantor Wakil Presiden itu, JK menukas, "Saya hanya ingin menyumbang pada negara. Saya tak ingin setiap ada bencana kita minta bantuan helikopter pada negara tetangga. Malu kita. Janganlah kau buat ini jadi masalah besar. Sudah, ya, saya mau urus negara."

Kami tercengang. Itu hari Jumat, esok harinya kami sudah harus menyerahkan seluruh naskah ke percetakan. Akhirnya kami putuskan urusan helikopter Bakornas tetap sebagai laporan utama. Saya bayangkan JK pasti marah besar, tapi saya tak mau ia menjadi pejabat tinggi pertama di masa reformasi yang "mencederai" kebebasan pers.

Ternyata JK biasa saja. Sebulan setelah laporan utama majalah Tempo muncul, dia mengundang para pemimpin redaksi makan malam di rumah dinasnya. Dia tetap hangat, tak kelihatan memendam amarah, humornya tetap melimpah, dan tetap sibuk mempersilakan siapa saja menyantap coto Makassar.

Dan sekarang tiba-tiba muncul Boediono. Hati saya semakin terbelah. Saya tak bisa lupa bagaimana dia dengan khusyuknya menjalani sai. Dia terus menunduk ketika berlari-lari kecil, kelihatan menikmati betul ritual itu. Lalu suatu hari di Doha, Qatar, rupanya Pak Boed ini kehabisan kemeja tangan panjang. Bersama Menteri Mari Pangestu, saya ikut mengantarnya ke mal, mencari kemeja baru. Saya pikir, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian (pada 2006 itu), ia akan membeli kemeja yang setidaknya US$ 20 sepotong. Dugaan saya meleset jauh. Ia membeli tiga kemeja yang harga ketiganya hanya US$ 10! Memang ada sale besar di sana. "Saya kan ekonom," begitu alasannya.

Tadinya saya berencana untuk tak memilih. Tak sanggup rasanya memihak SBY dan meninggalkan JK yang hangat dan tahan kritik itu. Bingung. Akhirnya saya lempar koin ke udara. Tap... koin mendarat di tangan: lambang Garuda di atas! Siapa yang saya pasang di lambang Garuda? Biarlah menjadi rahasia di bilik suara nanti.

Koalisi Parpol: Antara Cita-Cita dan Realitas

Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita selalu disuguhi berita-berita tentang kesepakatan, penjajakan, dan komunikasi politik antarelite partai dalam membangun koalisi.

Semuanya dibalut oleh satu tujuan, yakni memperjuangkan calon presiden. Golden Triangle, Golden Bridge, kemudian Koalisi Besar menjadi headline surat kabar yang nadanya menggarisbawahi kesepakatan itu. Belakangan, Hatta Rajasa diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melakukan komunikasi politik dengan elite PDIP.

Sebuah perkembangan baru karena sejak tidak lagi menjadi presiden, Megawati dan PDIP dianggap sebagai kekuatan oposisi. Ada spekulasi bahwa pendekatan ini akan mengurangi kadar oposisi PDIP. Sebaliknya, Partai Golkar dan Jusuf Kalla kini berada di luar lingkaran SBY. Kalau tidak ada perubahan, partai Orde Baru itu akan bersama-sama dengan Partai Hanura menghadapi SBY dalam pemilu presiden (pilpres) mendatang.

Berita paling mutakhir adalah ngambeknya PKS, PKB, dan PAN terhadap berita mengenai dipilihnya Boediono sebagai calon wakil presiden SBY dalam pilpres tersebut. Ketiga partai di atas berwacana untuk menarik dukungannya terhadap Partai Demokrat.

Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN Amien Rais menyatakan keinginannya untuk membentuk poros alternatif karena ternyata SBY juga tidak memperhitungkan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden sebagaimana diusulkan sebelumnya. Bagaimana kira-kira kita bisa menjelaskan konstelasi politik seperti di atas?

Apakah memang ini merupakan hal baru dan bermanfaat bagi pematangan demokrasi kita? Atau hanya sebatas upacara politik atau gimik dari sebuah prosesi demokrasi dalam memilih orang nomor satu dan dua di republik ini? Jika di masa lalu suksesi selalu berdarah-darah dan tidak demokratis, apakah model koalisi seperti ini yang menggantikannya?

Kekuatan Pendorong

Sejak reformasi politik dilakukan, Indonesia mengalami perkembangan yang tak ada presedennya. Sedikitnya ada tiga hal yang patut untuk diberi catatan. Pertama, semua elite politik berusaha mengadopsi demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara.

Dalam kaitannya dengan suksesi kepemimpinan, mereka sepakat untuk menggunakan pemilu sebagai mediumnya. Baik pemilu legislatif maupun pilpres telah disepakati sebagai jembatannya. Tiga pemilu di era Reformasi telah membuktikan cita-cita tersebut. Kedua, aktor politik tersebar di berbagai elemen. Bukan hanya negara yang berhak menentukan proses demokrasi, melainkan masyarakat juga.

Untuk itu, kebebasan berpartai menjadi pilihan. Tidak ada lagi larangan bagi siapa pun untuk membentuk partai politik. Tidak terlalu mengherankan bila kemudian jumlah partai pun berkembang dari waktu ke waktu. Bila pada Pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, Pemilu 2004 diikuti oleh separuh dari jumlah tersebut.

Kemudian dalam pemilu yang lalu, jumlahnya kembali membengkak menjadi 38 partai nasional, ditambah 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ketiga, keterbukaan informasi. Tanpa media massa, kita tidak tahu apa-apa mengenai kegiatan para elite partai tersebut.

Dengan adanya kebebasan untuk memperoleh berita, makin bebas pula para aktor tersebut bermanuver. Seolah, setelah masa kampanye pemilu usai, kini ada panggung baru yang dapat digunakan untuk memopulerkan keberadaan elite partai di republik ini. Sementara pendidikan dan sosialisasi politik belum dapat dilakukan oleh mereka, hiruk-pikuk koalisi yang diberitakan media diharapkan mampu menggantikannya.

Masalah

Semua elite partai politik mengklaim bahwa yang mereka lakukan adalah demi kepentingan negara dan bangsa. Artinya, keberadaan partai tidak semata-mata mencari kekuasaan bagi para fungsionarisnya, melainkan demi kepentingan yang lebih besar.Yang menjadi masalah, apa memang demikian?

Memang,bila presiden terpilih sudah efektif dan menjalankan kekuasaannya dengan baik, tujuan tersebut tak terbantahkan. Karena partailah negeri ini mendapatkan pemimpin yang membela kepentingan rakyatnya. Akan tetapi, sudah seberapa jauh cita-cita tersebut tercapai? Yang paling nyata adalah bahwa para elite partai berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh bagian dalam proses alokasi nilai di atas.

Atas nama ideologi, atas nama etnik, atas nama budaya, mereka memperjuangkan seseorang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Namun yang paling kasatmata adalah bahwa perjuangan itu tidak gratis. There is no such thing as a free lunch, tak ada makan siang gratis dalam politik. Kita memang patut berterima kasih kepada partai atas prakarsanya untuk memilih calon presiden. Untuk itu, pembagian jatah akan mereka terima cash ketika pemerintahan terbentuk kelak. Namun, kita lupa bahwa sistem pilpres sekarang sudah berbeda dengan masa lalu.

Dulu, semuanya tergantung pada partai atau elite yang berkuasa. Sekarang tidak, rakyatlah yang menentukan. Siapa pun yang terpilih adalah karena pilihan rakyat, bukan elite. Masalahnya, rakyat dapat apa? Ini yang menjadi persoalan. Rasanya, sebagian besar masyarakat sekarang sudah sangat well informed.

Mereka berharap agar tokoh partai jangan terlalu egois. Jangan berlagak menentukan republik ini. Dengan pemilihan langsung, rakyatlah yang berdaulat. Jadi, yang harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana agar keberadaan partai serta manuver politik dalam berkoalisi menguntungkan masyarakat, jangan hanya elite politik.

Prospek

Sebagai negara modern, kita memerlukan sistem bernegara yang modern pula. Ketika demokrasi telah menjadi pilihan, prinsip-prinsip demokrasi juga yang mesti diterapkan. Kebebasan berpolitik, berpartisipasi, dan pemilu menjadi ciri utama dari sistem ini. Pengambilan keputusan pun dilakukan secara demokratis.

Dalam konteks pembentukan pemerintahan, siapa pun pemenang pemilu, harus disepakati sebagai pemilik sahnya. Dengan kata lain, kita harus meninggalkan berbagai otoritas karismatik dan tradisional dalam mengakui sebuah lembaga kepemimpinan. Karena rakyatlah pemilik kedaulatan, pilihan rakyatlah yang paling menentukan. Jika sekarang pasangan Kalla dan Wiranto sudah terbentuk, kemudian menyusul SBY-Boediono, lantas siapa lagi berikutnya?

Semuanya harus diserahkan kepada rakyat yang akan memilihnya. Tidak seorang pun yang berhak mengatasnamakan rakyat atau ideologi dalam hal ini. Lagipula, rakyat Indonesia sekarang adalah rakyat yang sudah melek politik, jadi tidak lagi punya dasar untuk mengatasnamakan rakyat dalam pemilu. Kalaupun koalisi dianggap perlu, keberadaannya sudah terakomodasi dalam syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Jualan koalisi berikutnya hanya pas dalam proses menjalankan pemerintahan. Karena tidak ada partai yang dapat memperoleh suara mayoritas, koalisi dalam penyelenggaraan negara menjadi sebuah kebutuhan. Namun harus pula diingat bahwa karena sistem yang kita anut adalah presidensial, karakter koalisi sebenarnya tidak lagi diperlukan. Toh semua anggota DPR memiliki hak pengawasan.

Secara inheren mengandung fungsi oposisi pula. Kalaupun diperlukan, hanya pemerintah yang harus mencari kawan untuk berkoalisi. Sebab, mekanisme ini akan diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan pemerintah di parlemen. Semakin besar dukungan terhadap pemerintah, akan semakin efektif tugasnya.(*)

Indria Samego
Peneliti Senior The Habibie Center

Kamis, 14 Mei 2009

Ulama: Pilih Pemimpin yang Terbaik



Ulama meminta umat Islam memilih pemimpin yang memiliki empat sifat Rasulullah SAW.


JAKARTA-- Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, para ulama mengimbau umat Muslim menggunakan hak pilihnya dengan penuh tanggung jawab. Umat juga diminta menggunakan nalar dan hati nurani dalam memilih pemimpin Indonesia. Kalangan ulama mendorong agar umat Islam memilih pemimpin yang memiliki sifat seperti Rasulullah SAW.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyarankan agar umat Islam, khususnya warga persyarikatan untuk memilih pemimpin yang memiliki empat sifat Rasulullah SAW, yakni sidik (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabliq (komunikatif), dan fatonah (cerdas).

"Dalam bahasa kekinian, sidik itu jujur atau kredibel, amanah berarti bertanggung jawab atau akuntabel, tabliq berarti komunikatif dan fatonah itu cerdas. Perpaduan keempat sifat ini dapat membentuk karakter kepemimpinan yang andal," ujar Din kepada Republika, Kamis (14/5).

Menurut Din, saat ini Indonesia memerlukan pemimpin visioner yang memiliki kecerdasan dan mampu membaca masa depan. ''Ke arah mana bangsa ini akan dibawa serta kecerdasan membaca realitas yang dihadapi. Inilah implementasi dari sifat fatonah," ujarnya menegaskan.

Selain itu, tutur dia, Indonesia juga membutuhkan seorang pemimpin yang bisa berkomunikasi kepada rakyat untuk menjelaskan visi, misi, program, dan sekaligus kemampuan memotivasi atau menggerakkan rakyat. Karena itulah, kata dia, umat harus memilih pemimpin yang memiliki sifat tabliq.

Yang tak kalah penting, ungkap Din, umat perlu memilih pemimpin yang memiliki sifat sidik, yakni pemimpin yang jujur kepada diri sendiri, rakyat, dan bangsanya. Sayangnya, tutur dia, tak ada satu pun calon pemimpin Indonesia yang memiliki seluruh sifat Rasulullah itu.

"Memang dalam konteks saat ini, sulit merealisasikan sifat Rasul secara maksimal, tapi bisa saja ada. Masyarakat harus terlibat aktif dalam pemilihan tersebut. Pilih yang terbaik dari yang baik atau pilih yang baik dari yang kurang baik," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bagdja. Menurut dia, dalam Islam seorang pemimpin adalah orang yang memiliki sifat seperti Rasul yang menjadi uswatun hasanah atau teladan. "Seorang pemimpin itu harus jujur, berani mengatakan yang benar itu benar, serta menjalankan tugas dengan penuh amanah."

Sayangnya, papar dia, sekarang ini sangat sulit mencari pemimpin yang memiliki keempat sifat Rasulullah itu. ''Saat ini, banyak pemimpin yang tidak jujur dan tidak mampu menjalankan amanah,'' tuturnya. Untuk itu, Kiai Ahmad Bagdja mengingatkan agar umat tidak salah memilih pemimpin pada Pilpres 2009.

"Memilih pemimpin itu bagian dari ibadah, pilih pemimpin yang bisa menjalankan imamah dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Kalau yang ideal tidak ada, pilih yang punya potensi besar mendekati sifat tersebut. Umat pasti sudah tahu itu," ujarnya.

Menurut dia, umat tak boleh memilih pemimpin berdasarkan kedekatan saja, tapi harus melihat sifat-sifatnya. "Allah memperingatkan jangan pilih saudaramu, karibmu, keluargamu, yang mengajak kepada kekufuran atau mengajak yang tidak baik."

Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia (DMI), KH Tarmizi Taher, mengatakan, umat Islam harus memilih pemimpin yang baik. Menurut Alquran, kata dia, pemimpin yang baik itu senantiasa merasa sedih atas penderitaan masyarakat yang dipimpinnya. Selain itu, kepemimpinannya mendatangkan kebaikan bagi rakyatnya serta pemaaf atau lapang dada terhadap kesalahan yang dipimpinnya.

Kiai Tarmizi menyarankan agar umat memilih pemimpin yang paling tidak mendekati sifat-sifat Rasulullah SAW dan sifat-sifat pemimpin yang tercantum dalam Alquran. "Kita kan sudah melihat performa, tingkah laku, dan amanah dari capres dan cawapares. Buatlah nilai untuk setiap sifat yang mendekati kriteria tersebut. Tapi, jangan berharap kesempurnaan atau nilai bagus, pilihlah yang mendekati kesempurnaan tersebut."

Sementara itu, Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), KH Prof Ahmad Satori Ismail, menjelaskan, umat Islam perlu memilih seorang pemimpin yang memiliki keluasan ilmu, kekuatan jasmani, dan bisa dipercaya. Menurut dia, memilih pemimpin merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. "Pilihlah pemimpin yang sesuai dengan syarat yang disebutkan di dalam Alquran, pilih orang yang mengerti agama, amanah, dan jujur," paparnya.

Keluarga Alumni Masjid Salman (Kalam) seusai menggelar doa anak bangsa bersepakat bahwa Pilpres 2009 merupakan sebuah kesempatan besar bagi rakyat Indonesia, untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik. Menurut Kalam, pemimpin Indonesia untuk lima tahun mendatang haruslah seseorang yang mampu membuka jalan bagi bangsa ini meraih kesejahteraan, sekaligus keluar dari permasalahan-permasalahan yang melingkupi bangsa ini.

Menurut salah seorang aktivis Kalam, Buroki Tarich, pemimpin tersebut hendaklah mengelola negara dengan semangat nasionalisme tinggi, berbasis moral dan religiusitas yang kokoh, serta berfokus pada aneka program utama yang memang diperlukan rakyat. she/one

(-)
Index Koran

Rabu, 13 Mei 2009

Memilih Boediono,Memperkuat Sistem Presidensial?


Akhirnya terjawab juga teka-teki siapa figur yang akan mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang.

Teka-teki yang telah berlangsung sejak pecah kongsi dengan wakil presiden incumbent Jusuf Kalla terjawab pada Selasa (12/05) lalu. Merujuk keterangan yang dikemukakan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, SBY berketetapan hati memilih gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai pendamping.

Masih dari keterangan Hatta, pilihan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut didasarkan pada pertimbangan: Boediono dinilai paling rendah resistensinya dibandingkan dengan calon wakil presiden lain, terutama nama-nama yang berasal dari partai politik.

Di samping itu,pilihan kepada Boediono juga dimaksudkan untuk menegakkan sistem presidensial. Dari kedua dasar penetapan itu, tepatkah argumentasi bahwa model pilihan atas Boediono menjadi pasangan SBY dimaksudkan untuk menegakkan atau memperkuat sistem presidensial?

Pilihan Strategis

Sejak semula banyak kalangan menduga bahwa tidak mudah bagi SBY memilih salah satu di antara nama calon wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik yang telah memberikan sinyal bergabung dengan Partai Demokrat. Salah satu kesulitan itu, suara sah secara nasional partai politik yang sejak semula mendukung SBY tidak jauh berbeda satu sama lain.

Namun, kesulitan terbesar memilih calon yang berasal dari partai politik lebih pada pengalaman SBY ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla. Bagaimanapun, jika kembali menang dalam Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2009,memilih calon dari luar Partai Demokrat berpotensi memicu konflik menghadapi Pemilu 2014.

Meskipun SBY tidak lagi akan menjadi calon presiden tahun 2014, calon dari luar sangat mungkin mengulang pengalaman yang terjadi saat ini. Dengan demikian, argumentasi Boediono dinilai sebagai sosok paling rendah resistensinya dibandingkan dengan calon lain terutama yang berasal dari partai politik menjadi tidak cukup kuat. Buktinya, begitu Boediono dipastikan sebagai pendamping SBY, sebagian besar partai politik yang sejak semula memberikan dukungan secara terbuka menolak Boediono.

Penolakan itu tidak hanya menyangkut penetapan,tapi juga menyangkut cara SBY menetapkan Boediono. Melihat cara SBY menetapkan Boediono, amat mungkin hal ini terkait dengan perubahan “komunikasi” Partai Demokrat dan PDIP. Jika benar, pilihan pada Boediono bukan pada alasan resistensi partai politik terhadap Boediono lebih kecil,tetapi lebih pada pilihan strategis untuk membuka ruang guna menjadikan PDIP sebagi bagian dari koalisi pendukung SBY.

Jamak diketahui, dari semua nama yang menjadi anggota kabinet, Boediono menjadi sosok yang paling mungkin dan tepat menjadi jembatan mengajak PDIP menjadi bagian dari koalisi besar yang (bisa saja) sedang dirancang menghadapi DPR Periode 2009–2014.

Memperkuat Sistem Presidensial

Meski SBY (dan Kalla) berhasil menang secara mencolok dalam Pemilu 2004, secara keseluruhan Pemilu 2004 hanya menghasilkan minority government.Menurut Jose A Cheibub (2002), minority government terjadi karena presiden (eksekutif) tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif.

Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY (yaitu: Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.Karena itu,merangkul partai politik (termasuk Partai Golkar) menjadi pilihan yang terhindarkan.

Meski Partai Demokrat mampu meraih dukungan terbesar (baik suara secara nasional maupun jumlah kursi di DPR) dan sekiranya SBY juga berhasil memenangkan pemilu, Pemilu 2009 jelas menghasilkan minority government.

Untuk keluar dari jebakan minority government, dukungan dari sejumlah partai politik lain guna membentuk pemerintahan koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks itu, pilihan atas Boediono bukan dalam pengertian memperkuat sistem presidensial, tetapi lebih sebagai antisipasi untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perpecahan antara presiden dan wakil presiden.

Bagaimanapun, perpecahan yang terjadi antara presiden dan wakil presiden dapat memperlemah sistem presidensial.Sebagaimana yang terjadi saat ini,praktik sistem presidensial di negeri ini tengah menghadapi persoalan lain, yaitu eksekutif yang terbelah (divided executive).

Meskipun disinyalir sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu, perpecahan sesungguhnya terjadi ketika SBY secara terbuka “menolak pinangan”Partai Golkar untuk menempatkan Kalla sebagai pendamping SBY.Dengan penolakan itu, sampai 20 Oktober mendatang, divided executive harus diterima sebagai sebuah kenyataan.

Sekiranya penguatan sistem presidensial dimaknai untuk tidak terulangnya divided executivesebagaimana terjadi saat ini, tidak salah memilih Boediono.Namun tetap harus diingat,jika mereka berhasil memenangkan pemilu, tidak ada jaminan bahwa tidak akan terjadi pecah kongsi antara SBY dan Boediono.

Barangkali, jika pecah kongsi terjadi lagi, posisi SBY (dan juga Partai Demokrat) jauh lebih kuat dibandingkan yang terjadi saat ini. Di samping itu, jika pemilihan Boediono juga dimaksudkan untuk menarik PDIP menjadi bagian dari koalisi besar (dengan PD,PKS, PAN, PPP, dan PKB) yang terjadi bukan memperkuat sistem presidensial. Dengan dukungan sekitar 73% kursi di DPR, praktik sistem pemerintahan sedang didorong memasuki gerbang rezim otoriter.

Sebagaimana dikemukakan Arend Lijphart (1994), jika partai politik pendukung presiden merupakan mayoritas di lembaga legislatif, maka sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter. Sekalipun model sistem pemerintahan di era Orde Baru tidak sepenuhnya menganut model sistem presidensial Giovanni Sartori, era tersebut berubah menjadi rezim otoriter karena Soeharto benarbenar menguasai kekuatan politik di lembaga legislatif.

Dalam sistem presidensial, rezim otoriter sulit terwujud jika perimbangan kekuatan antara eksekutif dan legislatif dapat dibangun dengan baik. Untuk menjaga agar pemerintahan periode 2009–2014 tidak terperangkap menjadi rezim otoriter, partai politik harus punya political will menjaga keseimbangan hubungan eksekutif-legislatif.

Menyongsong 2014

Terlepas dari berbagai kemungkinan dan kekhawatiran di atas, pilihan SBY atas Boediono tentu akan memperlancar terjadinya peralihan generasi pada 2014. Sebagai calon yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan mendatang, berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, pada 2014 SBY tidak lagi dapat dicalonkan sebagai presiden.

Sementara itu, Boediono mungkin sudah terlalu tua untuk mengajukan diri sebagai calon presiden. Dengan kondisi itu, tahun 2014 menjadi lebih terbuka untuk munculnya generasi baru. Masalahnya sekarang, seberapa mampu partai politik dan semua komponen mempersiapkan generasi baru menyongsong 2014.

Tanpa kesiapan dan desain yang terencana untuk memberi tempat bagi generasi baru, bisa terulang kembali, generasi tua menjadi enggan meninggalkan panggung kekuasaan. Karena itu, mari bersiap menyongsong 2014.(*)

Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang

Beranikah PKS?


PENDULUM politik setelah Boediono dinyatakan sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bergerak sangat cepat dan dinamis.

Keputusan SBY merangkul orang nonpartai menimbulkan political shock dan berpotensi mengubah formasi puzzle koalisi partai yang sebelumnya mulai terbentuk. Pada satu sisi, pilihan itu rentan menimbulkan kekecewaan partaipartai koalisi SBY karena merasa keberadaannya dinafikan,karena tidak diajak berkomunikasi.

Lebih fatal lagi, bisa berakibat mundurnya partai pendukung. Sejumlah partai berbasis Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang (PBB) sempat mengungkapkan kekecewaan mereka.

Ketua Umum Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Amien Rais,yang sudah berinvestasi politik dan mempertaruhkan ”nama baik”-nya demi mengamankan pencalonan Hatta Rajasa dari PAN,juga bereaksi keras.Tapi pihak Istana masih bisa meredam gejolak politik tersebut dan mengembalikan mereka ke dalam formasi koalisi.

Kendati demikian, diplomasi Istana yang dimainkan utusan khusus SBY,yakni Hatta Rajasa,Sudi Silalahi,dan Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, belum mampu meredam PKS. Presiden PKS Tifatul Sembiring yang diundang ke Istana melalui telepon ternyata tidak hadir.

Pada sisi lain,keputusan SBY merangkul Boediono yang secara politis tidak populer meluapkan optimisme dan kepercayaan diri lawan-lawan politiknya.Mereka berhitung,keretakan koalisi SBY dan ketidakpopuleran Boediono bisa memperkuat basis dukungan dan probabilitas mereka mengalahkan SBY pada pemilihan presiden yang dilaksanakan 8 Juli nanti.

Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, misalnya, tentu berharap mendapat bola muntah berupa dukungan PKS.Masuknya PKS yang meraup 10,59% kursi parlemen jelas tak hanya akan memperkuat dukungan partai, tapi juga menggenjot probabilitas kemenangan mengingat fanatisme pendukung partai tersebut.

Dengan logika yang sama,Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Dewan Penasihat Gerindra Prabowo Subianto yang sama-sama berambisi maju pilpres juga melihat terbukanya peluang membalap SBY. Demi memanfaatkan peluang ini, keduanya sangat mungkin berpikir realistis dan merendahkan bargaining position masingmasing agar bisa bersatu dan bersama-sama memenangi pilpres.

Mungkinkahskenarioiniterwujud? Kuncinya kiniberadaditanganPKS: sejauh mana partai ini berani keluar dari koalisi SBY. Kalau tidak, berarti tesis bahwa partai-partai Indonesia pragmatis karena hanya ikut arus mendukung kandidat yang berpeluang menang benar adanya.Jika berani,PKS tentu harus siap dengan semua risiko terburuk,termasuk tidak akan terlibat dalam kabinet.

Sebuah gamblingdengan nilai taruhan yang sangat besar. Secara teoretis,posisi PKS di mata SBY sebenarnya sangat ngambang. Meski perolehan suaranya paling besar di antara partai-partai berbasis Islam, PKS tidak mempunyai privilese. PKS tidak bisa bernegosiasi mengatasnamakan Islam,termasuk dalam mengajukan kontrak politik.

Pada saat yang sama,SBY akan tetap merasa nyaman selama masih ada dukungan PPP,PAN,PKB,dan PBB,meski pada akhirnya tidak didukung PKS.Alasannya jelas, partai-partai tersebut sudah merepresentasikan dukungan kalangan Islam, yakni Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, maupun Masyumi.

Bahkan jika SBY berani melepas PKS, justru dia berpeluang meraih simpati dari kalangan Islam itu karena selama ini mereka mempunyai persoalan dengan gerakan PKS di akar rumput. Membaca tidak adanya progresivitas dari kalangan Istana untuk mendekati PKS,tampaknya SBY sudah menghitung dan siap melepas PKS.

Bahkan bisa jadi SBY lebih merasa nyaman tanpa PKS,karena toh selama ini manuver mereka cukup mengganggu, seperti ditunjukkan dengan berebut klaim keberhasilan sektor pertanian dan kampanye mengusung nama SBY sebagai capres.

Melihat gelagat ini, semestinya PKS berani mengambil sikap.Banyak opsi yang bisa dipilih seperti bergabung dengan JK-Wiranto,Megawati, atau Prabowo. Bahkan kabar terakhir menyebutkan, petinggi PKS sudah berkomunikasi dengan kubu JK-Wiranto. Bergabung dengan pasangan tersebut bisa menjadi pilihan realistis dan prospektif.Tapi sekali ini, semuanya tergantung PKS.Beranikah?(*)