Senin, 29 Juni 2009

SBY INGIN BANGSA MAKIN RASIONAL

J Osdar/Rikard Bagun

Angin dingin dari Benua Australia bertiup semilir masuk ke sebuah kamar hotel di Pantai Kupang, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, Minggu (14/6) sekitar pukul 18.30 waktu setempat. Di kamar itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima dua wartawan Kompas untuk wawancara khusus. Hari itu, Yudhoyono yang punya nama panggilan sehari-hari SBY baru tiba di Kupang setelah mengadakan perjalanan kampanye dari Malang (Jawa Timur), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Denpasar (Bali).

Setiba di Kupang, SBY langsung mengadakan perjalanan keliling menyapa rakyat yang ada di dalam pasar tradisional Naikoten. Ia bersama istri, Ny Ani Herawati Yudhoyono, putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), dan rombongan.

Kemudian, calon presiden yang berpasangan dengan calon wakil presiden Boediono ini berjumpa dengan massa pendukungnya di gedung olahraga Flobamora. Dalam wawancara ini, SBY, didampingi stafnya, yakni Andi Mallarangeng, Sardan Marbun, Denny Indrayana, dan Dino Patti Djalal.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI keenam dan presiden pertama yang dipilih langsung rakyat. Bersama Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakilnya, SBY menang dalam pemilihan langsung pada Pemilu 2004, mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat presiden. SBY-JK saat itu memperoleh 60 persen suara.

Berikut petikan wawancara dengan SBY selama satu jam lima belas menit yang diselingi dengan pembicaraan ringan lainnya.

Bila terpilih kembali menjadi presiden 2009-2014, itu merupakan periode terakhir Anda menjadi presiden. Warisan apa yang akan Anda berikan untuk bangsa ini?

Dua hal yang selama lima tahun saya memimpin ini pekerjaan rumah utama ke depan kalau kita rampungkan, dan itu disebut orang sebagai pewarisan, adalah good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dan demokrasi.

Mengenai pemerintahan yang baik dalam arti luas. Pembangunan, pengelolaan sumber daya, percepatan berbagai pembangunan tidak terwujud dengan baik bila tidak ada good governance atau pemerintahan yang baik. Jadi, good governance, menurut saya, landasan dari roda pemerintahan, penyelenggaraan kehidupan bernegara

Yang kedua, demokrasi. Bukan hanya harus selamat, tetapi juga harus berlanjut. Demokrasi harus betul-betul substantif, tidak hanya prosedural. Demokrasi itu akhirnya menjadi suatu jalan, suatu lingkungan utuh yang akhirnya kita dalam hidup berbangsa dan bernegara itu betul-betul merasa tenteram.

Reformasi memang era demokratisasi. Akan tetapi, pematangan demokrasi belum rampung. Konsolidasi kita belum rampung. Bila good governance dan demokrasi bergandengan tangan, saya yakin mimpi kita pada awal abad ke 21, barangkali 20-30 tahun dari sekarang, Indonesia menjadi negara maju. Jadi, saya mengangkat dua hal ini.

Citra Indonesia di luar negeri makin meningkat. Langkah apa lagi yang akan diambil untuk membawa Indonesia semakin berkibar di percaturan dunia.

Dulu kita bukan hanya menjadi pelaku aktif di ASEAN. Dulu kita menjadi saudara tua di ASEAN. Kemudian, kita mulai tersingkirkan karena masalah dalam negeri kita. Indonesia tidak mendapat penglihatan yang baik. Sekarang kita mulai lebih aktif lagi sebagai salah satu pendiri ASEAN. Kita tidak hanya sebagai pelaku aktif. PBB meletakkan sebagai mitra utama dalam banyak hal, contohnya dalam soal perubahan iklim. Kita dapat tempat terhormat.

Akan tetapi, yang saya hendak katakan, kita dianggap punya pendekatan moderat, tidak ikut berkonfrontasi, tidak memukul genderang perang. Sekarang ini kita nyaman berkomunikasi dengan siapa pun, dengan negara-negara Islam, juga dengan negara-negara barat. Kita juga bermitra dengan baik dengan negara-negara Asia, apalagi dengan China dan Jepang.

Hubungan baik itu termasuk hubungan pribadi saya dengan para pemimpin negara itu. Mereka merasa dekat dengan Indonesia. Yang kita kibarkan adalah wajah Indonesia yang bersahabat, damai tanpa mengobarkan rasa permusuhan dengan negara-negara lain, Indonesia bukan negara Islam. Akan tetapi, oleh dunia dianggap negara Islam moderat yang bisa hidup damai dan bergandengan dengan negara-negara lain. Inilah yang dilihat mereka....

Bagaimana ekonomi yang Anda bangun untuk negara ini ?

Tentang ekonomi, saya tetap berideologi, pertumbuhan disertai pemerataan. Dari Orde Baru, kita belajar tentang hal yang terlalu mengejar pertumbuhan. Di dunia mana pun, kalau yang dikejar hanya pertumbuhan, itu menimbulkan masalah sosial yang bisa mengganggu pertumbuhan. Maka dari awal, saya punya ideologi atau kebijakan dasar, selalu pertumbuhan disertai pemerataan. Apa realisasinya? Yakni, strategi tiga jalur, untuk pertumbuhan, untuk lapangan kerja, dan untuk kaum miskin. Ini harus dijaga secara berimbang. Pertumbuhan punya porsi besar. Akan tetapi, disertai dengan menjaga pemerataan, menanggulangi kemiskinan, dan meningkatkan daya beli yang juga besar porsinya.

Dengan kebijakan strategi seperti ini, yang lain akan mengikuti. Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan dasarnya, pendidikan, kesehatan, pangan, sandang, dan seterusnya, maka lingkungan sosial akan baik. Kalau kapital sosialnya baik, akan lebih mendorong pertumbuhan untuk pembangunan. Kalau sosial baik, politik dan keamanan akan mengikuti.

Maka, kalau diperkenankan mendapat mandat lagi ke depan, kalau saya masih diberi amanah dari Tuhan dan diberi mandat dari rakyat, apa yang sudah kami capai mesti kita perkokoh sambil memperbaiki yang kurang untuk diselesaikan. Kembali tentang pemerintahan yang baik tadi, antara lain perlu reformasi birokrasi yang terus kita mantapkan. Kita perbaiki pembangunan daerah yang belum berimbang. Kita adakan pertumbuhannya di mana-mana. Stabilitas politik tetap kita jaga. Keseimbangan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dijaga. Semua dalam tatanan politik yang stabil.

Lantas, hubungan antarbangsa tadi jangan sampai keliru dilihat. Kerja sama dengan negara lain jangan dilihat seolah-solah itu salah. Jangan sampai kita berpandangan sempit. Jangan kita masuk pada nasionalisme yang sempit. Janganlah dilihat bahwa kerja sama dengan negara lain itu salah, tidak sesuai dengan kemandirian bangsa. Kerja sama itu sebuah realitas, sepanjang, membawa manfaat, jujur, saling menghormati, saling menguntungkan. Itu kita lakukan sambil membangun kemampuan diri sendiri, sehingga tidak harus tergantung apa pun dari luar. Keliru kalau tiba-tiba mengisolasi diri, keliru kalau menganut nasionalisme membabi buta. Itu malah tidak dapat apa-apa. Tidak ada pemimpin yang lebih mencintai dunia lain daripada negerinya sendiri. Pemimpin mesti merah putih. Yang dipikir siang, malam ya rakyat, ya rakyat, ya rakyat.

Selama memerintah lima tahun terakhir, apakah ada hal yang masih mengganggu ?

Di luar tadi itu, yakni membangun pemerintahan yang baik dan demokrasi yang pas bagi bangsa ini, memang ada yang mengganggu saya sebagai seorang presiden dan itu juga sekaligus sebagai PR untuk perjalanan lima tahun berikutnya. Hal yang menjadi PR (pekerjaan rumah) dan mengganggu saya adalah bagaimana bangsa ini lebih rasional.

Saya manusia biasa, punya hati, punya perasaan. Saya berkomunikasi dengan rakyat dengan cara bermacam-macam, termasuk SMS, surat, ketemu langsung. Saya membaca pernyataan para politisi, para pengamat, dan siapa pun saya mendengarkan mereka. Terkadang yang mengganggu saya, sebagian dari semua itu tidak rasional. Terlalu emosional, kurang jernih. Kalau begini terus, keseharian kita, demokrasi kita terganggu. Saya takut, Indonesia gagal menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang unggul, berpikiran positif, sikap yang optimis, dan lain sebagainya. Padahal itu modal yang luar biasa.

Dalam batas kemampuan saya berusaha mengemban amanah, sampai kembali ke masyarakat biasa lagi nanti, saya akan terus berjuang juga untuk menjadikan bangsa ini makin rasional. Melihat segala permasalahan dengan logika, dengan penalaran, bukan dengan pendekatan-pendekatan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog