Rabu, 03 Juni 2009

Memompa Ban Kempis

Sukardi Rinakit

Ketika pesawat mulai lepas landas, tiba-tiba bapak yang duduk di sebelah bertanya tentang siapa yang sebenarnya paling pantas menjadi presiden kita saat ini.

Sambil mengantuk karena habis minum obat, saya menjawab, ”Sultan!” Sejenak dia diam. Lalu berkomentar, tidak ada partai yang mengusung Sultan Hamengku Buwono X sebagai calon presiden (capres).

Mengenai hal ini, itu lain soal. Tidak adanya ”tiket” capres bagi Sultan sejatinya tidak menyangkut visi, ketulusan hati, dan kemampuannya dalam memimpin. Tetapi lebih karena karakter dasar partai politik (parpol) itu sendiri. Sejauh ini, hampir semua parpol di republik ini masih dibelenggu budaya paternalistik dan oligarki. Selain itu, secara obyektif mereka juga dihadapkan pada persoalan nyata, yaitu butuh dana untuk menghidupi partai. Jadi wajar jika ”gizi” menjadi salah satu isu penting bagi parpol.

Mengingat persoalan yang membelenggu parpol masih klasik seperti itu, keputusan Sultan untuk akhirnya menepi dari hiruk pikuk politik adalah langkah bijak. Semoga pasangan capres-cawapres yang akan bertarung mampu membangun fondasi kuat bagi terwujudnya mimpi bersama bangsa.

”Tatas-titis-tetes”

Idealnya, langkah awal untuk mengarahkan biduk republik agar bergerak menuju terwujudnya mimpi bersama bangsa adalah tidak dipakainya seorang menteri yang memimpin tim sukses. Sekarang keadaan sudah telanjur. Bukan saja uat pertempuran menjadi tidak fair karena mereka bisa memanfaatkan posisinya untuk memperkuat daya gempur tim suksesnya, tetapi juga membuat pemerintahan menjadi ”lumpuh layuh” (lame duck). Pendeknya, biduk bangsa ini sedang bergerak ke kaki langit Akan tetapi, tanpa arah.

Mencermati gerak republik sejak pengumuman tim sukses dilakukan, terasa sekali optimisme publik menjadi menurun. Ini mungkin dipicu, salah satunya, oleh kenyataan bahwa sebagian besar menteri ikut melempem. Tanpa sadar, perhatian mereka dicuri oleh koleganya yang sibuk lobi dan bermanuver ke sana kemari demi keuntungan pribadi dan kelompok.

Kondisi itu diperparah oleh perdebatan antara tim sukses dan para pendukung pasangan capres-cawapres, yang sayangnya, tidak menyentuh substansi ideologi dan program tiap kandidat. Perdebatan justru melebar seperti tebaran anak panah yang meluncur dan menghunjam pribadi kandidat. Akibatnya, ranah politik menjadi keruh dan beraroma busuk. Tidak ada keteladanan yang bisa ditularkan kepada generasi muda kecuali oportunisme dan nafsu untuk mendapatkan materi dan kekuasaan dengan cara apa pun.

Padahal, perekrutan tim sukses tidak boleh lepas dari kaidah-kaidah demokrasi yang secara lokal biasa disebut spirit tatas-titis-tetes (selesai-benar-baik) dan permati (cermat). Jika seorang menteri menjadi ketua tim sukses, secara tepat dia hanya akan bisa memberesi saluran birokrasi dan mungkin menggalang penyediaan dana (tatas dan titis). Tetapi, dia gagal menjalankan spirit baik dan cermat (tetes dan permati) karena rambu-rambu etika politik pun bisa mereka terabas begitu saja.

Hal yang sama berlaku bagi individu-individu yang merasa diri menjadi tim sukses dan memfokuskan serangannya kepada pribadi lawan politik, bukan pada ideologi dan program. Fenomena tersebut memperkuat argumen bahwa praksis demokrasi di Indonesia masih dicengkeram praksis prosedural dan bukan substansial.

Memompa ban kempis

Bukti lain praksis demokrasi belum masuk dalam setiap tarikan napas dan aliran darah kita adalah tingginya kecenderungan kelompok strategis untuk mendukung pasangan capres yang diprediksi pasti akan menang. Mereka berbondong-bondong, ibarat burung pipit yang mengejar padi menguning di sawah yang tidak ada memedi sawahnya.

Mereka lupa, praktik demokrasi hanya akan terkonsolidasi jika ada keseimbangan antara pihak yang berkuasa dan kekuatan oposisi. Di sini, kita ingat pesan almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid).

Sore itu, sambil berjalan beriringan di lorong Universitas Paramadina, Cak Nur memberikan pesan agar penulis selalu mencoba untuk menjadi ”pemompa ban kempis”. Dengan demikian, akan muncul kekuatan yang seimbang untuk saling melakukan checks and balances. Demokrasi tak lebih hanya sebuah realitas semu jika tanpa kekuatan oposisi.

Dalam konteks kekinian, jika pemilu presiden (pilpres) dilakukan hari ini, siapa pun yakin, pasangan SBY Berbudi akan memenangi kompetisi. Tidak mengherankan jika pasangan ini diserbu orang-orang yang kemrungsung (gerudak-geruduk) untuk mempersembahkan dukungan. Secara hipotesis, mereka sebenarnya bukan orang yang secara sadar menginginkan agar kebijakan pemerintahan Presiden SBY berlanjut, tetapi karena ingin naik kereta kekuasaan nan aman.

Padahal, politik hampir selalu bergerak nonlinier. Sulit memprediksi apa yang akan terjadi pada pilpres nanti. Misalnya, jika muncul kesadaran kognitariat (pekerja otak) untuk membagi diri guna memompa ban yang masih kempis (pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo), maka pertempuran sengit akan terjadi dan peluang bergesernya roda kekuasaan masih terbuka.

Anda mau melakukannya? Saya sedang memikirkannya!

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog