Senin, 22 Juni 2009

"Kriteria 2000" dan Capres

ARY MOCHTAR PEDJU 

Beberapa waktu lalu, sebuah stasiun televisi menggelar dialog interaktif antara majelis rektor perguruan tinggi Indonesia dan calon presiden.

Dalam sambutan awal, pihak TV menyebutkan, topik dialog akan mencakup pendidikan, teknologi, riset, dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pembangunan bangsa. Masing-masing capres diharapkan memaparkan kebijakan tentang ini bila terpilih. Yang menarik, pihak TV menyentil peserta sambil bertanya, mengapa selama ini tidak pernah ada kritik dari universitas atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak tepat. Format acara itu, majelis rektor diwakili lima penanya dan masing-masing capres menjawab.

Meski program ini disebut dialog interaktif, pihak rektor/universitas (selanjutnya disebut universitas) memosisikan diri hanya bertanya dan menunggu jawaban tanpa pesan berupa gagasan atau alternatif pendekatan lain. Sentilan pihak TV bahwa belum terasa kritik atau gagasan signifikan universitas memang beralasan. Contoh, saat kita menghadapi beragam masalah besar dan kompleks, seperti bencana alam (tsunami, gempa di selatan Jawa, lumpur Sidoarjo, banjir, dan lainnya), investasi (Cepu, Natuna, Tangguh, Freeport, pembangunan infrastruktur dan lainnya), politik (Ambalat), ternyata universitas tidak muncul di media dengan kajian komprehensif antardisiplin disertai saran/solusi. Yang muncul, artikel yang ditulis ”orang universitas”, masing-masing meninjau dari disiplin ilmunya yang amat terkotak dengan asumsi berbeda-beda.

Kriteria 2000

Diprakarsai universitas di AS, setelah melalui berbagai kajian dan penelitian yang melibatkan banyak lembaga ilmiah AS dan Eropa, yang berlangsung sepanjang 1980-an, pada dekade berikut, 1990-an, disiapkan standar mutu baru pendidikan insinyur AS. Kriteria yang terkandung harus berlaku tahun 2000, populer dengan sebutan Criteria 2000.

Kini standar baru pendidikan insinyur AS ini telah menjadi acuan dunia karena telah diadopsi di Eropa, Jepang, banyak negara Asia Pasifik (APEC), bahkan beberapa negara Asia Tenggara.

Kemampuan insinyur dengan standar baru ini tidak terbatas penguasaan matematika, sains, keteknikan, desain, dan penelitian! Karya mahasiswa teknik harus dapat mendemonstrasikan kemampuan memenuhi tuntutan (constraints) dari aspek-aspek ekonomi, lingkungan, sosial, politik, etika, kesehatan, dan keamanan, kemungkinan dimanufaktur dan dikonstruksikan, serta kompetitif di pasar. Mahasiswa harus siap mengantisipasi dampak lokal dan global. Mahasiswa harus mampu berfungsi dalam multidisciplinary teams. Reformasi pendidikan tidak hanya terjadi pada fakultas teknik, tetapi juga fakultas humaniora dan ilmu sosial.

Humaniora dan ilmu sosial

Bila fakultas teknik melatih mahasiswa menciptakan produk teknologi yang kompleks karena harus mengaitkan dengan aspek ekonomi-politik-sosial-etika-kesehatan-keamanan, mahasiswa humaniora dan ilmu sosial harus sanggup mencari solusi masalah dunia nyata dalam konteks lebih luas, termasuk aspek sains dan teknologi. Fakultas ini mengelola sejumlah mata kuliah baru antardisiplin yang dikelompokkan dalam program Science, Technology, and Society (STS). Ada pula kelompok mata kuliah yang umumnya terkait aneka kebijakan nasional (AS) tentang teknologi. Kelompok ini disebut Technology and Policy Program (TPP).

Kembali pada kritik stasiun TV terhadap universitas. Beberapa waktu lalu DPR membentuk Panitia Angket BBM. Lalu, Presiden membentuk Tim Negosiasi Ulang ”Gas Tangguh”. Namun, Pusat Kajian atau Laboratorium Energi di universitas kita tidak siap menyodorkan hasil kajian atau penelitian antardisiplin dan mendasar yang mencakup aspek teknik, sosial, ekonomi, bisnis, lingkungan hidup, hukum, dan kebijakan pemerintah. Jika pusat-pusat (centers) ini sebelumnya telah mempelajari dan mencatat pengalaman nasional pembangunan proyek-proyek energi yang pernah dibangun, kemungkinan besar mereka memiliki dokumen kontrak yang seharusnya mencakup semua aspek dimaksud yang telah dikaji dan diteliti. Masukan seperti ini akan amat membantu kerangka pikir dan efisiensi kerja Panitia Angket DPR dan Tim Presiden agar sampai pada solusi. Apalagi bila penelitian dan kajian ini bebas tekanan politik dan tujuan koruptif. Terlebih bila analisis kajian itu tajam dan sintesisnya berupa gagasan untuk kepentingan nasional, menjangkau masa depan.

Universitas di depan

Alangkah idealnya bila para rektor universitas pada acara interaktif itu dengan pesan kuat kepada para capres dan penonton TV bahwa universitas kita sedang dalam proses reformasi besar menuju keadaan di mana universitas yang mereka pimpin sanggup berjalan di depan dan mampu menciptakan strategi membangun bangsa (university-led development strategy). Hampir semua agregat di universitas modern yang diperlukan Kriteria 2000 sebenarnya kita miliki, apalagi dengan fasilitas anggaran pendidikan 20 persen. Yang belum ada mungkin hanya mindset modern yang direpresentasikan dalam visi dan misi universitas untuk menuju masyarakat berbasis pengetahuan.

Ary Mochtar Pedju Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia; Mantan Anggota Badan Akreditasi Perguruan Tinggi; Alumnus ITB dan MIT, AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog