Jumat, 19 Juni 2009

Sudi Tuding Kalla

JK Dinilai Belokkan Sejarah soal Aceh


Jakarta, Kompas - Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, yang merupakan orang terdekat Susilo Bambang Yudhoyono, menilai calon presiden Jusuf Kalla membelokkan sejarah tentang tercapainya damai di Nanggroe Aceh Darussalam melalui nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Mengaku sebagai pelaku sejarah, Sudi merasa terganggu dengan klaim Kalla soal proses perdamaian Aceh. ”Ada yang harus diluruskan. Apakah terbelokkan atau tidak, yang jelas ada yang harus diluruskan,” ujar Sudi di teras Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6).

Setelah klaim Kalla soal Aceh yang disesalkan SBY, Sudi mengemukakan bahwa tidak ada komunikasi antara SBY dan Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kesibukan masing-masing untuk kampanye Pemilu Presiden 2009 disebut Sudi sebagai sebab tidak ada komunikasi keduanya.

Sudi mengemukakan, meskipun SBY turut berperan dalam proses perdamaian Aceh sejak 2001 dan hanya disebut ”manggut-manggut”, SBY tidak tersinggung. SBY menyebut proses damai Aceh sebagai hasil kerja semua pihak yang terlibat dan dipimpin Presiden. Menurut Sudi, SBY tidak pernah menonjolkan proses perdamaian Aceh sebagai hasil pekerjaannya.

”Saya sendiri merasa terganggu sebagai pelaku sejarah. Seperti apa kita masuk-keluar dengan risiko cukup besar di Aceh. Berapa puluh kali saya memimpin sidang Desk Aceh yang dihadiri tokoh-tokoh Aceh dan tokoh-tokoh lain. Bagaimana kami berkomunikasi dengan saudara-saudara yang di hutan ataupun di luar negeri seperti di Geneva, di Swedia ketika itu,” ujar Sudi Silalahi lebih lanjut.

Tidak tiba-tiba

Sudi merasa harus turun memberi penjelasan soal Aceh di dampingi Andi Mallarangeng karena tidak ingin rakyat yang tidak melihat dinamika proses damai keliru. ”Jadi tidak tiba-tiba hari itu juga beliau (Kalla) berangkat ke Helsinki terus jadi. Itu panjang ceritanya mulai tahun 2001,” ujar Sudi.

Menengok jasa SBY untuk proses damai Aceh, Sudi menceritakan saat 2001 SBY menjadi Menko Polkam berusaha mencari solusi masalah Aceh. Ketika itu dikeluarkan instruksi presiden (Februari 2002).

”Saya tahu, meskipun itu usaha keras SBY, beliau tidak pernah mengklaim inpres tersebut,” ujar Sudi.

Menurut Sudi, inpres meminta penyelesaian Aceh secara baik, damai, dan bermartabat. Tindak lanjut inpres itu adalah pembentukan Desk Aceh dengan ketua Sudi Silalahi selalu Sekretaris Menko Polkam.

Versi Kalla

Seperti diberitakan, saat berkampanye di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Sabtu (13/6), calon presiden Jusuf Kalla mengungkapkan peranan dirinya dan peranan Presiden Yudhoyono pada saat perundingan damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Kalla menggambarkan penolakan Presiden untuk menandatangani hasil perundingan damai, seperti soal pendirian partai lokal.

”Coba periksa tidak ada tanda tangan siapa pun, kecuali tanda tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu. Saya pernah minta untuk ditandatangani soal pendirian partai lokal, tetapi presiden tidak mau. Akhirnya, saya yang menandatangani dengan segala risiko setelah 10 kali membaca Surat Yasin bersama istri saya,” ungkap Kalla.

Kemudian, Kalla juga menceritakan ekspresi Presiden yang disebutnya manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai Aceh.

”Semua yang saya lakukan terkait perundingan damai Aceh itu sepengetahuan Presiden. Dan, itu saya laporkan. Waktu saya laporkan, beliau biasanya manggut-manggut. Pemimpin itu cukup mengangguk saja. Presiden kita bagus karena tidak pernah menolak. Meskipun juga tidak pernah memberikan pengarahan (soal perundingan). Cobalah baca bukunya,” tutur Kalla.

Selang dua hari kemudian di Jakarta, Kalla mengatakan, dirinya terpaksa membeberkan apa adanya peranan Presiden Yudhoyono tersebut karena ia sedang berbicara di Aceh.

”Jadi, bukan karena etis atau tidak etis. Saya hanya berbicara itu karena situasinya ada di Aceh,” ujar Kalla. (INU/HAR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog