Sabtu, 11 Juli 2009

PILPRES DI ACEH Pencitraan Vs Mesin Politik (yang) Kehabisan Tenaga...

Suasana di Kantor DPD Golkar lengang. Meski belasan kendaraan roda empat berada di halaman parkir, tidak terlihat keceriaan pada raut wajah orang-orang yang ada di dalamnya.

Khalid, Sekretaris Tim Kampanye Daerah JK-Win, ditemui di ruang kerjanya yang temaram, mengaku sangat kaget dengan perolehan suara pasangan jagoannya. Melihat hasil pemilu legislatif lalu, dengan raihan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mencapai delapan kursi, Khalid meyakini, paling tidak 30 persen suara pemilih di Aceh akan diperoleh pasangan ini. ”Ditambah lagi dengan suara dari partai-partai anggota koalisi. Seharusnya lebih,” ujarnya.

Meski mengaku heran, Khalid juga sempat bertanya ke mana suara Golkar dan Hanura, partai bentukan Wiranto, pada pemilu presiden kali ini. ”Tetapi, saya tidak berhak mengomentari hal ini. Ini sudah urusan partai politik. Saya tidak berani ikut campur,” katanya. Dia menolak menjelaskan larinya suara dua partai besar pendukung pasangan ini.

Pada pemilu legislatif lalu, Partai Golkar mendapatkan delapan kursi dari 69 kursi yang ada di DPR Aceh. Perolehan itu, meski turun drastis, masih menempatkan partai ini sebagai salah satu partai yang dominan di legislatif nantinya. Perolehan delapan kursi setara dengan 141.411 suara atau 6,64 persen dari total jumlah pemilih di Aceh yang mencapai tiga juta orang.

Dibandingkan dengan pilpres kali ini, perolehan itu jauh melorot. Sampai hari ketiga penghitungan suara sementara, pasangan JK-Wiranto hanya mendapatkan 4,3 persen suara atau setara dengan 74.518 pemilih. Jumlah ini berkurang hampir 70.000 orang dibandingkan dengan pemilu legislatif lalu.

Bandingkan dengan perolehan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang sudah mencapai 1.727.689 (93,51 persen) dari total jumlah suara yang sudah masuk. Kemenangan ini sudah dianggap mutlak karena total pemilih di Aceh hanya 3.008.235 orang. Perolehan suara pasangan nomor dua ini, sampai hari ketiga, di atas 50 persen dari total pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Awal kampanye terbuka, tim kampanye JK-Wiranto menargetkan perolehan suara 60-80 persen di Aceh. Berbekal keterlibatannya sebagai salah satu pencetus perdamaian di Aceh, JK beberapa kali menyatakan optimismenya untuk meraih simpati rakyat Aceh. Optimisme ini ditambah saat JK berkunjung ke kantor Partai Aceh, pemenang pemilu legislatif untuk partai politik lokal.

Pernyataan JK mengenai dirinya yang lebih banyak berperan dalam perdamaian Aceh serta wilayah konflik lainnya di Indonesia bermula dari kantor ini. Setelah itu, perebutan simbol perdamaian antara SBY dan JK terus terjadi.

Khalid mengakui ada yang salah dalam strategi kampanye yang dilakukan oleh timnya. Selain kesalahan itu, Khalid juga mengakui, SBY telah jauh-jauh hari melakukan pencitraan di Aceh dan seluruh Indonesia, seperti penurunan harga bahan bakar minyak dan bantuan langsung tunai. Sementara pasangan JK-Wiranto, menurut dia, baru meresmikan pencalonannya jelang pelaksanaan kampanye Pilpres 2009.

Fachry Ali, pengamat politik asal Universitas Indonesia, mengatakan, kemenangan SBY-Boediono dapat dilihat sebagai musnahnya pertentangan antara etnis Aceh dan etnis Jawa yang selama ini menjadi bagian terbesar penyulut konflik di wilayah itu. ”Tidak ada masalah etnis di Aceh. Tidak ada ideologi yang didasari pada kepentingan etnis di Aceh,” katanya.

Dia mengatakan, kepercayaan rakyat Aceh terhadap pasangan SBY-Boediono merupakan refleksi memori pada proses perdamaian di Aceh yang dibangun pada masa pemerintahan SBY-JK (2004-2009).

(Mahdi Muhammad)

Kamis, 09 Juli 2009

Presiden Bangsa Indonesia


Kamis, 9 Juli 2009 | 03:49 WIB

Oleh Heru Nugroho

Setelah pemilu 8 Juli 2009, masyarakat Indonesia akan segera memiliki kepala pemerintahan yang baru dari hasil pertarungan tiga pasangan kandidat, Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Siapa pun yang akan menjadi pemenang wajib mengemban dan mengimplementasikan amanat rakyat atas harapan mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari keadaan sekarang.

Melalui politik representasi kampanye pilpres, berbagai harapan rakyat itu dituangkan baik dalam bentuk program-program, jargon, maupun kecenderungan demagog. Contohnya, pasangan Megawati-Prabowo yang merepresentasi kepentingan wong cilik dalam putaran akhir kampanye membuat tujuh seri iklan dengan tema Bangkrut, Mencintai, Harga, Pekerjaan, Persatuan, Maju, dan Tim, yang isinya cenderung menyerang incumbent.

Iklan SBY-Boediono dengan jargon ”Lanjutkan!” mengklaim telah sukses menjalankan roda pemerintahan, tetapi perlu memacu lebih cepat pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, penurunan kemiskinan, dan lain-lain. Iklan politik Jusuf Kalla-Wiranto menonjolkan spirit ”lebih cepat lebih baik” untuk menyindir kelemahan incumbent.

Masalahnya adalah apakah pasangan capres-cawapres yang akan keluar sebagai pemenang merepresentasikan kepentingan rakyat dan dianggap menjadi pemimpin bangsa masa depan? Tidak secara otomatis demikian karena kemungkinan distorsi politik citra melalui media yang dilekatkan oleh masing-masing pasangan seperti ”kultus Bung Karno” bagi Mega-Pro; ”kesantunan/kehati-hatian” SBY-Boediono; dan ”keterbukaan, keberanian, dan kecepatan” dari JK-Wiranto cenderung berpotensi memengaruhi pemilih.

Media amat dimungkinkan menciptakan realitas hiper yang kadang jauh dari kenyataan. Karena itu, yang diperlukan adalah aneka instrumen untuk mengukur bagaimana seharusnya kiprah presiden Indonesia pada masa datang.

Berbagai ukuran pemimpin bangsa harapan rakyat tetap menjaga spirit reformasi dalam berbagai aspek kehidupan, beberapa di antaranya yang paling mendasar adalah menjaga keberlanjutan proses demokrasi yang substansial; mewujudkan kemajemukan berlandaskan keadilan; dan mewujudkan penegakan hukum. Tanpa tegaknya tiga pilar itu, program-program yang diusung oleh masing-masing pasangan, seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, dan pemberdayaan, tidak akan banyak dinikmati rakyat, tetapi potensial menghasilkan negasi seperti disparitas dan marjinalisasi di tengah merebaknya globalisasi. Apakah realitas politik kita sedang menuju terwujudnya pemimpin masa depan harapan bangsa itu?

Ancaman demokrasi beku

Demokratisasi yang bergulir sejak reformasi dan sudah berlangsung satu dekade lebih harus diakui telah menghasilkan kemajuan di berbagai bidang. Capaian monumental adalah terselenggaranya pemilu legislatif langsung tahun 1999 yang kemudian menjadi titik awal era multipartai.

Pada tahun 2004 terselenggara pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dan sejak 2005 hingga sekarang telah terselenggara ratusan kali pilkada gubernur, wali kota, dan bupati. Demokrasi prosedural dalam bentuk penyelenggaraan pemilu langsung telah menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India.

Situasi seperti ini juga mendorong meningkatnya partisipasi warga dalam politik, terbangunnya regulasi tata kelembagaan, independensi penyelenggaraan pemilu, penjaminan hak sipil dan politik, penguatan isu-isu perempuan, terwujudnya kebebasan pers, otonomi daerah dan desentralisasi, dan lain-lain.

Ironisnya, demokrasi prosedural yang sedang berlangsung kadang tidak disertai terbentuknya demokrasi substansial. Demokrasi yang sedang berproses ada di bawah bayang-bayang terwujudnya demokrasi beku (frozen democracy), yaitu suatu fase yang ditandai kemandekan (Sorensen, 2003). Buktinya, pemilu langsung yang telah terselenggara dengan biaya cukup besar dari jenjang pilpres hingga pilkada tidak otomatis menghasilkan berbagai kebijakan publik yang memihak rakyat kecil. Demokrasi yang digunakan sebagai instrumen (means) untuk mencapai tujuan seperti kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan sosial masih sekadar menjadi cita-cita kita semua.

Politik uang masih merebak di segala tingkat pemilu. Akibatnya, mereka yang dapat maju sebagai calon pemimpin hanya terbatas dari kalangan yang memiliki dana besar, bukan karena kapasitas dan kapabilitas sebagai calon pemimpin. Banyak contoh bisa disebut, misalnya seorang mantan preman yang telanjur kaya dapat terpilih menjadi pemimpin, bekas penjarah hutan terpilih menjadi wali kota, bekas cukong bisnis gelap terpilih menjadi anggota legislatif, dan sebagainya.

Selain itu, oligarki partai yang dipicu kepentingan para elite menghasilkan para calon pemimpin yang bukan pilihan rakyat, tetapi yang punya uang dan memiliki relasi kolusif dengan elite-elite partai. Wajar jika para pemimpin yang telah terpilih tidak merepresentasikan kepentingan rakyat (speaking of), tetapi cenderung melakukan politik representasi atas kepentingan rakyat (speaking for) dalam rangka mengembalikan modal ekonomi yang telah diinvestasikan selama masa pemilu (Spivak, Can the Subaltern Speak?, 1988).

Dibayangi pluralisme semu

Jargon ”Bhinneka Tunggal Ika” yang mengakui kemajemukan tetap dibayang-bayangi paradigma nation state yang mengintrodusir politik monokultur satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Bahkan, ada fase di mana praktik-praktik monokultur menjelma menjadi kebijakan resmi seperti ketika rezim Orla menggelar Politik Benteng dan rezim Orba berupaya mendefinisikan apa itu ”kebudayaan nasional”.

Politik Benteng merupakan kebijakan untuk membatasi ruang gerak China hanya sampai di ibu kota kabupaten dalam upaya melindungi usaha ekonomi pribumi di pedesaan. Sementara karena kebudayaan nasional diartikan sebagai ”puncak kebudayaan”, maka kebudayaan-kebudayaan lokal dianggap sebagai subordinatnya. Kondisi seperti ini jelas bukan mencerminkan multikultur sejati karena telah mendiskreditkan minoritas dan cenderung mengonstruksikan oposisi biner antara budaya ”pinggiran” dan ”pusat”.

Tonggak dimulainya politik kemajemukan di Tanah Air adalah saat Gus Dur menjabat Presiden RI mencabut Inpres No 14/1967 tentang pembatasan ritual keagamaan dan kebudayaan China yang dampaknya juga membatasi hak sosial dan politik mereka. Keputusan Presiden Megawati, Keppres No 19/2002 tentang hari libur nasional Imlek, membuat etnis China dapat merayakan ritual Imlek seperti etnis atau penganut kepercayaan lain merayakan ritual keagamaannya.

Namun, saat etika semangat multikultur terus bergulir, pemerintahan SBY dihadapkan soal besar yang belum selesai, yaitu diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Sungguh merupakan ironi politik multikultur karena pada satu sisi memberi kebebasan melakukan ritual keagamaan terhadap etnis China, tetapi gagal memberi perlindungan kebebasan mengekspresikan kepercayaan bagi penganut Ahmadiyah. Apa pun argumen di balik pelarangan praktik Ahmadiyah, aspek keadilan cenderung diabaikan dalam politik multikultur kita.

Bisa jadi, kita kini sedang terjebak fenomena pseudo multiculturalism yang ditandai dengan sekadar mengekspresikan keyakinan, meritualkan tradisi, dan merayakan perbedaan, tetapi sebetulnya kita sedang menjauh dari esensi multikulturisme yang seharusnya berbasis keadilan. Dalam politik multikultur, keadilan merupakan prasyarat mutlak dengan tiga aspek rekognisi, redistribusi (penguasaan sumber-sumber ekonomi), dan representasi sebagai pilar-pilar penopangnya (Nancy Fraser, Radical Imagination: Between Redistribution and Recoqnition, 2003).

Maka tidak mengherankan jika ritual Imlek di klenteng-klenteng yang ditandai dengan membagi-bagi angpau oleh etnis China kepada pribumi justru merupakan legitimasi peneguhan posisi kelas dominan. Fenomena ini merepresentasikan minoritas etnis yang menguasai mayoritas sumber daya ekonomi. Politik kemajemukan budaya tanpa mempertimbangkan aspek pengakuan, redistribusi, dan representasi yang hakiki sama artinya dengan mengingkari keadilan dan cenderung terjebak perangkap kemajemukan semu.

Hipokrisi penegakan hukum

Penegakan hukum pascareformasi merupakan faktor penting dalam menjaga arah demokrasi. Tanpa tegaknya sistem hukum di Tanah Air, demokratisasi hanya akan melahirkan deviasi-deviasi baru seperti anarkisme, kekerasan, dan ketidakpastian yang ujung-ujungnya rakyat menjadi korbannya.

Perlu diakui, demokratisasi telah membuat warga dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan kehendaknya, tetapi kadang artikulasi kepentingan oleh massa sering tidak terkontrol sehingga sering mengarah pada tindakan anarkisme massa yang melawan hukum. Misalnya, berbagai tuntutan buruh, resistensi masyarakat terhadap berbagai proyek pemerintah, dan tuntutan mahasiswa sering kali tidak mengindahkan rule of the game dan rule of law sehingga memunculkan tindakan kekerasan sipil atau brutalisme massa.

Selain itu, maraknya tindak penyalahgunaan kekuasaan oleh jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif (mafia peradilan) merupakan indikator belum adanya penghayatan dan toleransi terhadap penderitaan rakyat sehingga mengancam proses demokrasi.

Meski pemerintahan SBY telah berupaya mengatasi masalah ini, hasilnya belum maksimal. Berbagai produk perundang-undangan sebenarnya sudah banyak yang dilandasi spirit demokrasi, tetapi pelaksanaannya jauh dari gambaran normatif, bahkan tidak jarang justru yang terjadi sebaliknya, membuat undang-undang untuk tidak ditaati, atau ramai-ramai dilanggar. Kondisi seperti ini menghasilkan efek imitasi sehingga melahirkan gejala ”spiral pelanggaran hukum” yang tak berujung pangkal.

Kalau fenomena-fenomena seperti itu tidak bisa diatasi, sebenarnya kita sedang masuk kerangkeng hipokrisi penegakan hukum. Pada satu sisi berbicara, membuat, dan menegakkan aturan yang secara normatif benar (seperti warisan adiluhung), tetapi pada sisi lain, pelanggaran dan pengingkaran terhadap norma hukum sedemikian marak. Jangan-jangan hipokrisi ini berakar pada perilaku budaya kita yang memang munafik, seperti mengusung nilai gotong royong tetapi kenyataannya egoisme, mempromosikan kemanusiaan tetapi melanggar HAM di mana-mana, mengaku majemuk tetapi memaksakan kehendak, menyebut dirinya Pancasilais tetapi brutal dalam berpolitik, dan lain-lain.

Tiga problem

Tiga masalah besar yang sedang bergulir dalam perpolitikan kita, yaitu kecenderungan demokrasi beku, pluralisme semu, dan hipokrisi penegakan hukum, telah menghadang para calon pemenang dalam pemilu presiden kali ini. Siapa pun pemenangnya, baik pasangan incumbent maupun pasangan penantang, harus mampu memecahkan masalah-masalah itu.

Ada tiga problem mendasar yang harus dicarikan solusinya. Pertama, membawa bangsa ini keluar dari kondisi demokrasi beku melalui cara mewujudkan konsolidasi para elite politik pascapemilu. Para elite politik yang terkonsolidasi di bawah kepemimpinan terpilih akan mengurangi risiko destabilisasi sosial sehingga kondisi seperti ini dapat menjadi fondasi bagi terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Kedua, memecahkan perangkap kemajemukan semu dengan cara memberikan proteksi bagi minoritas termarjinal (bisa etnis, penganut agama, kelas, dan lainnya). Proteksi ini dilakukan dalam upaya mewujudkan pengakuan eksistensi, redistribusi sumber ekonomi, dan representasi kepentingan agar mereka juga memiliki jaminan keadilan di republik ini.

Ketiga, hipokrisi penegakan hukum yang menjelma dalam fenomena ”spiral pelanggaran hukum” harus dipatahkan melalui sistem kepemimpinan yang tegas, pemberian ganjaran memadai bagi yang mengikuti aturan hukum dan sanksi berat bagi yang terbukti melanggarnya.

Seandainya ketiga hal itu dapat diwujudkan, presiden dan wakil presiden itu layak disebut sebagai pemimpin harapan bangsa Indonesia.

Heru Nugroho Guru Besar Sosiologi UGM

Oleh Iwan Gardono Sujatmiko

Pemilihan presiden, legislatif, dan pilkada merupakan mekanisme memilih pemimpin yang akan melaksanakan konstitusi dan membuat kebijakan publik guna melaksanakan cita-cita bangsa dan menjalankan aspirasi rakyat.

Dalam demokrasi perwakilan, warga negara menjadi pemilih (voter). Diharapkan, pada masa pascapemilu mereka ”memetik buah” hasil pilihan mereka.

Warga negara dan pemilu

Sejak 1955 hingga kini, antusiasme pemilih dalam pemilu di Indonesia relatif tinggi meski dalam konteks politik beragam.

Keikutsertaan warga dapat dijelaskan dengan aneka faktor, seperti idealisme, untuk partisipasi peristiwa penting lima tahun sekali. Atau mereka menunjukkan loyalitas kepada calon atau parpol tertentu entah karena kesamaan ideologi atau kebetulan karena tetangga satu desa atau kabupaten. Ada juga pemilih yang terbujuk janji kampanye atau berniat memilih-tidak memilih calon sesuai pengalaman mereka selama lima tahun terakhir.

Keikutsertaan dalam pemilu juga dapat merupakan upaya agar tidak dicemooh lingkungan, komunitas maupun keluarga, karena tidak ada bekas tinta pada jari. Ini dapat dianggap sebagai warga negara yang kurang baik.

Selain itu, warga menjadi ”raja atau ratu sehari” dan merasa ”di atas” calon atau parpol yang dipilih. Ini adalah kelanjutan masa kampanye di mana calon dan parpol menjadi amat ramah, terbuka, dan dekat dengan pemilih.

Demokrasi transformatif

Sistem dan proses politik sering memberi penekanan pada mekanisme koreksi kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan. Namun, sebenarnya demokrasi bukan hanya bersifat korektif sehingga hanya akan mempertahankan status quo. Demokrasi dapat menjadi alat transformasi sosial di mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam hal ini, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola perubahan dalam masyarakat, misalnya pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua periode berturut-turut.

Secara spasial juga terjadi perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar meski masih lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal, berbagai golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah mendapat kesempatan lebih besar. Jika dilihat secara vertikal, ada perubahan dalam hubungan masyarakat dengan negara di mana kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan kebijakan negara.

Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan perubahan signifikan, masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota, misalnya perbaikan warga desa melalui land reform yang baru terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar.

Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh, sektor informal, atau ”Indonesia bagian bawah” yang berjumlah sekitar 60 persen, belum terwakili secara nyata dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi terobosan di mana Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946 telah memberi jatah kepada ”golongan-golongan besar”, yakni petani dan buruh masing-masing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen dalam KNIP/”parlemen” (lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, 2005). Hal ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah, dan golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda.

Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian Linggarjati. Namun, yang penting, terlihat bagaimana ada upaya peningkatan representasi atau kebhinekaan masyarakat Indonesia. Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau pelapisan/kelas masyarakat. Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas perlu lebih banyak meningkatkan representasi golongan besar ini dalam organisasi dan kebijakan mereka.

Transformasi warga negara

Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa bahwa setelah pemilu, mereka bukan lagi menjadi warga negara dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi warga kota, warga desa, atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan bahwa organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak terlaksana.

Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak berdaya menghadapi negara, perusahaan, atau organisasi masyarakat.

Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana warga negara dapat mengalami transformasi menjadi lebih berdaya dan berkuasa. Dalam hal ini, UU Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku tahun 2010 dapat membuat warga negara menjadi seperti mempunyai hak angket dan interpelasi.

Demikian juga UU Pelayanan Publik yang akan berlaku tahun 2011. UU yang memberdayakan warga negara ini perlu diamandemenkan di UUD pada amandemen ke-5. Ini menunjukkan, warga negara harus berjuang sendiri untuk menikmati ”buah demokrasi”.

Kasus terakhir ditunjukkan dua warga negara, Refly Harun dan Maheswara Prabandono, yang berhasil mengatasi masalah DPT dalam Pilpres 2009 di Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan mereka setara dengan perppu (kekuasaan presiden) dan dapat mendukung hak konstitusional mereka berdua serta jutaan pemilih atau warga negara lain.

Dinamika kekuasaan

Pilpres 2009 telah menunjukkan kepada kita dinamika kekuasaan warga negara dalam berdemokrasi dan hubungannya dengan pemimpin, parpol, dan ormas. Berbagai aturan baru (UU KIP, UU Pelayanan Publik, dan Kewenangan MK) memberi ruang dan peluang baru bagi warga negara untuk menegakkan hak konstitusional mereka meski sejumlah lembaga negara dalam demokrasi perwakilan ini kurang aspiratif dan representatif.

Keadaan ini dapat membuat warga negara menjadi lebih aktif sehingga prospek demokrasi Indonesia menjadi lebih baik di masa depan.

Iwan Gardono Sujatmiko Sosiolog; Dosen FISIP UI

Warga Negara, Pemilu, dan Demokrasi Transformatif

Oleh Iwan Gardono Sujatmiko

Pemilihan presiden, legislatif, dan pilkada merupakan mekanisme memilih pemimpin yang akan melaksanakan konstitusi dan membuat kebijakan publik guna melaksanakan cita-cita bangsa dan menjalankan aspirasi rakyat.

Dalam demokrasi perwakilan, warga negara menjadi pemilih (voter). Diharapkan, pada masa pascapemilu mereka ”memetik buah” hasil pilihan mereka.

Warga negara dan pemilu

Sejak 1955 hingga kini, antusiasme pemilih dalam pemilu di Indonesia relatif tinggi meski dalam konteks politik beragam.

Keikutsertaan warga dapat dijelaskan dengan aneka faktor, seperti idealisme, untuk partisipasi peristiwa penting lima tahun sekali. Atau mereka menunjukkan loyalitas kepada calon atau parpol tertentu entah karena kesamaan ideologi atau kebetulan karena tetangga satu desa atau kabupaten. Ada juga pemilih yang terbujuk janji kampanye atau berniat memilih-tidak memilih calon sesuai pengalaman mereka selama lima tahun terakhir.

Keikutsertaan dalam pemilu juga dapat merupakan upaya agar tidak dicemooh lingkungan, komunitas maupun keluarga, karena tidak ada bekas tinta pada jari. Ini dapat dianggap sebagai warga negara yang kurang baik.

Selain itu, warga menjadi ”raja atau ratu sehari” dan merasa ”di atas” calon atau parpol yang dipilih. Ini adalah kelanjutan masa kampanye di mana calon dan parpol menjadi amat ramah, terbuka, dan dekat dengan pemilih.

Demokrasi transformatif

Sistem dan proses politik sering memberi penekanan pada mekanisme koreksi kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan. Namun, sebenarnya demokrasi bukan hanya bersifat korektif sehingga hanya akan mempertahankan status quo. Demokrasi dapat menjadi alat transformasi sosial di mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam hal ini, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola perubahan dalam masyarakat, misalnya pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua periode berturut-turut.

Secara spasial juga terjadi perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar meski masih lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal, berbagai golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah mendapat kesempatan lebih besar. Jika dilihat secara vertikal, ada perubahan dalam hubungan masyarakat dengan negara di mana kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan kebijakan negara.

Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan perubahan signifikan, masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota, misalnya perbaikan warga desa melalui land reform yang baru terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar.

Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh, sektor informal, atau ”Indonesia bagian bawah” yang berjumlah sekitar 60 persen, belum terwakili secara nyata dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi terobosan di mana Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946 telah memberi jatah kepada ”golongan-golongan besar”, yakni petani dan buruh masing-masing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen dalam KNIP/”parlemen” (lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, 2005). Hal ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah, dan golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda.

Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian Linggarjati. Namun, yang penting, terlihat bagaimana ada upaya peningkatan representasi atau kebhinekaan masyarakat Indonesia. Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau pelapisan/kelas masyarakat. Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas perlu lebih banyak meningkatkan representasi golongan besar ini dalam organisasi dan kebijakan mereka.

Transformasi warga negara

Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa bahwa setelah pemilu, mereka bukan lagi menjadi warga negara dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi warga kota, warga desa, atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan bahwa organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak terlaksana.

Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak berdaya menghadapi negara, perusahaan, atau organisasi masyarakat.

Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana warga negara dapat mengalami transformasi menjadi lebih berdaya dan berkuasa. Dalam hal ini, UU Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku tahun 2010 dapat membuat warga negara menjadi seperti mempunyai hak angket dan interpelasi.

Demikian juga UU Pelayanan Publik yang akan berlaku tahun 2011. UU yang memberdayakan warga negara ini perlu diamandemenkan di UUD pada amandemen ke-5. Ini menunjukkan, warga negara harus berjuang sendiri untuk menikmati ”buah demokrasi”.

Kasus terakhir ditunjukkan dua warga negara, Refly Harun dan Maheswara Prabandono, yang berhasil mengatasi masalah DPT dalam Pilpres 2009 di Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan mereka setara dengan perppu (kekuasaan presiden) dan dapat mendukung hak konstitusional mereka berdua serta jutaan pemilih atau warga negara lain.

Dinamika kekuasaan

Pilpres 2009 telah menunjukkan kepada kita dinamika kekuasaan warga negara dalam berdemokrasi dan hubungannya dengan pemimpin, parpol, dan ormas. Berbagai aturan baru (UU KIP, UU Pelayanan Publik, dan Kewenangan MK) memberi ruang dan peluang baru bagi warga negara untuk menegakkan hak konstitusional mereka meski sejumlah lembaga negara dalam demokrasi perwakilan ini kurang aspiratif dan representatif.

Keadaan ini dapat membuat warga negara menjadi lebih aktif sehingga prospek demokrasi Indonesia menjadi lebih baik di masa depan.

Iwan Gardono Sujatmiko Sosiolog; Dosen FISIP UI

KAMPUNG HALAMAN Fanatisme dari Pacitan dan Bone


Kamis, 9 Juli 2009 | 04:24 WIB

Rasa cinta dan bangga warga Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, terhadap calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang lahir dan besar di daerah itu, begitu besar. Ketika pemilu presiden-wakil presiden, mereka mengekspresikannya dengan berusaha memenangkan ”Putra Pacitan” itu.

Warga Desa Ploso, Kecamatan Pacitan, Rabu (8/7), misalnya, memadati Tempat Pemungutan Suara (TPS) 1. Kursi di TPS yang hanya berjarak 50 meter dari rumah Susilo Bambang Yudhoyono itu terisi penuh. Mereka antusias mengikuti penghitungan suara.

Saat anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara menghentikan penghitungan suara untuk istirahat, warga tak sabar. Mereka berteriak, ”Lanjutkan.” Seruan itu adalah slogan pasangan SBY-Boediono.

Menurut Hartanto (45) dan Supadi (48), warga Ploso yang mengikuti penghitungan suara dari awal sampai akhir, mereka rela menghabiskan waktunya di TPS karena cinta kepada SBY. Mereka pun terdorong mengawasi penghitungan suara. Kecintaan itu tak hanya karena SBY orang Pacitan, tetapi mereka juga merasa selama lima tahun memimpin Indonesia, negeri ini lebih baik.

”Ia tak suka nepotisme. Buktinya, keponakannya yang bekerja sebagai kuli bangunan di Pacitan tidak lalu dipekerjakannya di Jakarta. Sosok seperti itu membuat saya terkesan,” papar Supadi lagi.

Perasaan cinta itu pula yang mendorong Sayuti (64), Marzuki (71), dan Isno (67)—ketiganya warga Desa Widoro, Pacitan— rela mencukur gundul rambutnya di depan TPS 1 Widoro, Rabu. Ada 10 orang lagi yang mencukur gundul rambutnya. Mereka sejak awal yakin SBY akan menang. ”Ide cukur gundul ini spontan dari warga,” jelas Isno.

Keyakinan akan kemenangan SBY-Boediono berawal dari kemenangan Partai Demokrat, yang didirikan SBY, dalam pemilu anggota legislatif 9 April lalu di Pacitan. SBY juga memberikan makna bagi kampung halamannya. ”Pacitan yang selama ini tertinggal dibandingkan kota lain di Jatim sekarang bisa lebih maju, lebih ramai. Jalan antarkota diperlebar dan diperbaiki,” kata Marzuki.

Sebagian warga Pacitan memilih menggelar doa bersama sebagai wujud kecintaan dan kebanggaan kepada SBY. Selasa malam, ada dua lokasi tempat doa bersama, yaitu di kediaman SBY di Ploso dan tempat SBY lahir di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari. Mereka yang ikut dalam acara doa bersama itu pun yakin SBY bisa menang. Namun, agar keyakinan itu bisa tercapai, mereka mengundang campur tangan Tuhan.

Berharap kepada JK

Antusiasme mengikuti pilpres juga diperlihatkan warga Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Rabu. Di kelurahan tempat rumah orangtua calon presiden M Jusuf Kalla (JK) itu, warga sudah selesai mencontreng sekitar pukul 11.00 Wita. Bahkan, sebelum pukul 14.00 Wita, penghitungan di delapan TPS di kelurahan itu sudah tuntas.

Sebagian besar warga Bukaka adalah kerabat JK. ”Saya dan sebagian besar warga di sini tentu berharap JK menang. Kami berharap Indonesia juga bisa dipimpin presiden dari luar Jawa,” ujar Rosdiana (41), warga Bukaka yang juga kerabat JK.

Asa akan tampilnya orang luar Jawa memimpin negeri itulah yang membuat warga Bukaka antusias menggunakan hak pilihnya. Mereka mutlak memberikan suara kepada JK.

Selasa malam hingga Rabu subuh, warga Bukaka juga menggelar doa dan zikir untuk kelancaran pilpres dan kesuksesan JK. Doa dipanjatkan berjemaah di masjid dan rumah keluarga besar Kalla.

Antusias warga tetap berbalut kesederhanaan dan suasana khidmat. Tak tampak kemeriahan pada rumah keluarga besar Kalla dan TPS di kelurahan itu. Delapan TPS yang ada di Bukaka hanya terbuat dari bahan balok dan tripleks seadanya, tanpa perlu menyewa tenda dari tempat penyewaan peralatan pesta. (APA/NIK/REN/NAR)

Yudhoyono Terdepan

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Warga suku Tengger mengantre untuk menggunakan hak suara mereka dalam pemilu presiden di TPS 2 Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (8/7). Warga Tengger di kawasan Pegunungan Bromo yang mayoritas petani menggunakan hak suara mereka sebelum kembali bekerja di ladang.


Kamis, 9 Juli 2009 | 04:44 WIB

Jakarta, Kompas - Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono mengungguli secara signifikan dua pasangan lainnya dalam Pemilu Presiden 2009. Dengan demikian, besar kemungkinan pilpres hanya akan berlangsung satu putaran.

Kesimpulan itu didasarkan hasil sementara penghitungan suara yang dilansir Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang juga didukung hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei di Indonesia, Rabu (8/7).

Hasil penghitungan sementara KPU yang dilakukan hingga pukul 22.00 menunjukkan bahwa pasangan SBY-Boediono masih unggul dengan perolehan 2.485.581 suara (60,72 persen). Peringkat selanjutnya ditempati pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dengan 1.214.486 suara (29,67 persen) dan pasangan M Jusuf Kalla-Wiranto dengan 393.677 suara (9,62 persen).

Data dari delapan provinsi belum masuk, yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Daerah-daerah itu dikenal sebagai kantong-kantong Partai Golkar yang merupakan pendukung utama JK-Wiranto.

Data yang berasal dari sekitar 40.000 tempat pemungutan suara itu juga menunjukkan, untuk sementara, SBY-Boediono unggul di 21 provinsi, Mega-Pro di Bali dan Nusa Tenggara Timur, serta JK-Win menang di Gorontalo dan Sulawesi Barat.

Sosialisasi lemah

Seperti telah diperkirakan, sosialisasi penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) untuk mencontreng tidak berlangsung mulus di lapangan. Pemahaman para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara beragam dalam menjalankan instruksi KPU tersebut sehingga relatif banyak warga yang tak bisa menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP.

Misalnya saja, di sejumlah TPS petugas mensyaratkan pemilih harus membawa KTP beserta fotokopinya. Ada juga petugas yang bersikeras KTP hanya boleh digunakan pemilih yang terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT).

Selain itu, sejumlah kelompok warga lainnya, seperti tahanan, pasien rumah sakit, dan buruh, tak bisa menggunakan hak pilihnya karena masalah teknis, seperti tak tersedianya TPS dan tak memperoleh izin tidak bekerja.

Secara umum, Pilpres 2009 berlangsung relatif aman dan lebih lancar dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009. Meski demikian, di sejumlah daerah tetap ditemukan sejumlah kecurangan, seperti politik uang.

Konsolidasi demokrasi

Presiden Yudhoyono mengaku berbesar hati karena laporan, pengamatan, pemantauan, dan komunikasi pejabat pemerintah di seluruh Indonesia berjalan baik sehingga pelaksanaan pilpres juga berjalan baik.

”Indonesia sedang mengukir sejarah baru, sedang mengonsolidasikan dan mematangkan demokrasinya,” ujar Yudhoyono dalam jumpa pers kedua seusai pencontrengan di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat.

Yudhoyono yang masih menjabat presiden sampai 20 Oktober 2009 mengemukakan, sukses Pilpres 2009 merupakan satu tonggak penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia menjadi lebih matang dan dewasa. ”Dunia juga memberikan perhatian yang tinggi agar terjadi peaceful and democratic election. Alhamdulillah apa yang kita lihat malam ini pada hakikatnya pemungutan suara di seluruh Indonesia berjalan baik,” ujarnya.

Yudhoyono juga mengatakan, penghitungan suara belum selesai. ”Meskipun dari hasil quick count lembaga survei yang ada menunjukkan keberhasilan kami dan teman-teman seperjuangan, kami menunggu hasil penghitungan KPU,” ujarnya.

Pasangan lain menunggu

Menanggapi perkembangan pascapencontrengan, pasangan Mega-Pro menyatakan akan menunggu sampai penghitungan resmi selesai sekaligus meminta masyarakat untuk bersabar.

Prabowo dalam jumpa pers semalam menyebutkan, pelaksanaan pilpres belum berjalan demokratis, antara lain karena kisruhnya masalah DPT.

Taufik Kiemas dari kubu Mega-Pro mengaku terkejut dengan hasil yang diperoleh kubu JK-Win berdasarkan hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei. ”Kalau JK bisa 25 persen, bisa dua putaran,” ujarnya.

Sementara itu, kubu JK-Wiranto mengaku bisa memahami hasil penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Meski begitu, mereka masih akan menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU. Kubu JK-Wiranto juga menengarai ada sekitar 30 bentuk pelanggaran selama pilpres berlangsung.

Faktor selera

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, menilai, keunggulan Yudhoyono merupakan hasil perpaduan antara figur dan pencitraan.

Hal senada dinyatakan Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof A Chaniago. Menurut dia, dalam memilih, rakyat menempatkan porsi kepribadian calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon. Dengan 80 persen pemilih berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan faktor selera. ”Calon lain tidak sesuai dengan selera masyarakat, misalnya yang dilihat soal kesantunan,” katanya.

Menurut Lili, dengan dukungan yang besar dan kekuatan politik di parlemen yang signifikan, keinginan untuk mewujudkan pemerintahan efektif dan kuat bisa terwujud. Namun, semua itu bergantung pada kepemimpinan Yudhoyono dan kinerja kabinetnya. Demokrasi Indonesia, lanjutnya, punya masa depan yang baik jika Partai Golkar dan PDI-P memainkan peran sebagai oposisi yang sehat demi menegakkan mekanisme checks and balances.

Posisi kuat

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA menyebutkan, kemenangan SBY-Boediono disebabkan, pertama, posisi SBY sudah sangat kuat sebelum kampanye dimulai. Kedua, masa kampanye satu bulan memang berhasil menurunkan Yudhoyono dan menaikkan Kalla, tetapi tidak signifikan untuk dua putaran. Ketiga, kepribadian Yudhoyono sangat disukai dan sulit digoyahkan.

Keempat, publik umumnya puas dengan kondisi hidup di berbagai sektor sehingga menguntungkan incumbent. Kelima, umumnya publik puas dengan kinerja Yudhoyono sebagai presiden. Keenam, mayoritas publik memang ingin satu putaran saja.

Sementara tambahan suara yang sangat besar bagi pasangan Mega-Pro, menurut Denny, karena peran Prabowo. Selain itu, konstituen PDI-P juga solid. ”Kalau Prabowo maju sebagai calon presiden, hasilnya bisa lain. Karena pesona Prabowo lebih segar, lebih militan sehingga daya ungkit Prabowo sebagai capres lebih besar,” ujar Denny.

Menurut Zulfahmi, ketua tim program hitung cepat Lembaga Riset Informasi, konstituen Partai Golkar tidak solid. Sebanyak 43 persen konstituen Partai Golkar memberikan suara ke pasangan Kalla-Wiranto. Jumlah itu nyaris berimbang dengan konstituen Golkar yang memberikan suara ke pasangan Yudhoyono-Boediono, yakni 39 persen.

Hal serupa dilakukan konstituen Partai Hati Nurani Rakyat. Sebanyak 40 persen memilih pasangan Kalla-Wiranto, sedangkan 36 persen memilih Yudhoyono-Boediono.

Jangan sombong

Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring mengingatkan semua pihak agar mensyukuri proses pilpres yang berjalan aman dan lancar. Walaupun masih hasil hitung cepat, semua pihak, termasuk SBY dan tim pendukung, harus tetap menghormati pasangan Mega-Pro dan JK-Win. ”Yang menang tak boleh sombong, yang kalah tak boleh dihinakan,” ujar Tifatul.

”Secara pribadi saya mengucapkan selamat kepada Mega-Pro dan JK-Win yang telah mengikuti seluruh proses pilpres ini, tahap demi tahap, dengan penuh kesabaran dan keseriusan,” ujarnya.(MZW/DIK/IDR/SIE/INU/DAY/HAR/MAM/ANA/DWA/VIN/SUT)

PEMILU PRESIDEN Kredibilitas Lembaga Survei

Oleh Bestian Nainggolan dan Bambang Setiawan

Hasil survei prapemilu oleh sejumlah lembaga yang memprediksi kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam Pemilu Presiden 2009 mendekati kenyataan. Publikasi hitung cepat kian mengindikasikan hal itu.

Dengan keberhasilan ini, pantaskah survei dijadikan rujukan ideal dalam mengekspresikan opini publik?

Pemilu 8 Juli tidak saja menjadi ajang persaingan di antara ketiga pasangan kandidat presiden ataupun partai politik, tetapi sekaligus juga arena pembuktian kesahihan memprediksi di antara lembaga-lembaga survei.

Setelah perdebatan cukup panjang terkait dua hal, yakni netralitas lembaga penelitian dan dampak publikasi hasil penelitian, tiba waktunya melihat dengan arif lembaga survei atas dasar mutu hasil penelitian. Pemilu menjadi momen untuk menyeleksi manakah lembaga yang memiliki kredibilitas dan mana yang sulit dipercaya.

Merujuk pada hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei sesaat setelah pengumpulan suara pemilu usai, pemenang pemilu presiden dapat ditebak saat ini. Dengan selisih perolehan yang cukup jauh, pasangan Yudhoyono-Boediono ditempatkan pada posisi teratas di kisaran 60-an persen dalam hitung cepat Pemilu Presiden 2009. Menyusul kemudian pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto di kisaran 27-an persen dan Jusuf Kalla-Wiranto 13-an persen.

Hasil hitung cepat ini menggenapi pula prediksi hasil pemilu yang sebelumnya dilakukan beberapa lembaga survei.

Tidak berubah

Ketepatan memprediksi Pemilu 2009 menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan survei opini publik di negeri ini.

Menariknya, kondisi demikian terjadi secara konsisten pada ketiga ajang kontestasi pemilu (1999-2009) pada era liberalisasi politik ini. Selama itu, tidak ada satu pun lembaga survei yang berhasil memprediksi secara tepat dan akurat terhadap proporsi yang dicapai setiap peserta pemilu. Demikian pula tidak ada satu pun lembaga survei yang mampu mempertahankan secara konsisten dari waktu ke waktu ketepatan prediksi mereka.

Babak baru

Segenap hasil survei, baik yang berhasil maupun yang gagal dalam memprediksi hasil Pemilu Presiden 2009, menorehkan catatan tersendiri dalam sejarah penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini. Apa yang terjadi belakangan ini memang tergolong dramatis.

Menariknya, di balik upaya pembuktian keakuratan dalam memprediksi, berlangsung pula persaingan pengaruh di antara para penyelenggara survei. Jika pembuktian akurasi prediksi dihasilkan dari ketepatan lembaga survei dalam menerapkan metode survei dan teknis penyelenggaraannya, persaingan pengaruh lebih terasakan saat ini sejalan maraknya publikasi survei dengan hasil yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Tidak heran isu independensi lembaga survei menjadi salah satu persoalan yang menyeruak pada Pemilu 2009.

Dalam kondisi semacam ini, keberadaan survei opini publik menjadi semakin dilematis. Ketepatan dalam memprediksi memang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk lebih memercayai hasil-hasil survei opini publik. (Litbang Kompas)

Rabu, 08 Juli 2009

Civil Society dan Pilpres



Oleh Azumardi Azra


Hanya dua hari sebelum pemberian suara dalam Pilpres 8 Juli kemarin, publik Indonesia dikagetkan dengan keterlibatan organisasi civil society berbasiskan keagamaan (religious-based civil society/RBCS), seperti Muhammadiyah, NU, KWI, PGI, dan semacamnya, dalam keikutsertaannya menyelesaikan masalah DPT. Malam sebelumnya, Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, memfasilitasi pertemuan capres-cawapres Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto untuk membicarakan DPT yang bermasalah karena adanya pemilih ganda atau nama fiktif dan seterusnya.

Pertemuan ini menggelindingkan momentum yang berpuncak pada kedatangan kedua pasangan ini ke KPU. Dialog di antara mereka berujung pada kesediaan KPU membuka DPT untuk diteliti dan dicek bersama-sama guna memperbaiki berbagai kekeliruan yang ada. Juga, kesiapan KPU untuk menerima penggunaan KTP dan bukti identitas diri lainnya bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT agar bisa ikut mencontreng meski KPU memerlukan landasan hukum untuk hal tersebut. Akhirnya, menjelang Rabu malam, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan diperbolehkannya penggunaan KTP dan paspor bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT untuk ikut mencontreng.

PBNU juga memfasilitasi kedua pasangan capres-cawapres tersebut dengan menerima mereka di kantor PBNU pada Rabu sore yang sangat sibuk. Hasil dari pertemuan itu adalah tujuh poin pernyataan publik yang ditandatangani Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi; Ketua KWI, Mgr MD Situmorang; dan Ketua PGI, Andreas Yewangoe. Dalam pernyataan tersebut, ketiga pimpinan RBCS ini juga menegaskan DPT yang masih bermasalah.

Karena itu, mereka meminta DPT agar dibuka kepada ketiga pasangan capres-cawapres sehingga dapat diperbaiki dan menghilangkan saling curiga. Jika masalah ini tidak diselesaikan, siapa pun yang keluar sebagai pemenang dalam pilpres bakal tetap berada dalam ganjalan psycho-social dan psycho-politics [yang tidak kondusif] yang akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih dari persoalan DPT, ketiga pimpinan masyarakat madani atau masyarakat sipil berbasis agama ini menegaskan, para capres-cawapres dapat saja menghindari kekalutan bahwa [soal DPT] merupakan tanggung jawab KPU saja. Namun, presiden RI yang ex-officio adalah kepala negara RI tidak bisa menghindar dari gejala pertikaian yang mulai menegang dan tampak di permukaan kehidupan bangsa dan negara. Dalam pandangan ketiga tokoh agama ini, sudah mendesak bagi Indonesia 'untuk segera mempunyai aturan yang menjamin pemilahan/pemisahan kekuasaan dan fasilitas dari penggunaan oleh perorangan atau golongan'. Akhirnya, ketiganya berseru kepada 'masyarakat Indonesia agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan; mewaspadai pemecahbelahan etnis dan agama; dan tetap dalam bingkai Pancasila, NKRI, dan ke-bhinneka-tunggal-ikaan'.

Bagi saya, keterlibatan RBCS seperti itu dalam proses-proses pilpres sangat menggembirakan dan memberikan harapan bagi berjalannya pilpres yang jujur, adil, bermartabat dan--tentu saja--demokratis karena boleh saja pilpres adalah perwujudan demokrasi, tetapi proses-prosesnya tidak demokratis. Meski keterlibatan RBCS agak sedikit terlambat--hanya dua hari sebelum hari pencontrengan--bagi saya cukup melegakan. Karena, dalam "Resonansi" pekan lalu, saya mengimbau perlunya RBCS dan kelompok-kelompok CS lainnya untuk memantau, mengawal, dan memastikan pilpres dapat berjalan sesuai harapan: jujur, adil, bermartabat, dan demokratis.

Tetapi, saya juga menerima SMS dan membaca komentar-komentar dalam milis internet atau berita-berita dot.com yang memprotes keterlibatan ormas-ormas keagamaan dalam soal DPT dan pilpres atau bahkan dalam politik secara keseluruhan. Misalnynya, ''Apa urusan Muhammadiyah dan NU yang seharusnya mengurus agama dan umatnya?'' Lalu, ''Mengapa baru bereaksi saat pilpres akan digelar? Kok baru dipermasalahkan sekarang?'' ujar Marzuki Alie, sekretaris umum Tim Kampanye SBY-Boediono di gedung MK, seperti dikutip inilah.com pada 7 Juli 2009.

Hemat saya, terlepas dari waktu keterlibatan mereka dalam gegap gempita politik menjelang pilpres, CS memainkan peran penting tidak hanya dalam kehidupan keagamaan, sosial umat, dan bangsa, tetapi juga dalam proses-proses politik yaang sangat krusial, seperti pilpres. Karena, secara konvensional, CS didefinisikan banyak ahli sebagai organisasi atau kelompok nonpemerintah atau nonpolitik (baca 'politik kekuasaan' dan 'politik sehari-hari'), yang memainkan peran mediasi dan bridging di antara kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam pertarungan; di antara kekuatan-kekuatan politik dengan massa di tingkat akar rumput; dan di antara negara dengan masyarakat pada umumnya.

Karena itu, apa yang dilakukan RBCS dan CS lainnya sudah sangat tepat. Bahkan, peran itu semakin dibutuhkan dalam hari-hari usai pencontrengan pilpres, kemarin. Keterlibatan mereka dapat membantu mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam proses-proses politik berbangsa dan bernegara selanjutnya.

Wiranto Kalah di Kandangnya Sendiri


Rabu, 8 Juli 2009 | 15:01 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Calon wakil presiden Wiranto mengalami kekalahan di tempat pemungutan suara 14 (TPS 14) RT 01 RW 02, Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, tempat Wiranto mencontreng dan tinggal.

Penghitungan akhir yang dilakukan oleh petugas KPPS TPS 14 menghasilkan kemenangan kepada capres/cawapres SBY-Boediono, dengan jumlah perolehan suara yang mendukungnya sebanyak 205 orang.

Sementara pasangan JK-Wiranto menduduki posisi kedua dengan jumlah total perolehan suara sebanyak 162 orang. Disusul dengan pasangan Megawati-Prabowo di peringkat ketiga dengan total perolehan suara 30 orang. Jumlah suara yang tidak sah mencapai 19 suara, dari jumlah total pemilih 416 orang.

Kekalahan juga dialami JK-Wiranto di TPS 13, tempat warga RT 05 dan 06 Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, memilih. Di TPS tersebut, pasangan SBY-Boediono keluar sebagai pemenang dengan perolehan 259, disusul pasangan Megawati-Prabowo di urutan kedua dengan total perolehan suara yang didapat sebanyak 75 orang.

Pasangan JK-Wiranto sendiri hanya menempati urutan terakhir dengan total perolehan suara sebanyak 45 orang. Suara tidak sah di TPS tersebut mencapai 5 suara, dari jumlah total pemilih 384 orang.

SBY-Boediono Unggul di 22 Provinsi


Kamis, 9 Juli 2009 | 03:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Pasangan capres dan cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Boediono berdasarkan hasil penghitungan suara sementara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Kamis (9/7), unggul atas calon lainnya di 22 provinsi.

Pasangan yang diusung oleh Partai Demokrat dan 24 partai politik pendukung lainnya itu diantaranya unggul di Provinsi Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Adapun total perolehan suara pasangan capres dan cawapres nomor dua itu adalah 11.369.909 atau 61.69 persen dari total suara yang masuk ke KPU hingga pukul 01.30 WIB yaitu 18.430.133 suara.

Untuk pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro) yang diusung oleh PDIP dan Gerindra, untuk sementara unggul di dua provinsi yaitu Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan total perolehan suara sementara adalah 5.261.268 atau 28.55 persen.

Sedangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) yang diusung oleh Partai Golkar dan Hanura untuk sementara unggul di tiga provinsi yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Adapun total perolehan suara sementara versi KPU adalah 1.798.956 atau 9.76 persen.

Sesuai data KPU masih ada enam provinsi yang hingga saat ini belum mengirimkan hasil sementara yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Pengiriman hasil penghitungan sementara ini dilakukan dengan menggunakan teknologi pesan singkat (SMS) yang dikirimkan langsung oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang telah terdaftar sebelumnya. "Hasil penghitungan ini sifatnya sementara dan tidak dapat dijadikan referensi," kata salah satu anggota KPU Abdul Aziz.

Penghitungan cepat ini dihimpun dari sekitar 100.000 TPS atau sekitar 22 persen dari total jumlah TPS. Sesuai dengan data yang ada, jumlah TPS yang tersebar di seluruh Indonesia kurang lebih mencapai 450.000 TPS. Pasangan SBY-Boediono selain unggul dalam penghitungan sementara versi KPU juga unggul dalam versi "quick count" atau penghitungan cepat.

Dari enam lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat, semuanya menempatkan pasangan SBY - Boediono diurutan teratas dengan perolehan suara sebanyak kurang lebih 60 persen. Diposisi kedua ditempati pasangan Megawati-Prabowo dengan 27 persen dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara kurang lebih 12 persen.

Kredibilitas Lembaga Survei


Kamis, 9 Juli 2009 | 05:48 WIB
Oleh Bestian Nainggolan dan Bambang Setiawan

KOMPAS.com-Hasil survei prapemilu oleh sejumlah lembaga yang memprediksi kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam Pemilu Presiden 2009 mendekati kenyataan. Publikasi hitung cepat kian mengindikasikan hal itu.

Dengan keberhasilan ini, pantaskah survei dijadikan rujukan ideal dalam mengekspresikan opini publik?

Pemilu 8 Juli tidak saja menjadi ajang persaingan di antara ketiga pasangan kandidat presiden ataupun partai politik, tetapi sekaligus juga arena pembuktian kesahihan memprediksi di antara lembaga-lembaga survei.

Setelah perdebatan cukup panjang terkait dua hal, yakni netralitas lembaga penelitian dan dampak publikasi hasil penelitian, tiba waktunya melihat dengan arif lembaga survei atas dasar mutu hasil penelitian. Pemilu menjadi momen untuk menyeleksi manakah lembaga yang memiliki kredibilitas dan mana yang sulit dipercaya.

Merujuk pada hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei sesaat setelah pengumpulan suara pemilu usai, pemenang pemilu presiden dapat ditebak saat ini. Dengan selisih perolehan yang cukup jauh, pasangan Yudhoyono-Boediono ditempatkan pada posisi teratas di kisaran 60-an persen dalam hitung cepat Pemilu Presiden 2009. Menyusul kemudian pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto di kisaran 27-an persen dan Jusuf Kalla-Wiranto 13-an persen.

Hasil hitung cepat ini menggenapi pula prediksi hasil pemilu yang sebelumnya dilakukan beberapa lembaga survei.

Tidak berubah


Ketepatan memprediksi Pemilu 2009 menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan survei opini publik di negeri ini.

Menariknya, kondisi demikian terjadi secara konsisten pada ketiga ajang kontestasi pemilu (1999-2009) pada era liberalisasi politik ini. Selama itu, tidak ada satu pun lembaga survei yang berhasil memprediksi secara tepat dan akurat terhadap proporsi yang dicapai setiap peserta pemilu. Demikian pula tidak ada satu pun lembaga survei yang mampu mempertahankan secara konsisten dari waktu ke waktu ketepatan prediksi mereka.

Babak baru

Segenap hasil survei, baik yang berhasil maupun yang gagal dalam memprediksi hasil Pemilu Presiden 2009, menorehkan catatan tersendiri dalam sejarah penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini. Apa yang terjadi belakangan ini memang tergolong dramatis.

Menariknya, di balik upaya pembuktian keakuratan dalam memprediksi, berlangsung pula persaingan pengaruh di antara para penyelenggara survei. Jika pembuktian akurasi prediksi dihasilkan dari ketepatan lembaga survei dalam menerapkan metode survei dan teknis penyelenggaraannya, persaingan pengaruh lebih terasakan saat ini sejalan maraknya publikasi survei dengan hasil yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Tidak heran isu independensi lembaga survei menjadi salah satu persoalan yang menyeruak pada Pemilu 2009.

Dalam kondisi semacam ini, keberadaan survei opini publik menjadi semakin dilematis. Ketepatan dalam memprediksi memang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk lebih memercayai hasil-hasil survei opini publik. (Litbang Kompas)

Senin, 06 Juli 2009

ANALISIS POLITIK Menegakkan Hak Pemilih



Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

"Sebuah kematian adalah tragedi, satu juta orang mati adalah statistik”. Banyak orang di Indonesia mengenal kata-kata masyhur ini sebagai kutipan dari Josef Stalin, mendiang mantan pemimpin Uni Soviet.

Namun, penelusuran lebih lanjut atas dokumen pernyataan dan tulisan Stalin membuktikan bahwa sangat boleh jadi atribusi itu keliru. Kemungkinan besar, kutipan itu berasal dari novel Der Schwarze Obelisk karya Erich Maria Remarque (1956). Namun, saya tak ingin mendiskusikan kekeliruan atribusi yang sudah menahun ini.

Kutipan terkemuka itulah yang tiba-tiba saya ingat di tengah kepungan suasana hiruk pikuk menjelang hari pencontrengan Pemilu Presiden 2009 hari-hari ini. Sebab, inilah hari-hari yang selayaknya menyadarkan kita bahwa ”satu juta orang tak memilih adalah statistik, satu orang kehilangan hak pilihnya adalah tragedi”.

Demokratisasi sejak 1998 datang membawa perubahan definisi memilih. Jika pada masa Orde Baru memilih cenderung didefinisikan sebagai ”kewajiban”, pada era Reformasi saat ini memilih lebih dirumuskan sebagai ”hak”. Alhasil, memilih atau tidak adalah sebuah pilihan yang sama lazimnya. Sejauh dilakukan secara bertanggung jawab, memilih ataupun tidak, memiliki nilai yang setara saja. Tentu saja, dengan konsekuensi yang berbeda.

Maka, 121.391.591 orang yang tidak memilih dan 17.291.806 pemilih yang suaranya tak sah adalah rentetan statistik. Mereka— 66.968.882 orang atau 39,15 persen dari total pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) itu—memang mewakili sebuah gejala rendahnya partisipasi sekaligus keletihan politik—adalah gejala lazim dalam pasang naik dan pasang surut hidup berdemokrasi.

Namun, cerita menjadi berbeda menyangkut sejumlah besar orang—tak ada yang tahu jumlah pastinya—yang hak-hak pilihnya dicederai. Mereka adalah penduduk sah yang karena kelalaian (atau kesengajaan?) birokratis dan politik tak tercantum dalam DPT. Di sini, kita tidak lagi bicara statistik, melainkan sebuah tragedi demokrasi yang sungguh tak main-main.

Saya ingin memahami pemilihan presiden yang sudah di pelupuk mata dengan menggunakan perspektif itu. Ketika Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sebuah tayangan televisi (Senin, 6/7) menyatakan bahwa ”hanya” sekitar 44.000 nama yang mengalami pencatatan ganda di Jawa Timur, Sang Ketua telah gagal memahami keadaan.

Dua langkah

Jika tak ada aral melintang, besok (Rabu, 8 Juli 2009) puluhan juta orang di seluruh pelosok Indonesia akan mendatangi 451.182 TPS (lebih sedikit 63.738 TPS dibandingkan dengan pemilu legislatif) untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden.

Menurut data KPU, 176.367.056 orang tercatat dalam DPT. Jumlah ini memang 5.101.614 orang lebih banyak dibandingkan dengan DPT pemilu legislatif. Namun, sejumlah pihak menengarai bahwa masih banyak—diperkirakan jumlahnya bahkan mencapai jutaan—orang yang sejatinya berhak pilih tak tercantum dalam daftar itu.

Ini sesungguhnya bukan masalah baru. Perkara serupa sudah terjadi, dan sempat menimbulkan kisruh temporer, dalam pemilu legislatif lalu. Keliru besar jika Presiden, Mendagri, dan KPU memahami masalah ini sebagai semata perkara administrasi yang tak genting. Keliru besar jika kita hanya menggugat perkara ini di bagian hilir, yakni dikaitkan semata sebagai buruknya kerja KPU. Keliru besar jika sumber persoalan di hulu, yakni buruknya administrasi kependudukan yang kemudian menghasilkan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang sangat bermasalah, tidak ikut digugat dan diperbaiki (di kemudian hari).

Namun, di atas segalanya, potensi kekeliruan terbesar datang dari cara memahami persoalan. Sebagaimana sudah saya tegaskan di awal, ini bukan semata statistik jumlah orang yang tidak memilih, tetapi tragedi demokrasi yang sungguh serius.

Untuk jangka pendek, perlu perbaikan daftar pemilih dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena itu, kita selayaknya mendukung kesibukan tak biasa, Senin lalu di KPU. Tim dari ketiga pasang capres dan cawapres bekerja bersama para petugas KPU untuk memperbaiki daftar pemilih tetap untuk pemilu besok.

Langkah jangka pendek lain adalah merealisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Refly Harun dan Maheswara Prabandono untuk menguji Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pemilihan Presiden. MK melenturkan syarat administratif bagi pemilih dengan mempersilakan penduduk yang namanya tak ada dalam DPT untuk memilih menggunakan bukti KTP atau paspor.

Selepas itu, sambil mengelola agar pemilu tak ditandai oleh kecurangan dan kekerasan, setiap orang dengan segenap keterbatasan masing-masing selayaknya ikut menjadi pelaku sekaligus pengawas proses pencontrengan, pencatatan hasil, hingga selesainya keseluruhan prosesi Pilpres 2009.

Lalu, dalam jangka panjang, kisruh DPT adalah alarm yang berbunyi nyaring: betapa mendesaknya penertiban administrasi kependudukan dengan menimbang sejumlah hal. Pertama, selayaknya kita menggunakan sistem identitas tunggal yang efisien dan kredibel. Kedua, selayaknya dipikirkan mekanisme yang membuat semua orang—termasuk penduduk miskin dan mereka yang oleh aturan didefinisikan sebagai ”penduduk liar”—memiliki akses yang lapang terhadap identitas kependudukan.

Akhirnya, terlepas dari beragam kisruh yang kita dulang hari-hari ini, selamat menegakkan hak kewarganegaraan Anda! Selamat menentukan pilihan dan menjadi para penagih janji selepas pemilu!

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pilpres 2009

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Jika tak ada aral melintang
Besok Rabu, 8 Juli 2009
Akan berlaku pemilihan presiden langsung
Kedua sejak Indonesia merdeka
Sebagai pelaksanaan amar UUD 1945
Dalam amandemen pertama
Di era reformasi
Sejak sebelas tahun yang lalu.

Dalam pemilihan langsung ini
Kedaulatan rakyat dijunjung tinggi
Profesor botak, purnawirawan berbintang empat
Koruptor yang telah menghisap
Kekayaan bangsa tanpa rasa dosa
Sama harganya
Dengan rakyat jelata
Yang belum merasakan makna kemerdekaan
Bagi kesejahteraan hidup harian mereka.

Oleh sebab itu
Siapa pun pemenangnya
Kartu nomor satu, nomor dua, atau nomor tiga
Ingatlah terus janji kampanye:
Rakyat, rakyat, dan rakyat.

Gesekan politik
Yang terasa selama kampanye
Jangan disimpan sebagai dendam
Yang dapat merusak Indonesia satu
Utuh tak berbagi
Sebagai amanat suci proklamasi.
Akhirnya
KPU yang banyak disorot itu
Punya tugas mulia
Untuk menjadikan pilpres ini
Sebagai pilar demokrasi yang sehat
Dalam pemilihan yang jujur dan adil
Demi menatap Indonesia bersatu ke depan
Selamat memilih!

(-)

LSI Adakan Quick Count Pilpres Pakai Dana Pribadi


Moksa Hutasoit - detikPemilu


Jakarta - Lembaga Survei Indonesia (LSI) akan tetap melakukan quick count dan exit poll pada Pilpres 8 Juli. LSI pastikan dana yang mereka gunakan bukan dari pasangan capres-cawapres mana pun.

"LSI akan memakai dana Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) yang mendirikan dan menghidupi lembaga survei ini," kata Manager Public Affairs LSI, Burhanuddin Muhtadi dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (7/7/2009).

LSI juga akan mengembalikan dana dari Fox Indonesia yang nantinya akan dialokasikan untuk membiayai quick count. LSI merasa perlu melakukan ini untuk memberi jaminan tentang integritas hasil survei.

Menurut Muhtadi, masih banyak sebagian masyarakat yang tidak dapat menerima konsep profesionalisme. Rakyat belum dapat menghilangkan kaitan antara sumber pendanaan dengan hasil survei.

"Masih banyak pihak yang meragukan prinsip inklusivitas dan non-partisan LSI," jelas Muhtadi.

Pada pilpres mendatang, LSI akan mengerahkan 2.500 orang ke seluruh Indonesia untuk mengumpulkan data. LSI juga akan mengerahkan tenaga spot-checker, validator, call center, ahli statistik, IT dan puluhan tenaga lainnya untuk mensukseskan penghitungan cepat.
( mok / fiq )

Minggu, 05 Juli 2009

Pilpres Iran Jangan Diimpor ke Indonesia

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam perspektif perkembangan pemikiran politik Muslim Syiah selama puluhan abad, pilpres Iran sebagai bagian dari sistem demokrasi tidak pernah terbayangkan. Sekiranya Revolusi 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini tidak meledak, Iran akan tetap saja berada di bawah sistem politik dinastik yang opresif. Adapun kondisi demokrasi belum seperti yang diharapkan dengan kenyataan masih bertenggernya maqam spiritual tertinggi yang sangat berkuasa di atas presiden sebagai sebuah superbody memang selalu menghambat program pemerintah di bawah pimpinan presiden terpilih. Mohammad Khatami yang sangat populer selama dua periode menjabat sebagai presiden Iran sungguh merasakan belitan gurita maqam tertinggi itu yang sekarang masih berada di bawah genggaman Ayatullah Ali Khamenei. Boleh jadi, pada saatnya nanti, demokrasi Iran akan melumpuhkan gurita itu sehingga seorang akan dapat secara bertanggung jawab melaksanakan tugasnya sebagai presiden pilihan rakyat. Tetapi, sistem demokrasi yang coba dikembangkan di Iran sungguh merupakan terobosan sejarah yang telah berhasil memutus rantai dinastik sampai batas-batas tertentu. Negara-negara Arab yang masih berpegang kepada sistem dinastik-despotik semestinya merasa malu dengan terobosan Iran ini.

Pada 12 Juni yang lalu, Iran baru saja melaksanakan pilpres yang sayang berbuntut kekerasan. Kekuatan reformis di bawah pimpinan Mir Hossein Mousavi tidak menerima hasil pilpres itu yang dinilai curang dan menuntut diadakan pemilihan ulang. Di belakang Mousavi, sesungguhnya berdiri Khatami dan Rafsanjani, keduanya adalah mantan presiden yang masih berpengaruh. Sekiranya aparat tidak sampai membunuh para demonstran, gaungan cacat demokrasi Iran tidak akan begitu membahana. Presiden terpilih Mahmoud Ahmadinejad tidak perlu terlalu tegang menghadapi entakan kaum reformis ini, dengan catatan tuduhan kecurangan pilpres benar-benar dibongkar secara jujur dan adil. Kita berharap agar Iran akan berhasil menyelamatkan demokrasinya yang belum berusia panjang. Apalagi, sebenarnya sistem itu asing dalam tradisi Syiah, sebagaimana telah disinggung di atas.

Sekarang, kita turun ke Indonesia. Pilpres langsung tahun 2004 relatif aman dan terkendali. Dunia luar memuji demokrasi rakyat yang mayoritas Muslim itu. Seorang pengamat pemilu Indonesia, Jimmy Carter misalnya, sampai-sampai mengatakan bahwa ternyata demokrasi selaras dengan ajaran Islam. Komentar Carter ini telah dikutip oleh media di seantero jagat. Demokrasi Indonesia jadi buah buah bibir di mana-mana: ternyata Islam Indonesia bersahabat dengan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi kita belum berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, itu masalah yang memang sangat mengganggu kita semua. 

Inilah salah satu tantangan yang menghadang pemerintah yang akan datang, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakilnya pada 8 Juli nanti. Demokrasi prosedural dan teknis yang telah berjalan relatif baik di Indonesia harus secepatnya diarahkan kepada tujuan sejati sistem itu: kesejahteraan bersama. Tanpa bergerak ke arah ini, demokrasi dapat menjadi bumerang dan malapetaka, sesuatu yang wajib dihindari oleh bangsa ini secara keseluruhan tanpa kecuali. Para elite sebagai pemain terdepan di panggung politik mesti mengantisipasi serba kemungkinan buruk ini. Caranya sederhana saja, yaitu ubah tingkah laku agar mendekati posisi calon negarawan.

Akhirnya, budaya kekerasan sebagai ekor pilpres Iran jangan dibawa ke Indonesia. Siapa pun yang terpilih nanti melalui pemilihan yang jujur dan adil harus diterima dengan penuh pengertian dan kesabaran. Di sinilah, peran KPU menjadi sangat krusial untuk mengurus masalah DPT semaksimal mungkin sehingga tuduhan serba curang akan terhapus dalam kosakata Pilpres 2009 ini. Saya mohon agar KPU sekarang mau belajar kepada KPU periode lalu yang ternyata jauh lebih profesional. Adapun suara teman kita, Permadi, agar Megawati dan JK memboikot pilpres tidak perlu dipertimbangkan, dengan catatan KPU bekerja maksimal dan belajar menjadi profesional. Taruhan di depan KPU sungguh dahsyat. Karena itu, harus tidak sungkan belajar kepada pendahulunya demi kepentingan masa depan demokrasi Indonesia.
(-) 
Index Koran

Jumat, 03 Juli 2009

Anatomi Pilihan Presiden 2009

Mochtar Pabottingi 

Saya termasuk orang yang sebelumnya sangat ingin mempertahankan duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kini dengan tiga pasangan yang berlomba—Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto—hitung-hitungan politik harus dimulai baru lagi.

Kita perlu merumuskan tiga persyaratan bagi negara-nasion yang baik. Dengan itulah kita mengukur kondisi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Begitu pula modal politik tiap pasangan maupun perangkap-perangkap politik yang harus diwaspadai pada mereka. Analisis dan kesimpulan bisa ditarik dari situ.

Tiap negara-nasion hanya bisa tumbuh baik dengan tiga persyaratan. Pertama, jika kebijakan-kebijakan nasionalnya menguntungkan warga negara secara merata.

Kedua, jika pemerintah tekun menyimak hasrat-hasrat bajik dari rakyat di seluruh bagian negeri dan mengindahkan tiap hasrat itu dalam aneka kebijakannya. Ketiga, jika negara-nasion terus bekerja mengukuhkan kemandiriannya atau konsisten meningkatkan pengendaliannya atas segala bentuk kegiatannya secara terpuji tanpa didikte atau dilecehkan oleh kepentingan-kepentingan asing.

Di mana Indonesia?

Dalam lima tahun terakhir, keamanan menjadi lebih baik, pemerintahan berjalan relatif lancar, kanker korupsi tidak dibiarkan, dan faset-faset demokrasi terus dikembangkan. Ini patut disyukuri. Namun, kondisi positif ini harus diperhadapkan dengan ketiga persyaratan di atas.

Dengan kata lain, pertanyaan sentralnya ialah apakah di dalam kondisi itu bangsa kita makin sejahtera atau justru makin diperkuli. Juga apakah negara-nasion kita semakin merdeka atau makin terjajah.

Sejak awal upaya reformasi, alangkah banyak energi, legislasi, kebijakan, dan praktik pemerintahan yang tidak diperuntukkan bagi perbaikan hidup rakyat secara keseluruhan, apalagi untuk meningkatkan daya tahan nasional serta kelestarian lingkungan hidup bangsa kita. Pelbagai kekayaan alam dan sumber-sumber daya kita terus dijarah secara bebas dan besar-besaran.

Dalam hal kebijakan pembangunan, perdagangan, serta minyak dan gas, misalnya, sangat terasa kecenderungan atau bahkan perbudakan pada kepentingan-kepentingan asing. Dan sorotan paling tajam harus ditujukan pada kian beratnya beban utang yang harus ditanggung oleh bangsa kita selama beberapa generasi.

Dalam kondisi demikian sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir ketiga kriteria yang kita utarakan di depan sama sekali tak terpenuhi.

Modal politik 

Modal politik SBY-Boediono jelas bertumpu pada kesantunan/kehati-hatian yang sudah melekat pada sosok SBY dan sepanjang lima tahun ini telah terbangun, dan tampaknya cukup dihargai masyarakat. Dengan modal itu, SBY hampir selalu tampil pantas dan menyejukkan. Dia tidak menciptakan musuh-musuh.

Dalam kampanyenya sekarang, modal ini pula yang secara sadar dieksploitasi oleh tim sukses SBY. Boediono, calon wakil presiden, juga sama, santun dan hati-hati dan jelas melengkapi pemerintahan SBY dengan kemampuan teknokrasinya.

Modal politik Megawati tetap adalah pengaitan dengan sosok ayahandanya atau pertumpuan pada ”kultus Bung Karno”. Sejak terjun ke politik, itulah modal tunggal Megawati. Atas dasar itu pulalah dia terus diusung oleh para pendukungnya.

Prabowo, pendampingnya, juga sudah menerima jalan kultus itu. Dia tampaknya senang pada klaim Permadi yang ”melihat sosok Bung Karno” pada dirinya. Dalam kampanyenya di Ponorogo beberapa waktu lalu, dia sengaja memakai pantalon model tahun 1950-an yang kerap dipakai Bung Karno, khususnya pada momen Proklamasi.

Modal politik Jusuf Kalla (JK) adalah keterbukaan, keberanian, dan kecepatannya membaca situasi serta mengambil keputusan. Terlepas dari sosoknya yang kecil, kepercayaan dirinya sangat besar. Jiwa dan pikirannya transparan. Mungkin karena kombinasi itu semua, tak sulit baginya untuk menyambut uluran persahabatan atau berhadapan dengan tantangan. Dia memahami sekaligus memaksudkan hampir setiap kata-katanya. Kejujuran terpancar dari situ. Berhadapan dengan JK, kita seperti berhadapan dengan buku yang tiap lembarnya terbuka, kita tak berbicara dengan sosok bermasker. Sebagai pendamping, Wiranto adalah figur yang rendah hati, tidak gegabah, dan memiliki semangat keindonesiaan yang kuat. Itu adalah sifat serta aset yang pas untuk mendampingi JK.

Perangkap-perangkap politik 

Perangkap politik yang sangat mungkin menghadang pasangan SBY-Boediono adalah pembesaran defisit nyali eksekutif. Selama lima tahun ini defisit demikian juga ada dan berkali-kali mencuat di permukaan, tetapi itu banyak tertutupi oleh kesigapan, keberanian, dan terobosan JK.

Dalam hitungan itu, beda dengan pasangan SBY-JK, pasangan SBY-Boediono yang sama-sama santun tidak saling melengkapi. Dalam memerintah, kehati-hatian dan teknokrasi memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah keberanian mengambil keputusan tanpa terlalu banyak mengulur waktu.

Kita juga harus mempertanyakan kesantunan itu sendiri, apakah itu murni ataukah sejenis eskapisme, bahkan topeng. Kita tahu, tokoh Soeharto juga amat santun, tetapi kita juga tahu apa-apa saja yang tersembunyi di baliknya. Tidak menciptakan musuh-musuh adalah bajik. Namun, jauh lebih bajik adalah keberanian menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Memilih posisi tertentu setiap saat adalah niscaya dalam politik, dan tiap kali kita memilih pasti ada kawan ada lawan. Politisi maupun negarawan menjadi besar justru karena kejelasan posisi-posisi serta deretan kawan-lawannya.

Tiap kita yang mengikuti perilaku kepresidenan dalam lima tahun terakhir pasti menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh seorang SBY sebetulnya adalah figur yang cepat menanggapi, menentukan posisi, dan mengambil keputusan.

Sungguh mengkhawatirkan jika pilihan SBY atas Boediono semata-mata didasari oleh hitungan loyalitas. Sanggupkah Boediono memenuhi tuntutan sebagai pengisi defisit nyali eksekutif? Dengan kata lain, pada saat-saat tertentu, sanggupkah dia bertindak sebagai the real president seperti apa yang telah dilakukan oleh JK selama ini dalam posisi wakil?

Yang paling mencemaskan adalah kemungkinan perangkap politik yang sungguh bisa terjadi jika pasangan Megawati-Prabowo menang. Berhadapan dengan kecerewetan mekanisme politik demokratis, pasangan ini akan mudah tergoda untuk—mengulang langkah Bung Karno— lagi-lagi mendekritkan Indonesia ”kembali ke UUD 1945 yang asli”. Tak cuma sekali Megawati menyatakan hasratnya ke situ.

Dalam konteks politik ekstra cerewet dan supra mahal selama lima tahun terakhir, kembali ke UUD 1945 memang bisa disebut terobosan, tetapi ia pasti terobosan celaka. Megawati tampaknya tak kunjung menyadari bahwa pada hakikatnya UUD 1945 asli itulah yang telah membawa tragedi mahabesar dan bersimbah darah kepada bangsa kita dua kali berturut-turut, masing-masing 1965-1966 dan 1998-2001. Dia juga tidak menyadari bahwa kondisi pasca-Soeharto sama sekali beda dengan kondisi pasca-Demokrasi Terpimpin. Dulu ”Dekrit” dikawal oleh tokoh sekaliber Bung Karno dan TNI masih berwibawa. Kini kedua ”modal dekrit” itu sama sekali tiada.

Kita sepenuhnya memaklumi bahwa proses demokrasi memang cerewet, tetapi ”kecerewetan” itu perlu untuk laku prinsip saling kontrol saling imbang: kecerewetan adalah penangkal tragedi. Kita masih ingat betapa cerewetnya demokrasi Indonesia sepanjang 1950-1958 dan karena itulah ia terbebas dari tragedi nasional.

Bisa dipastikan bahwa betapa panjang pun tawar-menawar politik di Era Upaya Reformasi ini, di dalamnya tak pernah ada penumpukan kebencian. Orang tak menumpuk konflagrasi api dalam sekam seperti yang berlaku pada kedua rezim pendahulunya!

Bagi bangsa kita, dekrit demikian berarti balik ke pangkal proses menuju tragedi politik mahabesar untuk ketiga kalinya. Merisikokan satu lagi tragedi politik mahabesar ke depan berarti merisikokan tamatnya republik kita. Kita sepenuhnya menyadari bahwa UUD 1945 hasil amandemen masih memiliki titik-titik irasional, bahkan konyol, terutama pemberian kuasa berlebihan kepada lembaga legislatif, tetapi akan lebih konyol lagi jika substansi konstitusional yang membuat kekuasaan diraih secara kompetitif dan dikawal secara kritis lagi-lagi dihapuskan.

Dengan pemahaman politik Megawati yang sangat terbatas, sulit untuk melihat kemungkinan dia menyadari betapa besarnya bahaya pemberian kuasa nyaris total kepada lembaga eksekutif. Sama sulitnya untuk melihat kemungkinan dia mampu membalikkan absolutisme politik jika itu sudah tergenggam di tangannya.

Untuk pasangan JK-Wiranto, perangkap politik bisa datang dari dua arah. Perangkap pertama bagi pasangan ini bisa datang dari lingkaran dan kepentingan bisnis keluarga JK. Setidaknya begitulah penilaian sebagian kalangan.

Kemungkinan perangkap kedua bisa datang dari Partai Golkar. Partai ini tetaplah merupakan anatema peninggalan Orde Baru. Selama sepuluh tahun terakhir, para petinggi Golkar umumnya, begitu pula sebagian besar jajarannya, tetap menggandul pada motif-motif politik buruk dan praktik-praktik politik tak terpuji yang sudah berurat-berakar pada mereka sejak 1971.

Dominannya virus-virus tercela bawaan Partai Golkar inilah yang menyebar dan menjangkiti praktis semua partai lainnya. Dan jadilah wajah kepartaian kita seperti yang kita saksikan kini.

Kesimpulan 

Bagaimana melakukan ekstrapolasi dari ketiga pokok analisis yang telah dijabarkan di atas?

Saya yakin bahwa kesopanan/kehati-hatian yang terlalu diutamakan berdampak pada kelambanan mengambil sikap dan keputusan dalam pelbagai persoalan kenegaraan.

Ini cukup terbukti pada sosok SBY selama lima tahun terakhir. Saya juga meyakini argumen bahwa karier politik Megawati bertumpu pada ”kultus Bung Karno” seperti saya meyakini keyakinannya pada pernyataan-pernyataan politiknya untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.

Bagaimana tentang JK? Seingat saya memang sempat mencuat kasus-kasus di mana JK bisa dibaca sebagai telah melakukan favoritisme ekonomi, tetapi pada umumnya ini bisa ditepis secara efektif dan transparan olehnya dan tak satu pun yang dibawa ke pengadilan. Selama lima tahun terakhir, ”buku politik” maupun ”buku ekonomi” seorang JK senantiasa terbuka.

Saya juga yakin JK cukup memaklumi cacat-cacat yang lengket pada orang-orang partainya, termasuk bagaimana dia sendiri kerap dilecehkan oleh jajaran petinggi Golkar, terutama dalam dua kali masa memasuki pencalonan pasangan kepresidenan. Perlu dicatat bahwa JK sudah menjadi tokoh dan sudah orang berada sebelum aktif di Golkar.

Singkatnya, jika modal politik pasangan SBY-Boediono maupun Megawati-Prabowo terancam serius oleh perangkap-perangkap politik yang membayangi keduanya, tidak demikian halnya dengan JK. Modal politik JK sebagai tokoh yang memiliki keterbukaan, keberanian, dan kecepatan dalam membaca situasi serta mengambil keputusan akan tetap bertahan meskipun diperhadapkan dengan kedua perangkap politik yang membayanginya.

Maka, dari ketiga pasangan yang berlomba, pasangan JK-Wiranto berpotensi memiliki potensi besar untuk melakukan rangkaian perbaikan nyata atau terobosan konstruktif bagi bangsa. Kali ini, pembebasan Indonesia dari kungkungan keterpurukan berlarut-larut hanya bisa diharapkan dari mereka.

Mochtar Pabottingi Guru Besar Riset Ilmu Politik LIPI

Kamis, 02 Juli 2009

SBY-Boediono Demokrat Yakin SBY Menang Satu Putaran

Jakarta, Kompas - Partai Demokrat dan tim kampanye nasional SBY-Boediono tetap yakin akan bisa meraih dukungan dan memenangi pemilu presiden dalam satu putaran. Keberhasilan itu bukan berdasarkan polling, melainkan didasarkan pada antusias yang diperlihatkan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, kerja seluruh tim kampanye dan partai pendukung, serta tim independen lain yang bekerja di basisnya masing-masing.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Demokrat Panangian Simanungkalit dan Ramadhan Pohan, anggota tim kampanye nasional SBY-Boediono, di Jakarta, Kamis (2/7). Menurut Panangian, keyakinan kemenangan tersebut juga didukung dengan hasil survei Kompas yang dimuat di lembaran Kandidat Kompas (30/6) yang menyatakan, SBY-Boediono akan mampu mengumpulkan dukungan di atas 50 persen dan memenuhi syarat minimal perolehan suara 20 di setengah jumlah provinsi yang ada di seluruh Indonesia.

”Saya yakin Kompas melakukannya dengan independen, tanpa diintervensi oleh tim SBY-Boediono,” ujarnya.

Sementara itu, kemarin di Jakarta, juru bicara tim kampanye nasional SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng, mengatakan, pihaknya tidak menggunakan spanduk sosialisasi pencontrengan sebagai alat kampanye.

Mengenai unjuk rasa para wartawan akibat tindak kekerasan oknum Partai Demokrat terhadap seorang wartawati di Papua, Rizal mengatakan, proses hukum sudah berjalan. Selain itu, tim kampanye nasional SBY-Boediono juga menyampaikan permintaan maaf terbuka.

Dalam jumpa pers di Magelang, Jawa Tengah, kemarin, Koordinator Wilayah Kedu untuk Tim Kampanye Daerah SBY-Boediono Kholiq Arif, pada hari-H pilpres, 8 Juli mendatang, tim sukses pasangan SBY-Boediono siap menerjunkan ”satpam sosial” yang akan berjaga-jaga di luar tempat pemungutan suara (TPS). Satpam ini adalah orang yang ditempatkan secara khusus untuk mengawasi setiap pemilih supaya masing-masing dari mereka dapat memberikan hak suaranya dengan tenang dan tanpa tekanan.

Kemarin di lapangan sepak bola Desa Rendeng, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, berlangsung kampanye terbuka para pendukung SBY-Boediono.

KH Dimyati Romli atau Gus Dim di Musholla Al Husna, Pondok Pesantren Darul ’Ulum, Jombang, kemarin, menyatakan mendukung SBY-Boediono.

Sementara itu, tiga perempuan pendukung SBY-Boediono, Amelia Yani, Meutia Farida Hatta Swasono, dan Kartini Sjahrir, berada di Gianyar, Bali, untuk mengonsolidasi dukungan bagi pasangan nomor dua. Gianyar adalah basis kuat Megawati.

(EGI/SUP/INK/DAY/MAM)

Gas Tangguh dan Debat Capres

Kurtubi

Dalam putaran kedua debat calon presiden bertema ”Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran”, muncul pernyataan dan dialog menarik. Salah satu isu yang mengemuka adalah soal gas Tangguh yang dijual amat murah.

Rendahnya harga jual gas Tangguh, berpangkal dari formula harga jual yang membatasi harga minyak mentah yang menjadi acuan, tidak boleh lebih tinggi dari 38 dollar AS/BBLS. Ini menghasilkan harga jual gas Tangguh flat, maksimal 3,35 dollar AS/MMBTU untuk kontrak penjualan jangka panjang.

Padahal, bukti empiris dan teori menunjukkan harga gas selalu bergerak seirama harga minyak mentah yang amat dinamis.

Harga gas di pasar spot Henry Hub di Oklahoma, harga LNG yang diimpor Jepang, dan harga gas melalui pipa dari Rusia ke Eropa Barat semua amat dinamis, bisa naik-turun, tergantung fluktuasi harga minyak mentah.

Pengalaman Pertamina

Begitu juga pengalaman Indonesia (Pertamina). Formula harga jual gas dari Badak yang disepakati antara Pertamina dan pembeli di Jepang tahun 1980- an maupun rencana penjualan gas Donggi-Senoro ke Jepang tahun 2013 (jika proyek dijalankan) juga terkait harga minyak mentah yang tak dibatasi.

Artinya, jika harga minyak mentah naik, harga jual gas dari Badak dan Donggi-Senoro juga naik. Begitu juga sebaliknya. Ini fair bagi penjual maupun pembeli, tak ada pihak yang dirugikan, berlaku saat kondisi buyer market maupun seller market.

Dengan harga minyak mentah sekitar 70 dollar AS/BBLS, seperti terjadi saat ini, LNG dari Badak dan Donggi-Senoro dijual seharga 11 dollar AS/MMBTU, sedangkan gas Tangguh dijual 3,35 dollar AS/MMBTU. Jika harga minyak ada pada kisaran 150 dollar AS/BBLS, (ini bukan mustahil karena level tertinggi 147,27 dollar AS/BBLS pernah terjadi 11 Juli 2008), harga jual LNG Badak dan Donggi-Senoro menjadi sekitar 25 dollar AS/ MMBTU. Negara berpotensi rugi dalam jumlah amat besar, bisa di atas Rp 700 triliun atau sekitar 70 persen dari APBN 2010.

Untuk menghindari kerugian itu, pemerintah membentuk Tim Renegosiasi Harga Gas Tangguh yang diketuai Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian/Menteri Keuangan. Namun, seperti dikemukakan capres Jusuf Kalla, ”Entah mengapa tim yang sudah ada keppresnya ini lamban sekali.” Bahkan, ada indikasi tim akan layu sebelum berkembang seperti terlihat dari pernyataan Menteri ESDM, ”Harga gas Tangguh (3,35 dollar AS/MMBTU) sudah bagus. Pemerintah menghormati kontrak” (Kontan, 15/5/2009).

Ke depan, mengingat prospek harga minyak mentah sulit bertahan pada 50 dollar AS/BBLS, bahkan cenderung naik sejalan pemulihan ekonomi dunia, maka argumentasi bahwa harga LNG Tangguh 3,35 dollar AS/MMBTU sebagai harga bagus bagi Indonesia menjadi amat lemah.

Jauh sebelum kontrak penjualan LNG Tangguh, tahun 1931, Harold Hotelling, ahli ekonomi Sumber Daya Alam, memperkirakan, harga nominal minyak mentah/SDA tak terbarukan (nonrenewable resources) harus naik minimal sama dengan tingkat suku bunga. Ini diperlukan agar pemilik sumber daya tidak rugi (worse off) jika memproduksi minyak tahun ini atau tahun-tahun mendatang.

Mengingat risiko dan biaya mencari serta memproduksi minyak dan gas relatif sama, ditambah sifat minyak dan gas yang bisa saling substitusi, maka wajar jika harga gas amat terkait harga minyak tanah.

Amat disayangkan jika gas Tangguh yang akan dikapalkan Juli ini harus dijual dengan harga maksimal 3,35 dollar AS/MMBTU meski harga minyak dunia naik ke level berapa pun.

Penyimpangan

Kasus LNG Tangguh ini memberi pelajaran amat berharga bagi bangsa ini. Model pengembangan LNG Tangguh berdasar UU Migas No 22/2001 dengan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada non-BUMN. Padahal, sebagian besar gasnya merupakan bagian negara lalu dijual dengan harga amat murah. Maka, ini jelas merupakan penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945.

Kekayaan alam yang terkandung di perut bumi, sesuai konstitusi harus dikuasai negara (melalui BUMN yang diberi kuasa pertambangan), hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perusahaan minyak asing dan domestik tetap diperlukan dalam mengembangkan industri minyak dan gas nasional, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan BUMN dalam pola hubungan B to B. Pola ini lebih efisien dan lebih bagus daripada B to G yang kini berlaku.

Jika kontraktor menemukan cadangan gas besar, pengembangan dilakukan BUMN. Ini dimaksudkan untuk memperoleh harga ekspor maksimal dan untuk menghindari conflict of interest yang mungkin timbul jika diserahkan kepada non-BUMN (multinational company). Sementara pemegang kebijakan dan regulator dalam pola B to B tetap di tangan pemerintah, terutama Departemen ESDM.

Kita berharap pemerintah atau siapa pun presiden terpilih kelak agar tegas berusaha memperbaiki formula harga jual yang amat tidak adil ini, agar rakyat, terutama generasi muda, tidak dirugikan. Lebih dari itu, kita juga berharap agar pengelolaan kekayaan minyak dan gas nasional ke depan dikoreksi dan disempurnakan.

Kurtubi Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)

Demokrasi dan Politisasi Agama

HENDARDI 

Mencermati kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang hampir berakhir, tidak banyak hal menarik yang diperdebatkan dan memberi pendidikan demokrasi bagi warga negara.

Debat yang didesain Komisi Pemilihan Umum, yang seharusnya menjadi ajang penggalian visi, misi, dan agenda pembangunan para kandidat, berubah menjadi monolog kandidat dan membosankan. Bahkan, debat itu jauh lebih membosankan dari dinamika perdebatan para kandidat yang terekam di media massa.

Alih-alih menyajikan perdebatan bermutu bagi demokrasi, hiruk pikuk kampanye pilpres justru dicederai politisasi agama, yang entah dari mana munculnya; baik seputar kesalehan personal kandidat, performa pakaian para istri kandidat, maupun pilihan agama dan orientasi keberagamaan seorang kandidat.

Politisasi agama bekerja dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan domain personal ke arena publik. Keberagamaan dan menganut agama adalah soal asasi karena merupakan kebebasan sipil yang dijamin Konstitusi RI dan berbagai instrumen internasional hak asasi manusia. Namun, di tengah kontestasi politik yang tidak sehat, semua kebebasan sipil itu bisa dieksploitasi untuk dua kepentingan, menundukkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.

Jika politisasi diperagakan untuk menundukkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.

Dua model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah tindakan yang mencederai demokrasi: sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja pada aras dan arena rasional. Lebih dari itu, demokrasi memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan.

Mencederai demokrasi

Politisasi agama dalam praktik politik Indonesia sering terjadi meski tidak pernah memberi kontribusi signifikan pada kemenangan seorang kandidat. Pemilu 2004 misalnya, di mana para kandidat yang diusung berbagai kelompok keagamaan dan memantik emosi umat sebagai salah satu cara mendulang dukungan, nyatanya tidak mengalahkan SBY-JK.

Karakter buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah labeling berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap suatu subyek, baik personal maupun golongan, yang pada gilirannya terjadi peminggiran sistematis terhadap subyek dan menghapus hak-haknya untuk diperlakukan setara. Sebenarnya, politisasi agama juga merupakan cara berpolitik yang tidak rasional karena memperdebatkan sesuatu yang bukan merupakan domain politik. Di dalamnya melekat pula pembodohan sistematis kepada publik, suatu yang seharusnya dihindari dalam berdemokrasi. Kontestasi ide menjadi kabur oleh aneka bangunan sentimen identitas. Karena itu, demi penguatan demokrasi yang lebih berkualitas, politisasi identitas (agama) wajib dihindari. Berdemokrasi dan berkontestasilah secara rasional dan cerdas dengan memperdebatkan substansi-substansi yang menjawab kebutuhan masyarakat.

Politisasi agama, pada saat bersamaan, sama berbahayanya dengan pilihan politik pencitraan yang kini menjadi tren politik baru dalam praktik politik Indonesia.

Merugikan

Dalam sejarah politik Indonesia, politisasi agama belum pernah meraih keuntungan politik signifikan dalam sebuah kontestasi. Jika ada fase di mana aneka kelompok agama mampu merengkuh dukungan besar, keberhasilan itu tidak pernah konstan dan bertahan lama karena sebenarnya yang mengikat mereka adalah emosi instan dan sesaat, bukan ikatan ideologis permanen. Hasil pemilu legislatif 2009 telah mengonfirmasi sekian kali tesis ini. Sejumlah partai yang selama ini gemar melakukan politisasi tetapi masih tetap mendapat dukungan diyakini disebabkan bukan oleh benefit politisasi agama, tetapi karena kinerja dan agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan, yang bisa meyakinkan publik untuk dipilih.

Praktik politisasi agama dan identitas lain yang mutakhir adalah ketika RUU Pornografi dibahas di parlemen pada 2007-2008. Semua bangunan logika RUU yang disahkan menjadi UU No 44/2008 akhir 2008 tidak ada yang rasional, baik dari segi filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Namun, dengan keyakinan akan meraih keuntungan politik besar pada pemilu legislatif, parlemen memaksakan diri mengesahkan RUU ini menjadi UU. Apa yang terjadi pada Pemilu 2009? Partai-partai itu rontok dan tiga besar diduduki partai-partai nasionalis. Bagaimana dengan Partai Demokrat, yang saat itu memegang kendali di Panitia Khusus DPR? Penjelasannya sederhana. Kemenangan Demokrat bukan karena mengusung RUU Pornografi dan kecerdasan melakukan politisasi, tetapi karena faktor ”keberhasilan” kinerja SBY yang berhasil dikomunikasikan kepada publik.

Kesimpulannya, kini politisasi agama tetap menjadi barang tak layak jual dalam kontestasi politik Indonesia. Para politisi di daerah, di tengah otonomi daerah, yang selama ini yakin dengan jalan politisasi agama untuk merengkuh dukungan politik kursi bupati/wali kota dengan memproduksi perda-perda agama, saat ini pun meninggalkan cara ini karena ternyata merugikan. Selain itu, dengan menolak ide kesetaraan, penghapusan diskriminasi, dan mengingkari keragaman hakiki bangsa Indonesia, cara ini jelas antidemokrasi.

HENDARDI Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta