Senin, 29 Juni 2009

DPT Terhakiki Dibanding Satu Putaran

EFFENDI GAZALI

Aneh! Mereka yang digelari kampiun demokrasi di negeri ini—entah dengan mendorong survei opini publik atau memperkenalkan dukungan politik—seolah sengaja melupakan potensi kekacauan daftar pemilih tetap.

Apakah yang terpenting kini adalah menang satu putaran meski tanpa kehormatan?

Pemilu adalah puncak demokratisasi. Dalam komunikasi politik, pemilu merupakan studi mahkota, dan pemilu baru dianggap sah jika semua warga negara terjamin hak asasinya untuk memberikan suara, tahu persis di mana dia terdaftar untuk memilih pada tempat dan waktu yang nyaman bagi dirinya.

Sistem aktif atau pasif

Jika hal-hal mendasar seperti ini diabaikan, lebih baik kita tidak usah melakukan pemilu atau pemilu berlangsung dalam cacat yang terus dicatat sejarah. Betapa tidak, jika daftar pemilih tetap (DPT) tetap bermasalah, sudah dua kali berturut-turut bangsa ini (dipimpin presiden dan KPU- nya) jatuh dalam lubang yang sama! Akibatnya, puluhan juta mereka yang memiliki hak asasi memilih tidak dapat melaksanakannya. Sementara itu, jutaan nama dan nomor induk kependudukan fiktif masih dilaporkan oleh para pemantau (meski terus dibantah persis seperti menjelang pemilu legislatif). Di antaranya, dua juta DPT fiktif yang dilaporkan La Nyalla Mattaliti di Jawa Timur.

Tidak jelas apakah kita pakai sistem pendaftaran pemilih aktif atau pasif. Jika pasif, semua pemilih harus dipastikan terdaftar. Dalam hal ini, pencatatan pengurus RT-RW jauh lebih akurat. Dengan dikeluarkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang harus dicek ulang oleh pemilih potensial, sebetulnya telah digunakan sistem pemilih aktif. Anehnya, jika DPS mengharuskan keaktifan, yang tidak mengecek namanya pada DPS seharusnya dihapus sehingga semua yang fiktif bisa dieliminasi. Apakah sistem campur-campur ini sengaja didesain untuk keuntungan pihak tertentu sehingga perbaikan baru disuarakan untuk 2014?

Sekali lagi, amat aneh jika yang berteriak soal DPT ini hanya media tertentu atau segelintir tokoh. Sementara selebritas pemilu lain sibuk melaporkan hasil survei atau dukungan untuk satu putaran.

Posisi mutakhir

Jika DPT tetap bermasalah, kubu calon presiden mana pun harus melupakan semua strategi komunikasi politik dan pemasaran politiknya! Mau pakai kampanye menyerang atau kunjungan komunitas puluhan kali per hari, semua akan sia-sia.

Sebaliknya, jika DPT relatif jujur, barulah beberapa elemen posisi mutakhir komunikasi politik para capres bisa diuraikan. Kubu SBY-Boediono sedang berusaha menahan turunnya elektabilitas mereka jangan sampai ke bawah angka 51, apalagi diprediksi bisa menginjak 47. Kegemilangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam beberapa debat mampu lebih menyedot perhatian pemilih rasional. Sementara pemilih emosional yang amat terpuaskan oleh iklan-iklan peneguhan emosional SBY-Boediono sedang terganggu isu agama istri Boediono. Jelas, siapa pun yang memainkan isu ini, tetap harus disebut kampanye negatif. Apa pun agama istri Boediono tidak ada hubungannya dengan kemampuan memerintah. Namun, karena pendekatan SBY- Boediono dalam iklan-iklan lebih banyak ke arah peneguhan emosi mereka yang telanjur mencintainya, isu seperti ini tetap merupakan ”pukulan telak”, apalagi jika terus terpelihara sampai hari pemungutan suara.

Kubu JK-Wiranto kian terasa kekuatannya dengan pendekatan komunitas. Memang, heating trend ini sulit tercatat pada survei-survei. Calon pemilih JK sedang dalam posisi menanti peneguhan via pimpinan komunitas agama, budaya, dan pemuka opini lainnya. Pada dua atau tiga hari terakhir, jumlah mereka bisa menggelembung luar biasa, seperti pada Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Pencinta perubahan

Kubu Mega-Pro memiliki pemilih loyal ke Mega dan tren pemilih pencinta perubahan pada Prabowo, termasuk tambahan suara perempuan dan anak-anak muda. Kesulitan Mega-Pro karena serangan udaranya mandek, terhadang para pemilik media. Kini kubu Mega-Pro dan JK-Win menunggu iklan-iklan shaking and winning yang biasa diputar tiga hari menjelang saat terakhir. Hal ini akan membuat pendekatan komunitas JK dan pendekatan popularitas perubahan Prabowo mendorong aspek afektif peminatnya menjadi konatif!

Jika ada kehebatan kubu SBY- Boediono, kekuatan konsultannya yang rutin melakukan survei sehingga tahu persis aneka perubahan tren mutakhir, sesuatu yang seolah dianggap enteng di kedua kubu lain (padahal tindakan itu amat berbahaya)!

Pada sisi lain, kelengahan konsultan yang lebih banyak menjual peneguhan emosional terhadap keberhasilan atau profil capres adalah tren peningkatan apresiasi pada ”kepresidenan yang berstruktur aksi nyata” (Ryfe, Political Communication, 2009), yang justru ada pada pendekatan JK dan Prabowo.

Namun, jika DPT masih seperti pemilu legislatif, lupakan semua komunikasi politik ini, bahkan lupakan pemilu yang terhormat dan bermartabat.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog