Selasa, 30 Juni 2009

Visi Ekonomi para Capres

M. Ikhsan Modjo
Direktur INDEF

Debat calon presiden (capres) pada kamis malam terasa agak berbeda dari dua debat sebelumnya. Suasana yang tercipta terasa lebih cair. Para capres pun berusaha untuk saling berbeda, meski tidak secara konfrontatif. 

Debat kali ini bukan hanya berkutat pada topik kemiskinan dan pengangguran yang diberikan oleh KPU. Akan tetapi juga bersayap pada persoalan-persoalan ekonomi lain. Kemiskinan dan pengangguran sendiri merupakan dua hal yang selama bertahun-tahun telah menjadi isu ekonomi dan politik di Indonesia. Tentunya, mutlak bagi seorang kandidat capres untuk memiliki kiat-kiat khusus untuk mengatasi kedua permasalahan ini.

Secara umum, ketiga capres agaknya sepakat untuk memberikan prioritas lebih pada sektor pertanian ke depan. Hal ini tentu saja adalah tepat. Sekitar 65 persen keluarga miskin hidup di perdesaan, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian. Demikian pula tidak kurang dari 40 persen pekerja berada di sektor pertanian. Sehingga pengatasan masalah kemiskinan dan pengangguran tentu saja harus memprioritaskan sektor ini.

Dalam hal strategi, dua dari tiga capres --Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)-- juga sepakat untuk menjalankan strategi yang bertumpu pada dua hal sekaligus: pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan penduduk miskin. Megawati Soekarnoputri (Mega), dari jawaban yang diberikan, lebih menekankan pada strategi tidak adanya upaya penggusuran paksa (Koran Tempo 26 Juni 2009, hal. A2). 

Strategi SBY dan JK juga adalah benar. Sebab dari kajian empiris tidak pernah terjadi pengurangan angka kemiskinan dalam perekonomian yang tidak tumbuh. Pengurangan kemiskinan hanya dapat terjadi bila terjadi pertumbuhan. Tetapi, pertumbuhan tidaklah cukup. Kue pertumbuhan kerap hanya dinikmati oleh segelintir kalangan, sehingga diperlukan intervensi langsung melalui pemberdayaan. 

Namun, SBY dan JK berbeda dalam target tingkat pertumbuhan dan langkah pemberdayaan masyarakat yang akan ditempuh. SBY mematok angka rata-rata 7 persen, sementara JK memasang angka rata-rata 8 persen. Dalam hal pemberdayaan, SBY akan terus melanjutkan berbagai program-program yang tergabung dalam program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM mandiri) dan pemberdayaan usaha mikro (UMK). Sementara JK, selain akan meneruskan berbagai program ini, juga memberi penekanan lebih pada pemberdayaan usaha usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) bukan hanya mikro.

Penekanan ini terlihat dari janji JK untuk melakukan sebuah program tambahan berupa Kredit MAMPU, yang dalam keterangannya merupakan kredit langsung tanpa jaminan sebesar Rp 3 sampai dengan Rp 20 juta bagi pengusaha UMKM, tanpa melalui mekanisme perbankan. 

Tawaran ini saya kira adalah tepat. Sebab saat ini terdapat tidak kurang dari 50 juta unit usaha UMKM di Indonesia, yang menampung sekitar 100 juta lebih angkatan kerja. Salah satu kendala berusaha mereka adalah akses pada modal. Saat ini meski terdapat banyak tawaran dari perbankan, akan tetapi terdapat syarat-syarat formal yang kerap sulit dipenuhi oleh pengusaha UMKM. 

Bantuan permodalan memungkinkan melakukan ekspansi usaha, dimana dengan ekspansi usaha ini dapat membuka lapangan pekerja lebih banyak. Bila saja 10 persen dari unit usaha UMKM menambah satu pekerja dalam satu tahun, maka akan tercipta lima juta lapangan tenaga kerja baru yang lebih dari cukup untuk mengatasi persoalan pengangguran dalam lima tahun ke depan. 

Perbedaan krusial antar para capres juga terlihat dalam beberapa hal, antara lain dalam persoalan utang, undang undang (UU) investasi, UU ketenagakerjaan, dan tenaga kerja terdidik. Dalam hal utang, Mega dengan tegas mengatakan akan memberhentikan menambahan utang negara. Satu hal yang patut dipuji, mengingat utang dewasa ini lebih menjadi momok ketimbang kebutuhan. Sumber-sumber yang ada dari dalam negeri baik berupa pendapatan pajak atau pendapatan pemerintah dalam bentuk lain sesungguhnya masih mencukupi bila dikelola secara optimal. Sementara dengan berutang, sama saja bangsa mengadaikan sebagian kedaulatannya kepada negara lain. Sebab hampir semua utang diberikan dengan kondisi dan syarat tertentu, meski secara tidak eksplisit dicantumkan.

Dalam hal utang, JK mengatakan akan tetap melakukan bila dipandang perlu, namun harus dibatasi tidak lebih dari 1,3 persen dari pengeluaran. Sementara SBY dengan penuh percaya diri mengatakan akan tetap melanjutkan utang, karena menganggap penambahan utang adalah hal biasa dan dimungkinkan bila pada saat yang sama terjadi pertumbuhan.

Pada UU Investasi, lagi-lagi Mega berbeda dengan SBY dan JK. Mega dengan tegas mengatakan akan merevisi UU ini, karena menganggapnya terlalu liberal. Sementara, SBY dan JK akan tetap melanjutkan, akan tetapi menyempurnakannya dengan berbagai peraturan tambahan. Pada konteks ini, SBY dan JK adalah benar. Sebab liberal atau tidaknya UU ini sangat tergantung pada aturan pelengkapnya berupa peraturan pemerintah (PP) tentang daftar negatif investasi, yang biasanya diperbaharui setiap tahun.

Dalam hal UU investasi JK juga menekankan pentingnya revisi UU tenaga kerja, yang membawa kita pada titik perbedaan yang lain. Di sini , JK dan Mega memiliki pandangan yang sama tentang perlunya revisi UU ketenakerjaan. Sementara, SBY memandang tidak perlu ada perubahan. Akan tetapi cukup mengoptimalkan mekanisme bipartit yang telah ada saat ini. 

JK dan Mega adalah tepat pada masalah ini. Dalam bahasa JK, UU tenaga kerja saat ini tidak disukai baik oleh buruh maupun pengusaha. Para buruh tidak menyukainya karena longgarnya pengaturan tentang outsourcing di dalamnya. Sementara pengusaha memberatkan UU ini karena terdapat aturan tentang pesangon yang sangat memberatkan pekerja ketika perlu dilakukan satu pemutusan hubungan kerja pekerja tetap. 

Jalan keluar yang masuk akal tentu saja adalah merevisi UU ini dengan melibatkan kelompok buruh dan pengusaha. Revisi nantinya haruslah menetapkan aturan yang lebih ketat berupa perlindungan dan hak-hak lebih pada buruh outsourcing. Pada saat yang sama, revisi juga harus mengurangi beban berlebihan yang dipundakkan pada pengusaha dalam hal pesangon. Tanpa adanya revisi pada kedua poin ini, ketidakpuasan kedua belah pihak selama ini akan terus berlanjut, sehingga dampak buruknya akan terus dirasakan pada perekonomian.

Salah satu dampak buruk yang juga merupakan titik perbedaan lain dari para capres adalah dalam hal pengangguran terdidik. Persamaannya hanya pada pentingnya pemberian ketrampian wirausaha. Mega menambahkan perlunya insentif lebih tinggi, sementara SBY dan JK menginginkan adanya perbanyakan pendidikan kejuruan dan pembukaan balai ketrampilan.

Baik pendidikan wirausaha atau peningkatan ketrampilan tidak cukup mengatasi masalah tenaga kerja terdidik, yang dewasa ini sudah mencapai hampir satu juta orang. Peningkatan pengangguran terdidik salah satunya disebabkan beratnya aturan pesangon dan ketentuan upah minimum pada UU ketenagakerjaan. Dua hal ini menyebabkan dunia usaha lebih menyukai merekrut angkatan kerja secara kontrak ketimbang tetap. Ketentuan ini juga merugikan pekerja-pekerja yang minim pengalaman, seperti misalnya tenaga kerja yang baru saja lulus akademi atau kuliah (SMERU, 2001). Sehingga selain pendidikan kewirausahaan dan ketrampilan juga diperlukan revisi atas aturan ini, sebagaimana yang diyakini JK dan Mega.

Begitulah persamaan dan perbedaan visi dan program dari ketiga capres. Substansi penjabaran dari masing-masing kandidat setidaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang strategi dan arah kebijakan mereka. Selebihnya, rakyatlah yang menentukan pilihannya.

Mematahkan Mitos Presiden Suku Jawa

Amich Alhumami
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom

Jawa adalah episentrum politik nasional yang dipenuhi banyak mitos. Salah satu mitos yang masih berkembang adalah presiden Indonesia harus bersuku Jawa. Munculnya mitos ini berasal dari ramalan Joyoboyo, pemimpin bangsa Indonesia berasal dari suku Jawa yang akan membentuk istilah Notonagoro, Sang Penata Negara. Istilah Notonagoro diambil dari akhir suku-kata dari nama-nama sang presiden: Soekar(no), Soehar(to). 

Meskipun nama presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, telah menggugurkan susunan kata Noto(na)goro, namun mitos presiden suku Jawa tetap mengemuka dalam wacana perpolitikan nasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat, mitos ini telah memasung kesadaran dan menumpulkan rasionalitas politik. 

Dalam perspektif antropologis, mitos presiden suku Jawa jelas bersifat etnosentris yang menganggap orang Jawa lebih unggul dibandingkan suku-suku lain di Indonesia. Keyakinan mitologis ini diperkuat oleh tiga fakta sosial: (1) struktur demografi Indonesia mayoritas beretnik Jawa sehingga potensial menentukan keterpilihan seseorang menjadi presiden; (2) dominasi suku Jawa di pentas politik nasional dan di dalam struktur kekuasaan negara; dan (3) pengaruh kebudayaan Jawa yang sangat kuat dalam kehidupan politik kenegaraan. Kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa secara simbolis tercermin pada arsitektur bangunan, penggunaan nama untuk gedung bersejarah, pemakaian idiom bahasa, etiket berperilaku, dan berbagai ritus budaya yang lain.

Setelah menganut sistem demokrasi modern, mengapa mitos presiden suku Jawa tetap bersemayam di dalam kesadaran bangsa Indonesia? Suatu keyakinan mitologis sesungguhnya tak berkaitan dengan situasi ketradisionalan atau kemodernan sebuah bangsa. Mitos politik bisa saja dijumpai di kalangan bangsa-bangsa maju yang menganut sistem demokrasi modern.

Bahkan, mitos politik seringkali dijadikan basis legitimasi untuk mengukuhkan dominasi suatu kelompok etnik dalam praktik perpolitikan. Para ahli antropologi menyebut mitos politik sebagai cultural narrative, untuk menjustifikasi kebermaknaan dan signifikansi sebuah kelompok etnik di pentas perpolitikan nasional. Chiara Bottici menulis, ''Human beings need meaning and significance in order to master the world they live in, and political myths are cultural narratives through which human societies orient themselves, and act and feel about their political world'' (The Anthropology of Political Myth, Cambridge, 2007). 

Dalam perspektif demikian, mitos presiden suku Jawa merupakan bagian dari narasi budaya untuk melanggengkan dominasi politik suku Jawa di pentas nasional dan menempatkan suku-suku lain pada posisi subordinasi belaka.
Mitos politik yang bersifat etnosentris ini jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip meritokrasi, yang semestinya dijadikan sebagai parameter utama dalam menentukan kelayakan seseorang menjadi pemimpin nasional. Merujuk pada prinsip-prinsip meritokrasi, dalam memilih seorang presiden seharusnya didasarkan pada rekam-jejak, keahlian dan kecakapan, integritas, dan moralitas. Semua itu sama sekali tak berasosiasi dengan kelompok etnik tertentu. Maka, dalam Pemilu Presiden tanggal 8 Juli 2009 mendatang, bangsa Indonesia ditantang untuk dapat membebaskan diri dari belenggu mitos politik presiden suku Jawa, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. 

Tiga calon presiden Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla adalah pemimpin nasional yang memiliki keunggulan masing-masing dengan karakter pribadi yang berlainan. Megawati dikenal sebagai sosok pemimpin berprinsip, teguh pendirian, dan berhati tegar--sebuah kualitas pribadi yang penting dan diperlukan sebagai faktor perekat yang efektif untuk menyatupadukan segenap kekuatan bangsa. 

SBY dikenal sebagai figur yang menonjol dalam keanggunan personalitas, taat asas, dan selalu menjaga keteraturan--sebuah karakter pemimpin yang dinilai tepat untuk dapat memandu bangsa bekerja tertib, cermat, terukur, dan sistematis. Jusuf Kalla dikenal sebagai pemimpin autentik, visioner, lincah, dan cekatan yang mampu memecah kebekuan, melenturkan kekakuan aturan, dan berani ambil risiko--sebuah karakter pribadi yang dipandang cocok untuk menjadi pelopor dalam menjemput, bukan mencapai, kemajuan bangsa. 

Rasionalitas politik mengajarkan, untuk memilih presiden kita harus meyakini bahwa yang bersangkutan dapat mengemban amanat rakyat, memikul tanggung jawab politik, mampu menjawab segala rupa tantangan: domestik dan internasional, serta mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. 

Momentum Pemilu Presiden 2009 merupakan saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi mendalam, bahwa yang harus dipertimbangkan dalam memilih seorang presiden adalah political credentials, bukan cultural attributions. Yang pertama ditandai oleh kemahiran, kapasitas, dan kemampuan teknikalitas, yang dipandu oleh pemikiran visioner dalam mengemban tugas-tugas politik pemerintahan dan menunaikan amanat dalam mengelola urusan kenegaraan. Yang kedua ditandai oleh ketiadaan semua kualifikasi teknokratik, dan digantikan oleh kapitalisasi atribut-atribut budaya dengan cara membangkitkan sentimen primordial untuk memobilisasi dukungan politik. 

Dalam perspektif demikian, kemunculan Jusuf Kalla sebagai satu-satunya calon presiden non-Jawa harus dibaca sebagai ikhtiar politik, untuk mematahkan apa yang dalam kajian antropologi disebut cultural determinism. Sebagai tokoh non-Jawa, keikutsertaan Jusuf Kalla dalam kontestasi pemilu presiden merupakan fenomena menarik, terutama untuk menguji apakah bangsa ini mampu berpikir melampaui ikatan primordial dalam menentukan pilihan presiden. 

Tampilnya seorang tokoh politik dalam pemilu presiden yang bukan berasal dari kelompok masyarakat mayoritas dalam sebuah bangsa majemuk, tentu saja menarik untuk dijadikan bahan kajian. Sebagai perbandingan, tak salah bila kita merujuk pengalaman Amerika dalam pemilihan presiden November 2008 lalu. Bangsa Amerika berhasil mematahkan mitos politik White Anglo-Saxon Protestant (WASP) dalam kontestasi presidensial dengan memilih Barack Obama yang berlatar belakang Afro-Amerika--suatu kelompok minoritas di tengah dominasi masyarakat kulit putih, yang dalam batas-batas tertentu terkadang masih memelihara sikap rasialis. 

Dengan meyakini sistem demokrasi modern dan menjunjung prinsip-prinsip meritokrasi, bangsa Indonesia semestinya juga dapat mengubur mitos presiden suku Jawa.
(-) 
Index Koran

Senin, 29 Juni 2009

S BY -BOEDIONO Paduan Kehatian-hatian dan Kecermatan yang Menonjol

Nurlyta Hafiyah, Niniek L. Karim, Bagus Takwin, dan Dicky Pelupessy

Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono adalah orang yang sama-sama mengontrol tingkah lakunya dengan ketat. Sebagai orang yang introvert, Boediono tampil kalem, introspektif, tidak larut dalam situasi emosional, dan selalu memiliki alasan jelas dalam bertingkah laku. Sebagai anak tunggal yang charming, SBY selalu menunjukkan tindak tanduk yang terjaga, sopan, tenang, bahkan bila dihampiri masalah yang bertubi ia mampu menahan emosi. SBY yang terkesan serba formulatif dan tidak spontan dalam bereaksi itu menjadi lebih ”hangat” ketika dipasangkan dengan Boediono yang kalem, yang dapat menunjukkan ekspresi yang lebih apa adanya. Dengan pembawaan yang santun, keduanya membentuk wibawa dan karisma yang membuat publik merasa tenang dan nyaman.

Baik SBY dan Boediono memiliki sifat hati-hati yang menonjol. Boediono adalah orang yang konservatif ketika mendekati masalah, berhitung dan bertindak cermat, serta mempertimbangkan semua aspek. Ia berpegang teguh pada prinsip yang terbukti dapat diandalkan.

SBY berusaha menguasai masalah secara menyeluruh, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mempertimbangkan banyak hal serta melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, SBY sering terkesan pasif dan kurang tegas. Terlepas dari kemungkinan ia menampilkan hal sebaliknya di ruang yang tidak tertangkap publik, masyarakat mendapat kesan bahwa SBY lama dalam mengambil keputusan, terlalu hati-hati, dan ragu-ragu.

Dalam hal ini, ia membutuhkan pasangan yang dapat mendorongnya lebih cepat dan lebih tegas melakukan tindakan. Boediono dengan pembawaannya yang santun, tetapi menekankan prinsip yang pasti dapat mengambil peran dalam hal ini, terutama bila menyangkut keputusan yang berkaitan dengan nasib dan hak hidup masyarakat luas, dengan lebih fokus pada penyelesaian masalah.

SBY pada hakikatnya adalah orang yang sangat hati-hati, sedangkan Boediono adalah orang yang cermat. Dengan struktur kognitif yang kompleks, mereka mampu memahami masalah secara komprehensif, memahami beragam sudut pandang, dan mengintregrasikannya.

Pada SBY, ia mampu mengenali berbagai sudut pandang dan dimensi permasalahan, yang jika ia mau, sebenarnya ia bisa menggunakannya untuk mencari solusi yang tepat. Namun, kecenderungannya menghindari konflik dan terlalu hati-hati membuatnya kurang berani mengambil risiko.

Boediono juga tergolong konservatif dalam mendekati masalah dengan berpegang pada patokan yang pasti dan andal. Ia lebih memilih menghindari kemungkinan mengambil solusi yang salah daripada menerima kemungkinan solusi baru yang benar.

Boediono menghindari spekulasi dan tindakan yang mengandung risiko ekstrem. Ia dapat mengambil keputusan dengan cepat dalam situasi yang diperlukan, tapi lebih terbiasa mempertimbangkan solusi dengan matang. Ciri yang relatif sama ini dapat saling mengisi sehingga bisa menghasilkan kinerja yang solid dan utuh. Namun, dapat juga menjadi sandungan manakala mereka dihadapkan pada pilihan yang mengandung risiko besar. Dalam situasi demikian, Boediono perlu mendukung SBY agar dapat mengambil keputusan yang matang dengan cepat.

Manakala keterbukaan pikiran SBY bertemu dengan keteguhan prinsip Boediono apakah yang mungkin terjadi? Keterbukaan pikiran dalam menyerap dan memahami hal yang berbeda membuat SBY cenderung mempertimbangkan banyak hal.

SBY pada dasarnya tak ingin mengecewakan orang lain dan terbiasa menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum membuat keputusan. SBY mengutamakan nilai sehingga apabila bertentangan dengan logika, nilai akan didahulukan. SBY lebih idealistik, berharap kehidupan di luar dirinya kongruen dengan nilai-nilainya.

Adapun Boediono tampak lebih realistik. Ia berorientasi kepada penyelesaian masalah, dengan berusaha menerapkan teori dalam praktik agar efektif dan efisien. Dengan kerangka pikirnya yang kokoh berdasarkan prinsip yang pasti, ia menalar secara cermat perbandingan untung rugi dan mendasarkan keputusan pada hal-hal yang tinggi tingkat kepastiannya. Boediono menekankan prinsip logika, menilai tinggi efisiensi, dan pengamat yang baik dalam mengambil keputusan.

Masalah mungkin akan muncul dalam hubungan mereka manakala kecenderungan SBY yang lebih mengutamakan nilai daripada logika bertabrakan dengan prinsip logika yang dipegang teguh Boediono.

Untuk mengatasi hal ini, keduanya perlu lebih dinamis dalam berdiskusi. Keduanya memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencapai pemahaman bersama dalam menentukan tindakan yang diambil. Namun, Boediono sebaiknya tidak hanya memberikan saran yang menekankan keajekan prinsip, tetapi juga mengaitkannya dengan nilai yang ingin dicapai lewat keputusan yang hendak diambil. SBY yang pada hakikatnya terbuka terhadap saran akan lebih dapat menerima masukan dengan memerhatikan kongruensi terhadap nilai dalam dirinya.

Keduanya juga sama-sama menonjol dalam hal motif berprestasi. Keduanya cenderung membidik tujuan realistik dan moderat. Sebagai orang yang sama-sama berpikiran moderat, SBY dan Boediono dapat bekerja sama untuk melakukan perbaikan dan menghasilkan kemajuan.

Namun, keduanya cenderung menghindari perubahan radikal dan lebih menitikberatkan pada upaya realistik untuk merespons masalah yang ada di depan mata. Mereka kurang tertarik berandai-andai tentang masa depan untuk melakukan terobosan yang tranformatif.

Fokus keduanya adalah menyelesaikan masalah yang ada, menjaga apa yang ada, dan memperbaiki dalam jangka pendek. Stabilitas ekonomi dan politik, tertib birokrasi, dan pemerintahan yang bersih adalah target pencapaian yang akan dipegang teguh keduanya. Pencapaian target tersebut adalah hal positif dan keharusan.

Namun, tidak bisa dipinggirkan ada banyak masalah bersifat genting dan prinsipiil yang harus segera diatasi. Sebut saja, masalah TKI yang menyangkut keselamatannya, hak asasi mereka, dan harga diri bangsa di mata negara lain; lumpur Lapindo yang menyangkut hak hidup dan masa depan masyarakat Sidoarjo; dan sederet masalah lain yang menuntut penyelesaian berjangka panjang dengan solusi yang visioner dan transformatif.

Oleh karena itu, jika terpilih menjadi presiden (kembali) dan wakil presiden, mereka perlu memberikan perhatian serius pada hal-hal tersebut dengan menelurkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat banyak, serta melakukan pengawasan efektif. Bagi Boediono, hal ini merupakan tantangan besar. Kemampuannya di bidang keuangan diakui banyak pihak dan dunia luar.

Namun, dengan hanya mengkhususkan diri untuk membantu presiden dalam menjaga kestabilan ekonomi negara, bisa mengecilkan arti peran seorang wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Menghadapi krisis dan mengelola ekonomi negara adalah hal-hal yang pernah, bahkan mungkin biasa, ia tangani, sedangkan membantu presiden menyelesaikan beragam masalah negara dalam berbagai bidang dari kesejahteraan, sosial politik, pendidikan, sampai bencana dan sederet masalah nasional lainnya adalah hal yang relatif baru baginya.

Kemampuannya belajar dengan cepat dan sifat realistik yang dimilikinya akan mengarahkannya secara terfokus, memahami dan mengolah hal-hal baru untuk melakukan perbaikan ataupun menemukan solusi yang feasible dan efektif.

Sementara bagi SBY, jika ia terpilih kembali menjadi presiden, tentunya ia telah belajar dari pengalaman sebelumnya. Dengan kompleksitas pikiran yang tinggi dan sistematik, diharapkan ia tahu kekurangan dan kelemahannya yang dipersepsi oleh masyarakat di periode terdahulu yang harus diperbaikinya bila terpilih lagi.

Misalnya, kecenderungan ”pemimpi” yang cepat tergugah oleh ide dan program inovatif, bahkan ketika itu tampak tak masuk akal, seperti blue energy dan padi supertoy. Mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi SBY di masa depan untuk menantang dirinya dengan kebijakan pengembangan teknologi yang dapat dikembangkan para ilmuwan terkemuka.

Ada banyak masalah nasional yang masih menjadi tuntutan masyarakat terhadap SBY. Hampir seluruh partisipan FGD dalam penelitian kami mengharapkan ia sebagai kepala negara melakukan pemihakan kepada rakyat banyak. SBY tidak lagi dituntut untuk sekadar tampil baik, tetapi melakukan kebijakan dan tindakan pengawasan yang riil dan konkret.

Walau kedua kandidat ini adalah orang yang tak perlu diragukan kecerdasannya, bila mereka terpilih, tetap disarankan untuk selalu melibatkan orang visioner yang dapat membantu, baik dalam pencarian alternatif solusi maupun dalam aplikasi eksekusinya, sekaligus membantu menemukan bayangan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Dengan sifat yang terbuka terhadap masukan, mau berubah dengan alasan yang memadai, realistik dan memandang manusia setara, pasangan SBY-Boediono diramalkan bersedia menerima usul-usul kreatif dan produktif demi pemerintahan mereka.

Mereka memerlukan orang yang berani, progresif, cepat bergerak, dan dinamis dengan komitmen tinggi untuk menjadi konseptor penasihat ataupun agen pelaku perbaikan dan perubahan riil di segenap lapisan masyarakat. Dalam hal ini, ada baiknya mereka jeli mengamati kaum muda yang potensial yang dengan energi serta kelincahan berpikirnya bisa memberi masukan berarti juga menjadi pelaksana yang bertenaga segar.

Matang dalam berpikir dan cermat dalam bertindak akan menjadi kekuatan pemerintahan SBY-Boediono. Hati-hati, disiplin, kemauan keras, dan berambisi untuk mendapatkan hasil terbaik meski dengan pencapaian sedikit demi sedikit serta berpegang pada patokan yang pasti dan kukuh dalam prinsip menjadi modal mereka untuk siap menjalani tugas besar ini.

Ditambah kemampuan mengontrol diri, tampilan yang tenang, mereka dapat menjadi pasangan yang diandalkan untuk mengatasi masalah yang bertubi kelak. Wibawa dan karisma yang dimiliki pasangan ini menenangkan dan membuat nyaman masyarakat luas walau untuk menjadi pasangan presiden dan wakil presiden RI di masa kini tidak cukup.

Dengan banyaknya kualitas positif yang dimiliki pasangan dan kesesuaian di antara mereka, terciptanya masyarakat adil makmur, begitu pun kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia, semestinya menjadi niscaya.

Survei Pemilu "Kompas" MENAKAR CAKUPAN PEMILIH SBY-BOEDIONO

BAMBANG SETIAWAN

Dua pencapaian penting dalam pemilihan umum presiden 2009, yaitu elektabilitas dan cakupan wilayah perolehan suara, tampaknya bukan persoalan yang begitu sulit untuk diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Berdasarkan survei lapangan yang dilakukan Litbang Kompas di 33 provinsi pada awal hingga pertengahan Juni, pasangan tersebut diperkirakan akan unggul dengan meraih suara di atas 50 persen. Sementara, jika dilihat dari cakupan wilayah, pasangan ini diperkirakan mampu memenuhi syarat minimal perolehan suara 20 persen di setengah jumlah provinsi yang ada di seluruh Indonesia.

Dengan jumlah calon hanya tiga pasang, syarat yang digariskan Undang- Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak terlalu sulit untuk dilalui. Undang-undang itu menyebutkan, pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono diperkirakan akan meraih suara mayoritas (sekitar 66,6 persen suara—berdasarkan hasil survei dengan metode simulasi pencontrengan). Jika ini terjadi, komponen penilaian berikut akan mengarah pada sebaran suara yang diraih. Seberapa berat bagi pasangan ini melampaui penguasaan wilayah?

Ketika pilpres putaran pertama 2004, dengan hanya meraih 33,57 persen saja, pasangan SBY-Jusuf Kalla waktu itu mampu melewati syarat 20 persen suara di 29 provinsi dan menang di 18 provinsi. Dalam putaran kedua, pasangan SBY-JK juga meraih 28 dari 32 provinsi.

Bagaimana dengan pilpres putaran pertama 8 Juli nanti?

Kalau dilihat dari suara yang diraih oleh koalisi Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saja dalam pemilu legislatif yang lalu, pasangan SBY-Boediono mampu mengumpulkan 20 persen suara di semua provinsi. Meski demikian, soliditas pemilih partai dalam pilpres mendatang akan tetap diuji.

Dari mana datangnya dukungan untuk SBY?

Jika dilihat karakteristik yang melekat pada sosial ekonomi responden, pasangan SBY-Boediono cenderung memiliki dukungan yang luas dari semua segmen. Meski demikian, dukungan paling kuat terhadap pasangan ini terkonsentrasi pada kelompok menengah dengan pengeluaran rata-rata per bulan sekitar Rp 900.000. Kelompok dengan pendidikan antara SD dan SMA juga menjadi pendukung terkuat pasangan ini dibandingkan pasangan calon lainnya.

Berbeda dengan pasangan lainnya, responden pada kelompok pekerjaan yang mendukung pasangan SBY-Boediono lebih dicirikan oleh karakteristik pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga, pegawai swasta, dan kalangan wiraswasta. Kalangan dengan karakteristik seperti ini, dalam survei ini mencapai sekitar 53 persen.

Dukungan juga tampak cukup solid dari partai-partai koalisi pengusung pasangan ini, seperti Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, dan PPP. Gerakan-gerakan politik sejumlah elite partai pengusung yang menyeberang ke kubu lawan tampaknya tidak membuat dukungan pemilih partai terpengaruh. Bahkan, pasangan ini diprediksi mendapat limpahan suara yang cukup signifikan dari partai-partai pengusung lawan politiknya.

Citra SBY sosok yang diusung oleh Partai Demokrat yang lekat dengan massa dari perkotaan tampaknya mulai mencair dengan menguatnya basis pedesaan dalam pilpres kali ini. Suara yang diberikan untuk pasangan SBY- Boediono cenderung merata, baik dari wilayah dengan karakteristik pedesaan maupun perkotaan.

Kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif lalu juga mendorong pemilih kian memantapkan dukungan kepada calon petahana (incumbent) ini. Mereka yang terpengaruh hasil pemilu cenderung memilih pasangan SBY-Boediono. Hal ini ditunjukkan kesepakatan 82,8 persen responden yang menyatakan, SBY sebagai calon dari partai pemenang pemilu yang harusnya menjadi presiden.

Selain itu, unsur primordialitas yang paling berpengaruh besar dari segi modal sosial, yaitu kelompok etnis Jawa dan Sunda serta pemeluk agama Islam yang beraliran Nahdlatul Ulama (NU), juga menjadi karakteristik yang kini melekat pada pasangan SBY-Boediono. Dukungan juga sangat menonjol dari pemilih yang beretnis Aceh. Sebelumnya, wilayah Aceh memang menjadi lumbung suara bagi Partai Demokrat. Di sini perolehan suara dua kali lipat dari rata-rata suara nasional yang dicapai Demokrat.

Selain beberapa unsur di atas, pasangan SBY-Boediono juga diuntungkan oleh dukungan kaum perempuan dan mereka yang berusia muda hingga matang (17-49 tahun).

Sosok militer yang disandang SBY menjadi keuntungan dalam percaturan perebutan kursi presiden saat ini dan terutama bagi mereka yang menginginkan figur presiden dari militer kecenderungan memilih pasangan SBY-Boediono jauh lebih besar daripada terhadap pasangan lainnya.

Citra

Citra SBY terbentuk oleh beberapa perspektif. Tidak hanya kinerja, tetapi publik menilai sosoknya dari bermacam pandangan. Keragaman pandangan itu tampak dalam apa yang dipikirkan publik secara seketika manakala kepadanya disebutkan nama SBY. Kinerja hanyalah salah satu hal yang langsung diingat, tetapi bukan yang utama bagi publik. Kinerja yang dibalut kepribadian, tingkah laku, kemampuannya memimpin, dan sosok fisik menjadi kekuatan yang menyatu dengan popularitasnya.

Aspek kepribadian, seperti ketegasan, keramahan, kejujuran, kesabaran, kesederhanaan, dan kerendahan hati, diungkapkan 20 persen responden. Sementara aspek yang terkait dengan kinerja, seperti pemberantasan KKN, BLT, sekolah gratis, prorakyat, raskin, mengatasi kemiskinan, menciptakan perdamaian, perekonomian, kesehatan gratis, turunnya harga BBM, konversi minyak, dan kesejahteraan PNS, disebutkan oleh 11,7 persen responden.

Pertautan citra dan tren elektabilitas yang melekat pada pasangan SBY-Boediono memang cenderung mengokohkan diri sebagai calon terkuat untuk unggul di putaran pertama dengan mudah, tetapi bukan tidak mungkin terjadi perubahan arus politik dalam beberapa hari ke depan.

(BAMBANG SETIAWAN/Litbang Kompas)

BOEDIONO: INI BAGIAN AKHIR DARI MASA SAYA

Sri Hartati Samhadi/Tri Agung Kristanto

Nama Boediono semula memang tidak diunggulkan, bahkan tak mencuat, dalam percaturan mengenai calon pendamping Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden, 8 Juli 2009. Banyak kalangan masih mengharapkan SBY, begitu Yudhoyono biasa disapa, berdampingan kembali dengan M Jusuf Kalla, yang kini masih menjabat Wakil Presiden.

Sejarah memang tampaknya menggelinding pada mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Boediono disebut SBY sebagai calon terbaik pendampingnya sebagai wapres pada periode mendatang jika terpilih kembali sebagai presiden. Penolakan pun segera bermunculan terhadap Boediono.

”Ini adalah bagian akhir dari masa saya,” katanya dalam percakapan dengan Kompas di kediamannya beberapa waktu lalu.

Kapan Anda tahu diminta sebagai calon wapres?

Sebenarnya sudah tiga-empat minggu ketika saya bertemu dengan beliau dan membahas kemungkinan saya mendampingi beliau dalam pemilu presiden ini. Pertemuan itu dilanjutkan dengan pertemuan lainnya. Jadi, tidak sekali jadi. Finalnya saat Partai Demokrat melakukan tasyakuran pascapemilu legislatif yang lampau.

Pada awalnya, Anda tahu akan ke sana?

Ya enggak. Saya menduga-duga saja karena jarang sekali beliau memanggil saya sendiri, apalagi sebagai Gubernur Bank Indonesia biasanya bersama-sama dengan menteri yang lain. Bukan langsung ditawari. Saya menduga-duga, mesti akan ada sesuatu yang di luar bidang saya yang menyangkut personalia, kabinet, atau yang lain. Saya tak tahu waktu itu secara jelas.

Pada saat pertemuan dengan SBY, Anda terasa akan diminta menjadi sesuatu dan membicarakannya dengan keluarga?

Setelah itu. Bagi saya, keluarga itu nomor satu. Tidak mungkin saya mengambil keputusan tanpa diketahui keluarga. Saya pasti tanyakan kepada istri saya dan itu dipikirkan beberapa waktu. Saya juga berbicara dengan anak-anak setelah beberapa waktu. Anak-anak itu yang selalu saya jadikan konsultan.

Dulu Anda setelah tak lagi menjadi Menko ada keinginan kembali ke kampus. Tetapi, kini tampaknya semakin larut di pemerintahan atau politisi?

Waktu menjadi menteri kan juga politisi dari satu segi karena harus berdiskusi, berdialog, serta bernegosiasi dengan elemen politik dan masyarakat. Ini sesuatu yang lebih intens pasti. Saya tidak berangkat dari nol. Tetapi, kalau dikatakan politisi penuh, saya memang bukan. Saya akan tetap sebagai teknokrat, tetapi akan lebih banyak menangani aspek politik. Saya yakin Pak SBY akan memberikan pedoman.

Berminat masuk politik?

Saya tidak berminat masuk partai politik. Politik akan saya gunakan untuk pekerjaan saya yang utama, apakah nanti di bidang ekonomi atau sosial, seandainya kami terpilih.

Sekarang banyak nonpolitisi masuk ke politik, membangun jaringan. Selama ini kami tak melihat Anda melakukan hal itu....

Saya juga membangun jaringan ke politisi, tetapi kecil-kecilan. Ya, secara informal. Tetapi, secara sistematis, kayaknya memang belum. Politik itu, menurut saya, merupakan soal human approach. Memang ada hal-hal yang mendasar, seperti perbedaan ideologi yang harus dijembatani dengan ideologis lain. Namun, sebenarnya banyak persoalan politik yang bisa diselesaikan dengan human approach, membangun komunikasi dengan saling percaya. Kalau kita bicara jujur, dia tidak merasa saya membicarakan yang lain di belakang dia. Hal seperti inilah. Simpel saja. Setiap hubungan manusia, kalau kita tak pernah ngrasani orang, itu sudah kunci untuk trust. Ada kejujuran untuk bicara di antara kita. Akhirnya, manusia itu kan entitas yang baik. Good entity. Basically, human being is good. Ini mungkin nasib dari segi politik, tetapi so far sampai sekarang dengan politik terbatas yang saya alami, cukup berjalan.

Apakah kesederhanaan Anda itu menjadi kekuatan untuk menaklukan politik?

Ah, tidak juga. Saya menjumpai, kalau saya menggunakan approach dengan saling percaya, kejujuran, dan keterbukaan, kok tetap jalan. Saya tidak tahu apakah itu kekuatan atau bukan. Suatu saat, bisa saja saya melihat ini semua tidak jalan. Bisa saja. Tetapi, sampai sekarang saya masih percaya.

Pernah terpikir akan menjadi calon wapres?

Terus terang tidak. Saya tidak pernah menjadikan jabatan sebagai sasaran atau rencana hidup saya. Itu mengalir saja. Saya tidak tahu, mungkin hidup saya begitu, semua mengalir. Saya ikuti aliran itu. Kadang kala ada arus yang datang kepada saudara. Bukan mencari arus, tetapi datang. Kalau melawan arus, malah tidak baik. Itu pengalaman saya dalam hidup ketika menerima berbagai jabatan itu. Saya menoleh ke belakang, ini juga arus. Kalau saya lawan, nggak tahu.

Sekarang Anda sudah menjadi calon wapres. Apakah terlintas untuk jabatan yang lebih tinggi lagi?

Nggak. saya sudah pada bagian akhir dari masa saya. Saya menyadari itu dan saya menginginkan sebenarnya dari awal, waktu menjadi Menko atau Gubernur BI, yang mudalah yang maju. Tetapi, memang yang muda harus disiapkan. Jangan maju hanya karena muda. Siapkan diri. Saya sangat senang kalau yang muda mengambil alih. Kalau ke depan, saya tidak ada ambisi sama sekali.

Sudahkah ada tawaran untuk menjadi fungsionaris atau kader suatu parpol?

Belum. Kayaknya mereka tahu karena jawaban saya dari awal tidak. Sampai sekarang, saya juga tidak berminat. Kemungkinan besar, saya juga tidak akan ke sana. Catat saja sekarang, tidak ada ambisi sedikit pun. Coba saja nanti saya akan buktikan.

Apakah yang Anda pikirkan, jika terpilih, terutama karena sebelumnya ada resistensi terhadap Anda?

Resistensi bagaimana? Jadi, kalau seandainya kami terpilih dan mendapatkan mandat dari rakyat, tentu kami membentuk kabinet. Kabinet ini diharapkan lebih solid sebagai tim. Sebagai orang kedua, di mana presiden sebagai penanggung jawab akhir, tentu saja tim harus kompak. Artinya, harus bisa bekerja sama. Ini kuncinya, tentu saja harus bisa menampung elemen-elemen politik yang bisa memperkuat. Ini tatanan di kabinet. Kalau kita harus solid, portofolio yang ada di dalamnya satu sama lain harus sinergi. Jangan jalan sendiri. Saya kira itu yang mungkin dipikirkan oleh Presiden, yaitu sebuah kerja tim.

Dengan SBY, ada semacam kontrak politik yang Anda tanda tangani?

Saya tidak menandatangani apa pun. Saya percaya Presiden dan saya percaya bisa merumuskan mana-mana yang menjadi bagian tugas saya dan mana yang harus ditangani langsung oleh Presiden. Kalau didasarkan pada saling percaya dan saling mendukung, tidak perlu ada kontrak tertulis.

Tak adakah kekhawatiran apa yang direncanakan akan jalan jika tak ada kontrak yang ditandatangani?

Apakah yang tertulis di atas kertas sudah pasti jalan? Saya kira lebih mendalam kalau didasarkan pada rasa saling percaya. Saya merasa punya hal itu dengan Presiden.

Dahulu ada keluhan, karena saling percaya, banyak kebijakan yang tidak jalan di tingkat Menko....

Saya kira tidak. Tetapi, insya Allah tidak akan ada persoalan kalau kita saling percaya. Inilah pentingnya. Karena itu, menteri-menteri itu harus benar-benar menjadi komponen dari tim. Karena itu, mereka harus dipilih benar-benar atas dasar kemampuan untuk bekerja sama.

Menurut Anda, apa tantangan ke depan bangsa ini, terutama di bidang ekonomi?

Saya kira tinggal menyiapkan landasan untuk bergerak maju lebih cepat dan menyiapkan landasan agar gerakan maju lebih cepat ini diterjemahkan menjadi manfaat yang bisa lebih dirasakan rakyat. Nanti detailnya setelah kabinet terbentuk, tentu lebih konkret. Tetapi, intinya, kita harus menyiapkan mana-mana dari kendala terhadap percepatan pembangunan ini yang harus ditangani, apakah itu di bidang infrastruktur, iklim usaha, atau yang lain, akan kita lihat lagi simpul-simpul strategis. Jika itu kita tangani, perekonomian akan maju lebih cepat lagi.

Kedua, oke perekonomian bisa naik lebih cepat, tetapi muaranya kan pada kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan bagus, inflasi bagus, tetapi apa manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat? Saya kira nanti kita akan tetap meningkatkan program-program yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat. Sekarang ini sudah ada beberapa program itu, tetapi akan kita lihat lagi. Dengan demikian, akan nyambung antara program pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat.

Tentu saja, melandasi itu semua, seperti dalam pidato saya, pemerintahan yang bersih itu adalah kunci di mana-mana. Apa pun yang kita lakukan untuk dua hal itu, pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat, adalah pemerintahan yang bersih untuk bisa melaksanakan amanat rakyat dalam kenyataan di lapangan. Ini memang memerlukan birokrasi yang baik dan sebagainya.

Boediono TERPANGGIL MENERTIBKAN DUNIA

BAGUS TAKWIN, NINIEK L. KARIM, NURLYTA HAFIYAH, DAN DICKY PELUPESSY

Jika kebanyakan orang ”mengharap burung terbang, burung di tangan dilepaskan”, Boediono lebih suka menjaga burung di tangan, menangkap burung terbang.

Kecenderungan mantan Menteri Keuangan ini mengindikasikan adanya sifat rasional dalam terminologi ekonomi, menalar secara cermat perbandingan untung rugi, dipadu dengan sifat realistik yang mendasarkan keputusan pada hal yang tinggi tingkat kepastiannya.

Ia terlebih dahulu memfokuskan diri mengurus apa yang ada dan mengelola sumber daya yang sudah jelas dan pasti dimiliki, baru kemudian menambah aset baru. Dengan sifat seperti itu, ia mampu menjadi penjaga ekonomi yang tangguh, hemat, dan penuh perhitungan.

Tampaknya, prinsip pengelolaan keuangan, mengelola pengeluaran sebagai keutamaan, dipegang teguh Boediono. Ia tak segan memangkas fasilitas dan biaya yang tak terlalu relevan dengan peningkatan kinerja pemerintah.

Tampak jelas di sini bahwa yang dipegang Boediono: yang sudah pasti adalah pengeluaran, maka itu yang harus dikelola lebih dahulu, sedangkan pemasukan tidaklah pasti. Ia menyatakan diri sebagai orang yang berprinsip ”...jangan mengambil apa yang bukan haknya”. Boediono konsisten dan konsekuen dalam pengelolaan ekonomi. Pengetahuan yang ia ajarkan kepada mahasiswa diterapkannya dalam praktik.

Kemampuan Boediono bertahan menghadapi krisis sudah ditunjukkannya dalam kesempatan mengelola ekonomi secara efisien, baik ketika ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1998- 1999), Menteri Keuangan (2001- 2004), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2005- 2008), dan Gubernur Bank Indonesia (2008-2009).

Dalam kehidupan pribadi, ia menunjukkan diri sebagai orang yang hemat dan cermat berhitung. Pria bergelar doktor ekonomi bisnis dari Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat, ini tampaknya menerapkan juga prinsip dan perhitungan ekonomi dalam menata keuangan rumah tangganya. Kehidupan sederhana dijalaninya, bahkan setelah ia beberapa kali menduduki jabatan menteri. Teman dan sebagian besar orang yang pernah berinteraksi dengannya menangkap kesan Boediono adalah orang yang rendah hati, ugahari, dan bersahaja.

Beberapa dari mereka bercerita, rumah pribadi Boediono di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, tergolong sederhana. Kursi di rumah itu sudah banyak yang lusuh. Walau, ternyata, berdasarkan catatan pemeriksaan kekayaan calon pejabat, ia punya kekayaan Rp 22,06 miliar.

Sifat realistik dan mengarah tujuan yang moderat sering ditampilkannya. Ia kini ikut bersaing dalam Pemilu 2009 di Indonesia sebagai cawapres mendampingi SBY. Di sini, sifat konservatif pun tampak pada diri Boediono yang diakuinya ketika ia menetapkan sasaran pertumbuhan sekitar 7 persen untuk Indonesia pada tahun 2014. Menurut dia, pertimbangan yang konservatif perlu karena setiap yang diputuskan menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia. Caranya mendekati masalah memang terkesan cenderung konservatif. Ia selalu menjaga yang dimiliki, berhitung bertindak cermat, hati-hati, dan mempertimbangkan semua aspek.

Boediono memang menampilkan ciri-ciri dari orang yang berpegang pada prinsip yang sudah terbukti dapat ia andalkan. Ia tidak suka spekulasi, kurang tertarik pada yang imajinatif.

Meski semakin banyak orang yang kenal Boediono dan kini ia menjadi salah satu orang Indonesia yang banyak dibicarakan, latar belakang keluarga dan kehidupan pribadinya jarang diungkap ke publik. Sulit mencari informasi tentang sejarah masa kecil, seluk-beluk kehidupan keluarganya.

Boediono tercatat lahir pada 25 Februari 1943 di Blitar, Jawa Timur, dari pasangan suami istri Ahmad Siswa Sarjono dan Samilah. Teman-temannya mengenalnya sebagai orang sederhana lulusan SMAN I Blitar, cerdas, suka nonton film koboi, dan pendiam meski ia juga cepat tanggap terhadap humor. Tak ada informasi lebih rinci. Ia tampak tidak merasa penting untuk berihwal tentang kehidupan pribadinya.

Media massa pun lebih banyak membahas sepak terjang Boediono dalam perannya sebagai pejabat pemerintah. Bahkan, aktivitasnya sebagai dosen pun jarang diberitakan. Ia bukan orang yang merasa nikmat untuk bercerita perihal pribadinya, ia dikenal sebagai orang yang jarang tampil di hadapan publik.

Aspek Kognitif ”Trait” (sifat), ”Belief” (kepercayaan), Kompleksitas Pikiran, dan Pola Penalaran

Sedikitnya informasi tentang kehidupan pribadi Boediono yang mengindikasikan dirinya sebagai orang yang cenderung tertutup sejalan gambaran aspek emosionalnya. Ia tampak sangat mengontrol tingkah lakunya, kalem, dan introspektif.

Ia bukan tipe orang yang dapat memanipulasi ekspresi emosi, bukan juga jenis orang yang dapat menampilkan ekspresi emosi yang dibuat-buat hanya untuk sekadar menyenangkan orang lain. Ekspresi emosinya apa adanya. Wajar bila tertangkap oleh masyarakat sebagai ekspresi ketulusan sebagaimana muncul dalam hasil FGD maupun survei (n> 2198) dalam penelitian ini.

Boediono memang tidak mudah terusik secara emosional dan hanya menggunakan sedikit energi untuk hal yang berkaitan dengan emosi. Namun, ia dapat menanggapi rangsang emosional secara hangat meski dengan ekspresi yang cenderung kurang bervariasi alias cenderung sama.

Dalam tipologi temperamen yang digunakan Wilhelm Wundt dan dilengkapi Eysenck, ciri tersebut termasuk tipe orang plegmatik, yaitu orang yang tidak suka larut dalam situasi emosional, selalu memiliki alasan yang jelas untuk tiap tingkah laku, termasuk ekspresi yang ia tampilkan, berpegang pada prinsip, dan berkemauan keras.

Dari kecenderungan lebih memanfaatkan dan mengolah aset-aset yang dimiliki ketimbang mencari tambahan aset lewat bantuan atau pinjaman dari pihak luar serta kecenderungan menstabilkan obyek-obyek di luar diri, Boediono dapat digolongkan tipe introvert dalam tipologi Carl Gustav Jung (1875-1961).

Tipe orang yang lebih suka menggunakan energi psikis di dalam diri, terus-menerus berusaha mereduksi gairah dan hasrat terhadap obyek di luar diri, dan lebih berusaha mengendalikannya. Ia bukannya meragukan apa yang ada di luar dirinya, tetapi ia akan memilih penentu subyektif sebagai patokan dan standar untuk menata obyek di lingkungannya.

Sebagai contoh, saat menghadapi krisis, ia tidak menolak atau mengabaikan krisis itu, tetapi Boediono berusaha mencari dan menentukan prinsip yang menurutnya dapat mengendalikan obyek terkait krisis itu.

Prinsip ia pilih dan digunakan sebagai kekuatan yang ia yakini, meski kadang keberatan diajukan orang kepadanya. Sumber prinsip tersebut bisa dari teori atau pengalaman. Dengan prinsip itu sebagai faktor pengarah, ia memaknai dan mengendalikan lingkungannya secara khas. Pemilihan penggunaan prinsip dengan alur seperti itu disebut sebagai penentu subyektif.

Orang yang introvert seperti Boediono sulit dikategorisasi menggunakan kategori yang umum ada di masyarakat. Tipe ini cenderung memanfaatkan kerangka pikir yang unik. Ciri yang menonjol pada orang introvert tampak pada diri Boediono, seperti mementingkan stabilitas, pendiam, tertutup, tak mudah dipengaruhi, dan pemalu.

Dengan introvert-nya dan kecenderungan memanfaatkan berpikir sebagai fungsi psikis yang dominan, Boediono cenderung berespons terhadap obyek-obyek secara abstrak. Ia berusaha menemukan kesamaan dari beragam gejala dan mengelompokkannya berdasarkan kategori-kategori tertentu agar masalah menjadi lebih sederhana dan mudah diselesaikan.

Abstraksi semacam itu adalah abstraksi yang terjadi dalam ilmu pengetahuan dan dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa Boediono adalah orang yang percaya kepada ilmu pengetahuan.

Sifat ini tertangkap oleh masyarakat dalam hasil FGD maupun survei (n> 2198) dan didukung amatan kelompok psikolog. Parsimony atau kesederhanaan yang menjadi salah satu prinsip penting dalam ilmu pengetahuan tampaknya juga menjadi prinsip guru besar Ekonomi UGM ini. Sejalan dengan asumsi ilmu pengetahuan yang memandang alam semesta bekerja mengikuti mekanisme tertentu, Boediono juga cenderung memandang segala sesuatu, termasuk ekonomi, diatur oleh mekanismenya masing-masing.

Sebagai orang yang mementingkan stabilitas dan percaya ada mekanisme yang mengatur segala sesuatu, Boediono cenderung percaya bahwa kehidupan politik merupakan ajang untuk membangun harmoni. Kata dan frase dalam kalimat yang diutarakannya mengimplikasi usaha pencapaian harmoni. Meredam, menyesuaikan, menjaga stabilitas, membaik, mengembalikan kepercayaan, membuka diri untuk perbaikan, dan mohon maaf menampilkan indikasi kepercayaan itu. Ini juga menandai kecenderungannya menghindari konflik, menjaga segalanya berjalan stabil, termasuk juga menjaga perasaan orang lain.

Meskipun menyukai cara hidup sederhana, selalu berusaha menyederhanakan masalah yang kompleks, dan menyukai stabilitas, pikiran Boediono menunjukkan struktur kognitif yang kompleks. Ia cenderung melihat permasalahan dari berbagai dan beragam sudut pandang dan mampu mengintegrasikannya untuk menyelesaikan masalah. Justru tingginya kompleksitas pikiran ini yang membuatnya dapat menemukan pola-pola umum dari beragam gejala yang sepertinya tak beraturan. Dengan daya abstraksi yang tinggi, didasari prinsip yang dipegang, ia menyederhanakan hal kompleks.

Motif sosial

Indikasi motif berprestasi Boediono sangat menonjol, jauh lebih tinggi daripada kebutuhannya berkuasa dan membina hubungan sosial. Ia cenderung membidik tujuan realistik dan moderat.

Motif berprestasi ini sejalan dengan sifat hati-hati, disiplin, berkemauan keras, berambisi memperoleh hasil terbaik, mementingkan pencapaian kemajuan meski sedikit demi sedikit, berpegang pada patokan yang pasti dan andal, serta suka bekerja menggunakan prinsip yang jelas dan teruji efektivitasnya dalam praktik.

Sifat ini membuatnya menjadi konservatif dan kurang tertarik untuk berimajinasi. Ia bukan jenis orang yang suka mencari-cari ide baru dan mencoba-coba cara baru dalam menyelesaikan masalah. Ia tidak suka bertaruh. Implikasinya, Boediono kurang tertarik pada pemikiran atau ide transformatif-revolusioner.

Boediono bukan jenis orang yang spontan, ia tidak terburu-buru dalam mengambil tindakan. Sebelum menentukan keputusan tentang suatu masalah, ia akan mempertimbangkan berbagai hal yang relevan. Dalam proses pencapaian tujuan, ia akan memanfaatkan berbagai sumber daya dan bantuan, mengatasi dan menghindari hambatan, serta menggunakan tujuan perantara yang mendekatkannya kepada hasil terbaik.

Untuk menjaga dan menjamin kemajuan dalam pencapaian tujuan, Boediono menghindari spekulasi dan tindakan yang mengandung risiko ekstrem. Jika pun keputusan yang diambil mengandung risiko, itu adalah risiko moderat. Tetapi, Boediono bukan orang yang mau ”mencari gampangnya”, bukan juga orang yang ingin ”main aman” atau safety player. Ia tetap menggunakan prinsip yang ia percayai dan yang dianutnya dalam penyelesaian tiap masalah.

Orang yang digerakkan oleh motif berprestasi berorientasi pada penyelesaian masalah dan pencapaian tujuan. Ciri ini menonjol pada diri Boediono. Yang terpenting, menurut dia, adalah langkah nyata untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dari sini dapat dipahami, Boediono adalah seorang teknokrat yang beorientasi pada penerapan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.

Kepribadian dan Kepemimpinan Boediono

Sesuai dengan sifat introvert-nya, dalam memimpin pun Boediono cenderung berusaha menata yang dipimpinnya dan mengelola sumber daya menggunakan prinsip yang dipegang secara kukuh. Ia dapat menjadi rujukan bagi orang yang dipimpinnya karena memiliki kerangka pikir dan tindakan yang jelas untuk menangani masalah yang dihadapi. Arahannya yang jelas memudahkan orang yang dipimpin untuk menampilkan tindakan yang dibutuhkan. Pengalaman sebagai dosen menguatkan kemampuan ini.

Penguasaan bidang yang digeluti Boediono membuat orang segan kepadanya. Ia dapat diandalkan untuk menyelesaikan tugas yang diembannya. Disiplin dan ketenangannya mendukung aktivitas pencapaian tujuan.

Dalam masa krisis, orang seperti Boediono dapat mengendalikan situasi dan mencegah berlarutnya krisis. Kemampuan abstraksi yang tinggi memungkinkannya melihat permasalahan secara menyeluruh dan menemukan titik-titik utama dari permasalahan. Dengan kemampuan itu, ia dapat menemukan solusi-solusi yang efektif dan efisien.

Kemampuannya menstabilkan keadaan menjadi kekuatan utama yang mendukung kepemimpinannya. Keputusan yang moderat, menghindari spekulasi dan alternatif solusi ekstrem memungkinkan situasi tetap stabil, lalu selangkah demi selangkah mencapai kemajuan.

Boediono dapat menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, menjaga integritas diri, dan menjadi teladan bagi bawahannya. Ia akan merasa terpanggil untuk ikut menata situasi yang tak stabil. Ia juga dapat berperan sebagai guru bagi bawahannya. Guru besar yang hampir tak pernah bolos mengajar ini mengesankan dirinya sebagai resi yang merasa terpanggil untuk turut menertibkan dunia.

S BY -BOEDIONO Paduan Kehatian-hatian dan Kecermatan yang Menonjol

Nurlyta Hafiyah, Niniek L. Karim, Bagus Takwin, dan Dicky Pelupessy

Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono adalah orang yang sama-sama mengontrol tingkah lakunya dengan ketat. Sebagai orang yang introvert, Boediono tampil kalem, introspektif, tidak larut dalam situasi emosional, dan selalu memiliki alasan jelas dalam bertingkah laku. Sebagai anak tunggal yang charming, SBY selalu menunjukkan tindak tanduk yang terjaga, sopan, tenang, bahkan bila dihampiri masalah yang bertubi ia mampu menahan emosi. SBY yang terkesan serba formulatif dan tidak spontan dalam bereaksi itu menjadi lebih ”hangat” ketika dipasangkan dengan Boediono yang kalem, yang dapat menunjukkan ekspresi yang lebih apa adanya. Dengan pembawaan yang santun, keduanya membentuk wibawa dan karisma yang membuat publik merasa tenang dan nyaman.

Baik SBY dan Boediono memiliki sifat hati-hati yang menonjol. Boediono adalah orang yang konservatif ketika mendekati masalah, berhitung dan bertindak cermat, serta mempertimbangkan semua aspek. Ia berpegang teguh pada prinsip yang terbukti dapat diandalkan.

SBY berusaha menguasai masalah secara menyeluruh, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mempertimbangkan banyak hal serta melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, SBY sering terkesan pasif dan kurang tegas. Terlepas dari kemungkinan ia menampilkan hal sebaliknya di ruang yang tidak tertangkap publik, masyarakat mendapat kesan bahwa SBY lama dalam mengambil keputusan, terlalu hati-hati, dan ragu-ragu.

Dalam hal ini, ia membutuhkan pasangan yang dapat mendorongnya lebih cepat dan lebih tegas melakukan tindakan. Boediono dengan pembawaannya yang santun, tetapi menekankan prinsip yang pasti dapat mengambil peran dalam hal ini, terutama bila menyangkut keputusan yang berkaitan dengan nasib dan hak hidup masyarakat luas, dengan lebih fokus pada penyelesaian masalah.

SBY pada hakikatnya adalah orang yang sangat hati-hati, sedangkan Boediono adalah orang yang cermat. Dengan struktur kognitif yang kompleks, mereka mampu memahami masalah secara komprehensif, memahami beragam sudut pandang, dan mengintregrasikannya.

Pada SBY, ia mampu mengenali berbagai sudut pandang dan dimensi permasalahan, yang jika ia mau, sebenarnya ia bisa menggunakannya untuk mencari solusi yang tepat. Namun, kecenderungannya menghindari konflik dan terlalu hati-hati membuatnya kurang berani mengambil risiko.

Boediono juga tergolong konservatif dalam mendekati masalah dengan berpegang pada patokan yang pasti dan andal. Ia lebih memilih menghindari kemungkinan mengambil solusi yang salah daripada menerima kemungkinan solusi baru yang benar.

Boediono menghindari spekulasi dan tindakan yang mengandung risiko ekstrem. Ia dapat mengambil keputusan dengan cepat dalam situasi yang diperlukan, tapi lebih terbiasa mempertimbangkan solusi dengan matang. Ciri yang relatif sama ini dapat saling mengisi sehingga bisa menghasilkan kinerja yang solid dan utuh. Namun, dapat juga menjadi sandungan manakala mereka dihadapkan pada pilihan yang mengandung risiko besar. Dalam situasi demikian, Boediono perlu mendukung SBY agar dapat mengambil keputusan yang matang dengan cepat.

Manakala keterbukaan pikiran SBY bertemu dengan keteguhan prinsip Boediono apakah yang mungkin terjadi? Keterbukaan pikiran dalam menyerap dan memahami hal yang berbeda membuat SBY cenderung mempertimbangkan banyak hal.

SBY pada dasarnya tak ingin mengecewakan orang lain dan terbiasa menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum membuat keputusan. SBY mengutamakan nilai sehingga apabila bertentangan dengan logika, nilai akan didahulukan. SBY lebih idealistik, berharap kehidupan di luar dirinya kongruen dengan nilai-nilainya.

Adapun Boediono tampak lebih realistik. Ia berorientasi kepada penyelesaian masalah, dengan berusaha menerapkan teori dalam praktik agar efektif dan efisien. Dengan kerangka pikirnya yang kokoh berdasarkan prinsip yang pasti, ia menalar secara cermat perbandingan untung rugi dan mendasarkan keputusan pada hal-hal yang tinggi tingkat kepastiannya. Boediono menekankan prinsip logika, menilai tinggi efisiensi, dan pengamat yang baik dalam mengambil keputusan.

Masalah mungkin akan muncul dalam hubungan mereka manakala kecenderungan SBY yang lebih mengutamakan nilai daripada logika bertabrakan dengan prinsip logika yang dipegang teguh Boediono.

Untuk mengatasi hal ini, keduanya perlu lebih dinamis dalam berdiskusi. Keduanya memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencapai pemahaman bersama dalam menentukan tindakan yang diambil. Namun, Boediono sebaiknya tidak hanya memberikan saran yang menekankan keajekan prinsip, tetapi juga mengaitkannya dengan nilai yang ingin dicapai lewat keputusan yang hendak diambil. SBY yang pada hakikatnya terbuka terhadap saran akan lebih dapat menerima masukan dengan memerhatikan kongruensi terhadap nilai dalam dirinya.

Keduanya juga sama-sama menonjol dalam hal motif berprestasi. Keduanya cenderung membidik tujuan realistik dan moderat. Sebagai orang yang sama-sama berpikiran moderat, SBY dan Boediono dapat bekerja sama untuk melakukan perbaikan dan menghasilkan kemajuan.

Namun, keduanya cenderung menghindari perubahan radikal dan lebih menitikberatkan pada upaya realistik untuk merespons masalah yang ada di depan mata. Mereka kurang tertarik berandai-andai tentang masa depan untuk melakukan terobosan yang tranformatif.

Fokus keduanya adalah menyelesaikan masalah yang ada, menjaga apa yang ada, dan memperbaiki dalam jangka pendek. Stabilitas ekonomi dan politik, tertib birokrasi, dan pemerintahan yang bersih adalah target pencapaian yang akan dipegang teguh keduanya. Pencapaian target tersebut adalah hal positif dan keharusan.

Namun, tidak bisa dipinggirkan ada banyak masalah bersifat genting dan prinsipiil yang harus segera diatasi. Sebut saja, masalah TKI yang menyangkut keselamatannya, hak asasi mereka, dan harga diri bangsa di mata negara lain; lumpur Lapindo yang menyangkut hak hidup dan masa depan masyarakat Sidoarjo; dan sederet masalah lain yang menuntut penyelesaian berjangka panjang dengan solusi yang visioner dan transformatif.

Oleh karena itu, jika terpilih menjadi presiden (kembali) dan wakil presiden, mereka perlu memberikan perhatian serius pada hal-hal tersebut dengan menelurkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat banyak, serta melakukan pengawasan efektif. Bagi Boediono, hal ini merupakan tantangan besar. Kemampuannya di bidang keuangan diakui banyak pihak dan dunia luar.

Namun, dengan hanya mengkhususkan diri untuk membantu presiden dalam menjaga kestabilan ekonomi negara, bisa mengecilkan arti peran seorang wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Menghadapi krisis dan mengelola ekonomi negara adalah hal-hal yang pernah, bahkan mungkin biasa, ia tangani, sedangkan membantu presiden menyelesaikan beragam masalah negara dalam berbagai bidang dari kesejahteraan, sosial politik, pendidikan, sampai bencana dan sederet masalah nasional lainnya adalah hal yang relatif baru baginya.

Kemampuannya belajar dengan cepat dan sifat realistik yang dimilikinya akan mengarahkannya secara terfokus, memahami dan mengolah hal-hal baru untuk melakukan perbaikan ataupun menemukan solusi yang feasible dan efektif.

Sementara bagi SBY, jika ia terpilih kembali menjadi presiden, tentunya ia telah belajar dari pengalaman sebelumnya. Dengan kompleksitas pikiran yang tinggi dan sistematik, diharapkan ia tahu kekurangan dan kelemahannya yang dipersepsi oleh masyarakat di periode terdahulu yang harus diperbaikinya bila terpilih lagi.

Misalnya, kecenderungan ”pemimpi” yang cepat tergugah oleh ide dan program inovatif, bahkan ketika itu tampak tak masuk akal, seperti blue energy dan padi supertoy. Mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi SBY di masa depan untuk menantang dirinya dengan kebijakan pengembangan teknologi yang dapat dikembangkan para ilmuwan terkemuka.

Ada banyak masalah nasional yang masih menjadi tuntutan masyarakat terhadap SBY. Hampir seluruh partisipan FGD dalam penelitian kami mengharapkan ia sebagai kepala negara melakukan pemihakan kepada rakyat banyak. SBY tidak lagi dituntut untuk sekadar tampil baik, tetapi melakukan kebijakan dan tindakan pengawasan yang riil dan konkret.

Walau kedua kandidat ini adalah orang yang tak perlu diragukan kecerdasannya, bila mereka terpilih, tetap disarankan untuk selalu melibatkan orang visioner yang dapat membantu, baik dalam pencarian alternatif solusi maupun dalam aplikasi eksekusinya, sekaligus membantu menemukan bayangan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Dengan sifat yang terbuka terhadap masukan, mau berubah dengan alasan yang memadai, realistik dan memandang manusia setara, pasangan SBY-Boediono diramalkan bersedia menerima usul-usul kreatif dan produktif demi pemerintahan mereka.

Mereka memerlukan orang yang berani, progresif, cepat bergerak, dan dinamis dengan komitmen tinggi untuk menjadi konseptor penasihat ataupun agen pelaku perbaikan dan perubahan riil di segenap lapisan masyarakat. Dalam hal ini, ada baiknya mereka jeli mengamati kaum muda yang potensial yang dengan energi serta kelincahan berpikirnya bisa memberi masukan berarti juga menjadi pelaksana yang bertenaga segar.

Matang dalam berpikir dan cermat dalam bertindak akan menjadi kekuatan pemerintahan SBY-Boediono. Hati-hati, disiplin, kemauan keras, dan berambisi untuk mendapatkan hasil terbaik meski dengan pencapaian sedikit demi sedikit serta berpegang pada patokan yang pasti dan kukuh dalam prinsip menjadi modal mereka untuk siap menjalani tugas besar ini.

Ditambah kemampuan mengontrol diri, tampilan yang tenang, mereka dapat menjadi pasangan yang diandalkan untuk mengatasi masalah yang bertubi kelak. Wibawa dan karisma yang dimiliki pasangan ini menenangkan dan membuat nyaman masyarakat luas walau untuk menjadi pasangan presiden dan wakil presiden RI di masa kini tidak cukup.

Dengan banyaknya kualitas positif yang dimiliki pasangan dan kesesuaian di antara mereka, terciptanya masyarakat adil makmur, begitu pun kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia, semestinya menjadi niscaya.

SBY INGIN BANGSA MAKIN RASIONAL

J Osdar/Rikard Bagun

Angin dingin dari Benua Australia bertiup semilir masuk ke sebuah kamar hotel di Pantai Kupang, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, Minggu (14/6) sekitar pukul 18.30 waktu setempat. Di kamar itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima dua wartawan Kompas untuk wawancara khusus. Hari itu, Yudhoyono yang punya nama panggilan sehari-hari SBY baru tiba di Kupang setelah mengadakan perjalanan kampanye dari Malang (Jawa Timur), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Denpasar (Bali).

Setiba di Kupang, SBY langsung mengadakan perjalanan keliling menyapa rakyat yang ada di dalam pasar tradisional Naikoten. Ia bersama istri, Ny Ani Herawati Yudhoyono, putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), dan rombongan.

Kemudian, calon presiden yang berpasangan dengan calon wakil presiden Boediono ini berjumpa dengan massa pendukungnya di gedung olahraga Flobamora. Dalam wawancara ini, SBY, didampingi stafnya, yakni Andi Mallarangeng, Sardan Marbun, Denny Indrayana, dan Dino Patti Djalal.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden RI keenam dan presiden pertama yang dipilih langsung rakyat. Bersama Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakilnya, SBY menang dalam pemilihan langsung pada Pemilu 2004, mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat presiden. SBY-JK saat itu memperoleh 60 persen suara.

Berikut petikan wawancara dengan SBY selama satu jam lima belas menit yang diselingi dengan pembicaraan ringan lainnya.

Bila terpilih kembali menjadi presiden 2009-2014, itu merupakan periode terakhir Anda menjadi presiden. Warisan apa yang akan Anda berikan untuk bangsa ini?

Dua hal yang selama lima tahun saya memimpin ini pekerjaan rumah utama ke depan kalau kita rampungkan, dan itu disebut orang sebagai pewarisan, adalah good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dan demokrasi.

Mengenai pemerintahan yang baik dalam arti luas. Pembangunan, pengelolaan sumber daya, percepatan berbagai pembangunan tidak terwujud dengan baik bila tidak ada good governance atau pemerintahan yang baik. Jadi, good governance, menurut saya, landasan dari roda pemerintahan, penyelenggaraan kehidupan bernegara

Yang kedua, demokrasi. Bukan hanya harus selamat, tetapi juga harus berlanjut. Demokrasi harus betul-betul substantif, tidak hanya prosedural. Demokrasi itu akhirnya menjadi suatu jalan, suatu lingkungan utuh yang akhirnya kita dalam hidup berbangsa dan bernegara itu betul-betul merasa tenteram.

Reformasi memang era demokratisasi. Akan tetapi, pematangan demokrasi belum rampung. Konsolidasi kita belum rampung. Bila good governance dan demokrasi bergandengan tangan, saya yakin mimpi kita pada awal abad ke 21, barangkali 20-30 tahun dari sekarang, Indonesia menjadi negara maju. Jadi, saya mengangkat dua hal ini.

Citra Indonesia di luar negeri makin meningkat. Langkah apa lagi yang akan diambil untuk membawa Indonesia semakin berkibar di percaturan dunia.

Dulu kita bukan hanya menjadi pelaku aktif di ASEAN. Dulu kita menjadi saudara tua di ASEAN. Kemudian, kita mulai tersingkirkan karena masalah dalam negeri kita. Indonesia tidak mendapat penglihatan yang baik. Sekarang kita mulai lebih aktif lagi sebagai salah satu pendiri ASEAN. Kita tidak hanya sebagai pelaku aktif. PBB meletakkan sebagai mitra utama dalam banyak hal, contohnya dalam soal perubahan iklim. Kita dapat tempat terhormat.

Akan tetapi, yang saya hendak katakan, kita dianggap punya pendekatan moderat, tidak ikut berkonfrontasi, tidak memukul genderang perang. Sekarang ini kita nyaman berkomunikasi dengan siapa pun, dengan negara-negara Islam, juga dengan negara-negara barat. Kita juga bermitra dengan baik dengan negara-negara Asia, apalagi dengan China dan Jepang.

Hubungan baik itu termasuk hubungan pribadi saya dengan para pemimpin negara itu. Mereka merasa dekat dengan Indonesia. Yang kita kibarkan adalah wajah Indonesia yang bersahabat, damai tanpa mengobarkan rasa permusuhan dengan negara-negara lain, Indonesia bukan negara Islam. Akan tetapi, oleh dunia dianggap negara Islam moderat yang bisa hidup damai dan bergandengan dengan negara-negara lain. Inilah yang dilihat mereka....

Bagaimana ekonomi yang Anda bangun untuk negara ini ?

Tentang ekonomi, saya tetap berideologi, pertumbuhan disertai pemerataan. Dari Orde Baru, kita belajar tentang hal yang terlalu mengejar pertumbuhan. Di dunia mana pun, kalau yang dikejar hanya pertumbuhan, itu menimbulkan masalah sosial yang bisa mengganggu pertumbuhan. Maka dari awal, saya punya ideologi atau kebijakan dasar, selalu pertumbuhan disertai pemerataan. Apa realisasinya? Yakni, strategi tiga jalur, untuk pertumbuhan, untuk lapangan kerja, dan untuk kaum miskin. Ini harus dijaga secara berimbang. Pertumbuhan punya porsi besar. Akan tetapi, disertai dengan menjaga pemerataan, menanggulangi kemiskinan, dan meningkatkan daya beli yang juga besar porsinya.

Dengan kebijakan strategi seperti ini, yang lain akan mengikuti. Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan dasarnya, pendidikan, kesehatan, pangan, sandang, dan seterusnya, maka lingkungan sosial akan baik. Kalau kapital sosialnya baik, akan lebih mendorong pertumbuhan untuk pembangunan. Kalau sosial baik, politik dan keamanan akan mengikuti.

Maka, kalau diperkenankan mendapat mandat lagi ke depan, kalau saya masih diberi amanah dari Tuhan dan diberi mandat dari rakyat, apa yang sudah kami capai mesti kita perkokoh sambil memperbaiki yang kurang untuk diselesaikan. Kembali tentang pemerintahan yang baik tadi, antara lain perlu reformasi birokrasi yang terus kita mantapkan. Kita perbaiki pembangunan daerah yang belum berimbang. Kita adakan pertumbuhannya di mana-mana. Stabilitas politik tetap kita jaga. Keseimbangan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dijaga. Semua dalam tatanan politik yang stabil.

Lantas, hubungan antarbangsa tadi jangan sampai keliru dilihat. Kerja sama dengan negara lain jangan dilihat seolah-solah itu salah. Jangan sampai kita berpandangan sempit. Jangan kita masuk pada nasionalisme yang sempit. Janganlah dilihat bahwa kerja sama dengan negara lain itu salah, tidak sesuai dengan kemandirian bangsa. Kerja sama itu sebuah realitas, sepanjang, membawa manfaat, jujur, saling menghormati, saling menguntungkan. Itu kita lakukan sambil membangun kemampuan diri sendiri, sehingga tidak harus tergantung apa pun dari luar. Keliru kalau tiba-tiba mengisolasi diri, keliru kalau menganut nasionalisme membabi buta. Itu malah tidak dapat apa-apa. Tidak ada pemimpin yang lebih mencintai dunia lain daripada negerinya sendiri. Pemimpin mesti merah putih. Yang dipikir siang, malam ya rakyat, ya rakyat, ya rakyat.

Selama memerintah lima tahun terakhir, apakah ada hal yang masih mengganggu ?

Di luar tadi itu, yakni membangun pemerintahan yang baik dan demokrasi yang pas bagi bangsa ini, memang ada yang mengganggu saya sebagai seorang presiden dan itu juga sekaligus sebagai PR untuk perjalanan lima tahun berikutnya. Hal yang menjadi PR (pekerjaan rumah) dan mengganggu saya adalah bagaimana bangsa ini lebih rasional.

Saya manusia biasa, punya hati, punya perasaan. Saya berkomunikasi dengan rakyat dengan cara bermacam-macam, termasuk SMS, surat, ketemu langsung. Saya membaca pernyataan para politisi, para pengamat, dan siapa pun saya mendengarkan mereka. Terkadang yang mengganggu saya, sebagian dari semua itu tidak rasional. Terlalu emosional, kurang jernih. Kalau begini terus, keseharian kita, demokrasi kita terganggu. Saya takut, Indonesia gagal menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang unggul, berpikiran positif, sikap yang optimis, dan lain sebagainya. Padahal itu modal yang luar biasa.

Dalam batas kemampuan saya berusaha mengemban amanah, sampai kembali ke masyarakat biasa lagi nanti, saya akan terus berjuang juga untuk menjadikan bangsa ini makin rasional. Melihat segala permasalahan dengan logika, dengan penalaran, bukan dengan pendekatan-pendekatan yang lain.

Prof Dr Boediono SANG GURU MENUJU TITIAN BARU

Genap setahun menjabat sebagai Gubernur BI, Boediono akhirnya dipinang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan maju lagi dalam pemilihan umum presiden 8 Juli 2009 untuk menjadi wakilnya. Ia akhirnya menerima pinangan itu setelah mempertimbangkan dengan saksama.

Prof Dr Boediono MEc lahir 25 Februari 1943 di Kampung Kepanjen Lor, Blitar, Jawa Timur, dari pasangan Ahmad Siswo Harjono (pedagang batik) dengan Samilah. Sulung dari tiga bersaudara ini berasal dari keluarga sederhana. Pendapatan dari berdagang batik tidak mencukupi kebutuhan sehari- hari sehingga Samilah, ibunya, membantu dengan berjualan perhiasan.

Selepas SMA dengan berbekal beasiswa dari Colombo Plan, ia merantau ke Negara Kanguru untuk meneruskan pendidikannya. Bekal beasiswa sepertinya tidak cukup. Di sela-sela kuliah, ia bekerja paruh waktu di Central Bureau of Census and Statistics, Commonwealth of Australia, Canberra, tahun 1964. Pada 1967, ia berhasil mengantongi gelar Bachelor of Economics (Hons.) dari Universitas Western Australia.

Tidak puas dengan gelar S-1 yang disandangnya, ia melanjutkan master di Universitas Monash, Melbourne. Lima tahun kemudian, gelar master of economics berhasil disandang. Lalu, pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar PhD di bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania, salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia.

Boediono memulai karier akademisnya sebagai guru di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1974. Pak Boed demikian panggilan di kampusnya termasuk dosen yang rajin mengajar.

Suami Herawati (64 tahun) pada 24 Februari 2007 dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Pidato pengukuhannya yang bertema ”Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia” memberikan sinyal kuat bahwa belakangan tumbuh minat terhadap disiplin ilmu lain selain ekonomi, yaitu politik. Pidatonya tersebut mempertautkan kinerja ekonomi Indonesia dengan kinerja demokrasi.

Pada tahun 1990 salah satu artikelnya mengenai pembangunan Indonesia sempat dibaca JB Sumarlin yang saat itu menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tidak berapa lama, Boediono ditawari Kepala Biro Ekonomi. Inilah awal masuknya Boediono di jajaran birokrasi.

Ia kemudian masuk ke Bank Indonesia pada tahun 1993 sebagai salah satu direktur BI sampai tahun 1998. Pada masa pemerintahan BJ Habibie di Kabinet Reformasi Pembangunan, ia dipercaya sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Setahun kemudian, ketika terjadi peralihan kabinet dan kepemimpinan dari Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, posisinya digantikan oleh Kwik Kian Gie.

Ketika Abdurrahman Wahid tergusur diganti oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, ia dipercaya sebagai Menteri Keuangan pada 2001 dalam Kabinet Gotong Royong menggantikan Rizal Ramli sampai 2004. Menjelang jabatan berakhir, ia membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional dan mengakhiri kerja sama dengan lembaga tersebut. Tak heran bila Business Week memberi predikat sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam kabinet tersebut.

Di kabinet ini, ia bersama Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Menko Perekonomian), Kwik Kian Gie (Menteri Bappenas), dan Bank Indonesia dijuluki ”The Dream Team”. Mereka dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari krisis moneter 1998. Salah satunya adalah berhasil menstabilkan kurs rupiah di angka kisaran Rp 9.000 per dollar AS setelah sempat menembus lebih dari Rp 17.000 menjelang kejatuhan Presiden Soeharto.

Ketika Yudhoyono terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2004, ia tidak masuk jajaran kabinet. Boediono lebih memilih kembali mengajar di UGM. Kala kondisi ekonomi tidak menentu akibat tingginya inflasi menyusul kenaikan harga BBM, 1 Oktober 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005. Boediono akhirnya bersedia kembali masuk kabinet menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian.

Ketika jabatan Gubernur BI kosong, presiden pun mencalonkan dirinya. DPR pun menyetujui dan mengesahkannya sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 9 April 2008, menggantikan Burhanuddin Abdullah. Ia merupakan calon tunggal yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono



Kebijakan ”Mister Paket”

• Menteri Keuangan di era Presiden Megawati

- Menetapkan bea masuk (BM) atas impor tepung gandum sebesar lima persen. Penetapan itu dikeluarkan dengan Surat Keputusan No 127/KMK.01/2003 tentang Perubahan Tarif Bea Masuk atas Impor Tepung Gandum (wheat or meslin flour atau pos tarif 1101.00.000) atau terigu. SK itu mulai diberlakukan pada 1 Mei 2003 sampai 31 Desember 2004 (Pasal 4). Setelah masa berlaku terlampaui, tarif BM yang berlaku adalah nol persen. Pertimbangan dikeluarkannya SK itu adalah untuk meningkatkan daya saing industri tepung gandum dalam negeri.

- Mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No 66/KMK.01/2003 tentang penunjukan Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang surat utang negara di pasar perdana.

- Mengeluarkan keputusan Menteri Keuangan 547/KMK.01/2003 tentang penetapan tarif bea masuk atas barang impor.

- Bersama tim ekonominya di kabinet secara terencana mengakhiri kerja sama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) pada Desember 2003 • Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada era Presiden Yudhoyono - Menerbitkan tiga paket kebijakan, yaitu paket kebijakan sektor keuangan bertujuan meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan BI sebagai otoritas fiskal dan moneter, melanjutkan langkah-langkah reformasi memperkuat industri perbankan, lembaga keuangan nonbank dan pasar modal. Kedua, paket perbaikan iklim investasi. Ketiga, paket percepatan pembangunan infrastruktur. Ketiga paket kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan lebih cepat. • Gubernur Bank Indonesia di era Presiden Yudhoyono - Mengumumkan pengambilalihan Bank Century Tbk oleh Lembaga Penjamin Simpanan di Jakarta (21 November 2008). Alasan pengambilalihan bank itu dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah Bank Century.

Teks: Yuliana Rini Sumber: Litbang Kompas

Susilo Bambang Yudhoyono Berjuang Menjadi PahlawAn

Bagus Takwin, Niniek L Karim, Nurlyta Hafiyah, dan Dicky Pelupessy

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, anak tunggal yang charming itu, telah menjadi Presiden RI selama hampir 5 tahun dan mencalonkan diri lagi untuk periode tahun 2009-2014.

Dengan suara yang lebih keras dan tegas, ia menyerukan programnya. Penampilannya tetap santun, hati-hati, dan penuh pertimbangan. Dengan keyakinan diri terkesan lebih kuat, ia lebih berani menanggapi secara langsung kritik dan tantangan pesaing politiknya.

Di beberapa acara televisi, SBY menangkis tanggapan orang tentang dirinya, mempertahankan sepak terjangnya sebagai presiden. Ia mendengar dan ingat kalimat yang sering dilontarkan orang kepadanya dan punya jawaban untuk itu semua.

Dari situ bisa dinilai, SBY punya kepekaan terhadap yang berlangsung di masyarakat, terutama yang terkait dengan dirinya. Sejalan dengan teori Alfred Adler (1870-1937), anak tunggal seperti SBY punya minat sosial tinggi dan rasa komunalitas yang kuat. Itulah caranya mengatasi konflik masa lalu secara positif.

Seperti dijabarkan dalam laporan penelitian kami pada tahun 2004, fenomena yang sering muncul pada tipologi anak tunggal adalah cenderung menjaga perhatian tetap tertuju kepadanya, menghindari konflik yang bisa membuatnya jadi tidak disukai orang. Ketika menjadi pemimpin, ia bisa terkesan pasif, seakan kurang inisiatif, terlalu hati-hati, dan tidak tegas, meskipun di ruang yang tak tertangkap publik mungkin saja yang terjadi berbeda.

Pada masa awal menjabat Presiden RI, kesan itu sempat sering tertangkap dari diri SBY. Ia terkesan cenderung lambat menghadapi persoalan yang dianggap sebagian masyarakat genting dan prinsipiil, lebih memberi kesan aktif mengurusi hal-hal di permukaan.

Responden penelitian (n> 2198) menganggap, dari tiga capres itu, SBY yang paling taat pada konvensi, mampu berkompromi, memahami rakyat, dan mampu berkomunikasi dengan rakyat. Carl Gustav Jung (1875-1961) memberi istilah bagi yang berciri demikian sebagai orang innocent, polos tanpa salah. Intinya, orang yang cenderung berusaha tampil sesuai dan pas dengan norma masyarakatnya.

Jung menambahkan ciri lain dari innocent, berusaha menjaga agar kualitas yang jahat tidak tampil dan tertangkap oleh orang lain. Begitulah yang tertangkap dari SBY, terutama pada awal pemerintahan periode 2004-2009. Semula ia tampak selalu berusaha mempertahankan citra diri sebagai orang yang baik, taat pada norma sosial, dan berusaha tidak menyakiti orang lain dalam menjalankan peran sosial.

Kesan innocent tersebut ternyata tidak seterusnya mendominasi SBY. Belakangan, ia lebih sering menampilkan tanda sebagai orang yang kuat, punya kompetensi, dan punya kuasa. Di tengah berbagai bencana alam, situasi politik yang riuh dan sarat persaingan, krisis minyak dunia, ancaman krisis keuangan global yang berdampak ke lokal, penampilannya perlahan-lahan mengalami perubahan menjadi orang yang berani menghadapi tantangan.

Ia mengingatkan bahwa berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia bisa diselesaikan asalkan ada tekad kemauan. Merujuk lagi kepada Jung, strategi penampilan seperti itu terlihat pada orang yang dikenal sebagai pahlawan.

Dalam sebuah artikel tentang pahlawan yang ditulisnya di majalah Time Asia (10 Oktober 2005), SBY bertanya kepada dirinya, jika dihadapkan dalam situasi yang dijalani para pahlawan, apakah ia akan menampilkan tindakan yang sama. Jawabannya, ”Mungkin memang terdapat sosok seorang pahlawan dalam diri kita masing-masing. Kita hanyalah perlu untuk mengejawantahkannya.” Apakah SBY sedang berusaha mengejawantahkan potensinya untuk menjadi pahlawan?

Karakter anak tunggal sebenarnya bisa menjadi modal untuk membawa SBY melangkah sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Banyak pahlawan besar dalam sejarah peradaban dunia, juga dalam kisah mitologi, berangkat dari kondisi awal hidup yang polos tanpa salah. Namun, ikhtiar untuk menjadi pahlawan tidak mudah. Pertama sekali, sang tokoh perlu berdamai dengan diri sendiri. Ia harus memanfaatkan kekuatan otonom ego-nya untuk lepas dari konflik personal dan interpersonal pada masa lalu.

Tampaknya, SBY sedang berusaha untuk itu. Keberaniannya menentukan sendiri siapa calon wakil presidennya, mengambil risiko ditinggalkan partai yang berkoalisi dengan partainya, tanggapan terbuka terhadap pesaing yang mengkritik, seruannya yang mungkin menyinggung banyak orang, merupakan indikasi dari usaha itu.

Carl Gustav Jung menjelaskan, pembebasan dari ”topeng sosial (persona)” memang perjuangan terberat. Menegaskan ”inilah aku” dengan segala kekurangan dan kelebihanku akan menghadapkan individu kepada luka masa lalu, rasa kehilangan dan telantar yang menyakitkan, menimbulkan rasa cemas ”sakit” itu akan terulang lagi. Kecemasan dalam usaha melepas ”topeng” ini dapat diatasi dengan kemampuan bekerja sama, sifat realistik, dan menggalang solidaritas.

Kemampuan dan sifat ini dimiliki SBY, ditambah keutamaan trust dan optimisme yang sering ia tunjukkan di berbagai aktivitas pencapaian prestasinya. Semua kemampuan itu menjadi modal kuat bagi SBY untuk menampilkan ”pedang kepemimpinannya” guna memotong putus segala yang mengancam integritas sosial dan keberlangsungan hidup negara Indonesia, sekaligus menemukan diri sendiri yang mandiri dan otentik.

Dengan kata lain, SBY punya potensi untuk menjadi pahlawan, pejuang dengan karakter kuat berciri keutamaan untuk memberi sumbangan menjaga kesejahteraan diri dan masyarakat dalam hal ini terutama bangsa Indonesia. Akar dari karakter yang kuat itu bersifat psikososial: potensi yang ada dalam diri yang aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial. SBY pada dasarnya punya potensi sejenis itu, tetapi memang perlu usaha lebih keras agar aktualisasinya bisa lebih optimal.

Pencanangan ekonomi jalan tengah, ajakan melanjutkan yang sudah dilakukan, frekuensi rujukan yang tinggi kepada etika, dan kecenderungan mengikuti yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang lebih menunjukkan sifat innocent.

Pilihan, ajakan, rujukan, dan kecenderungan itu mengindikasikan adanya kecenderungan pandangan yang selalu positif terhadap dunia kepada diri SBY. Di sisi lain, pahlawan adalah orang yang selalu berusaha menemukan ada yang tidak beres pada dunia, ada yang salah dan perlu diperbaiki, ada yang perlu diubah agar menjadi lebih baik.

Untuk menjadi pahlawan, seseorang harus berani mengambil risiko dan terus-menerus berusaha meningkatkan usahanya tersebut. Kesan yang kadang masih tertangkap dari SBY adalah kurang berani mengambil risiko. Walau demikian, indikasi dari keberanian mengambil risiko dan menghadapi konflik tampak sudah mulai tampil pada diri SBY. Artinya, ia sedang berjuang untuk menjadi pahlawan yang dapat diandalkan banyak orang.

Meski indikasi dari keinginan untuk menjadi pahlawan pada diri SBY, seperti gencarnya pemberantasan korupsi atas perintahnya, adalah indikasi dari pengejawantahan sifat pahlawan. Namun, aktualita ini terkesan masih belum optimal. Sikap kepahlawanan masih banyak yang diharapkan dari SBY. Dalam arti, masyarakat masih sangat mengharapkan tindakan nyata SBY. Harapan ini juga tampil dalam FGD dan penilaian 46 psikolog. Contoh, harapan terhadap SBY memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka yang terkena musibah, seperti para korban lumpur Sidoardjo serta korban-korban penculikan dan pembunuhan yang melibatkan aparat pemerintah.

Aspek Kognitif: ”Trait” (sifat), ”Belief” (kepercayaan), Kompleksitas Pikiran-Pola Penalaran

SBY tetap menampilkan diri sebagai orang yang menaati norma sosial. Ia menghargai tradisi masyarakatnya, menghormati atasan dan orang yang lebih tua, mengutamakan sopan santun, menjunjung tinggi kehormatan, menilai tinggi moralitas, disiplin ketat, dan memanfaatkan waktu secara efisien. Pada awal hidup, seorang anak tunggal cenderung menjadikan sifat-sifat itu sebagai alat untuk memperoleh perhatian simpati sosial, dalam perkembangannya sangat mungkin sifat-sifat itu terinternalisasi menjadi bagian dari kepribadiannya.

Pada kepribadian SBY pun, hal itu tampak sudah menyatu. Kebetulan atau memang mewakili, sebagian besar responden FGD dan survei (n> 2198) adalah kelompok yang menjunjung sifat serupa, maka ”klop”-lah ia dengan harapan mereka.

SBY terbuka pada ide baru, sejauh itu tak bertentangan dengan norma masyarakat. Meski ia pun bisa mengambil keputusan yang tidak populer, saat dilakukannya ia akan berusaha sedemikian rupa agar keputusan itu tidak mengancam harmoni dan merusak citra diri. Kepercayaannya kepada harmoni yang dapat dicapai dalam kehidupan politik menjadi dasar tindakannya. Pola penalarannya didasari kepercayaan ini. Kompleksitas pikiran yang tinggi dan sistematik membantunya menemukan hubungan dari berbagai hal dalam kehidupan sosial yang mendukung kepercayaannya tersebut.

Strategi penampilan diri yang digunakannya pun didasari kepercayaan politiknya itu. Setiap kata, kalimat, dan tindakan SBY selalu ia ukur agar tepat dan tidak mengandung kesalahan. Ia juga mengusahakan agar yang diungkapkannya tidak merusak harmoni masyarakat. Menurut dia, dalam sebuah wawancara di Metro TV, kebiasaan hati-hati adalah kepribadiannya dan ia tidak ingin mengubahnya. Ciri yang memang melekat pada SBY dan melebur dalam karakternya itu bisa memberi kesan pada orang yang mengamati bahwa ia tidak menampilkan diri apa adanya.

Hal ini terwakili juga dalam FGD. Adapun, menurut Zebrovitz (1990), sebagai psikolog awam, tiap orang cenderung menilai orang lain berdasarkan rajutan pengalamannya. Bila tak disikapi dengan bijak, ini bisa menjadi fondasi ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY di masa depan.

Kecenderungan menjadi ”pemimpi”, yang juga menandai orang innocent, tampak indikasinya pada diri SBY. Kecenderungan yang membuatnya bisa tergugah oleh ide-ide dan program inovatif, bahkan ketika ide atau program itu belum jelas bukti kebenarannya.

Sebagai contoh, dalam rangka mengantisipasi krisis energi dan pangan, SBY berusaha menggugah para ahli untuk dapat menemukan energi alternatif dan cara-cara untuk menghasilkan produk pangan unggul. Dalam usaha itu, SBY antusias menanggapi beberapa usulan yang tampak brilian dengan agak mengabaikan keraguan ilmiah dari beberapa ilmuwan, seperti blue energy dan padi supertoy yang dapat dipanen beberapa kali dalam setahun, yang ternyata tak terbukti kebenarannya.

Motif sosial

Kebutuhan berprestasi masih menonjol pada diri SBY. Indikasinya: senang belajar dan berusaha mendapat hasil terbaik dengan cara melakukan usaha pencapaian tujuan secara bertahap dan berisiko moderat. Orientasi kepada kemajuan tampak jelas pada diri SBY. Baginya, meski pelan dan bertahap, kemajuan harus selalu dicapai. Apa yang dianggapnya baik selalu berusaha untuk dilanjutkan. Slogan ”Lanjutkan” mencerminkan motif berprestasi SBY.

Seiring dengan kebutuhan berprestasi, kebutuhan afiliasinya pun tetap mengarahkan tindakannya. Ketika bertemu dengan orang yang secara terang-terangan mengajaknya berkonflik atau menentangnya, tanda-tanda nonverbal yang ditampilkannya mengindikasikan rasa tak nyaman. SBY bisa tampil kaku, tegang, tidak lepas, serta tidak antusias untuk terlibat interaksi dengan orang tersebut, contohnya pada saat ia bersalaman dengan Megawati Soekarnoputri, yang bertahun-tahun tidak berbicara dengannya.

Belakangan, indikasi kebutuhan kekuasaan menguat pada diri SBY. Ini merupakan implikasi dari posisi politik yang menuntutnya untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain dalam situasi-situasi yang ia jalani. Dikaitkan dengan kebutuhan afiliasi pada anak tunggal, indikasi kebutuhan kekuasaan pada SBY bisa merupakan bagian dari usahanya mendapatkan perhatian dan penghargaan karena pandangan umum menyatakan bahwa seorang pemimpin semestinya punya pengaruh terhadap orang lain.

Indikasi kebutuhan kekuasaan juga dapat dikaitkan dengan perjuangannya untuk menjadi pahlawan: menghasilkan perubahan yang memberi pengaruh positif kepada banyak orang.

Kepribadian dan kepemimpinan SBY

Selama menjadi Presiden RI, perilaku SBY tampak masih dibayangi sifat dasarnya. Ia masih membutuhkan dasar formal yang kuat bagi tindakan politiknya, berkonsultasi dengan banyak pihak sebelum mengambil keputusan, dan berusaha tampil populer. Dalam situasi yang mengambang dan tak jelas, ia masih belum berani mengambil keputusan yang tegas. ”Jalan tengah” menjadi alternatif terbaik baginya. Kebijakan dan keputusan yang merupakan terobosan baru belum cukup banyak dihasilkan oleh SBY.

Untuk menjadi pemimpin yang sekaligus pahlawan bagi orang yang dipimpin, SBY masih perlu mengatasi konflik antara ego dan lingkungan sosial. Ia harus berani ”mengambil’ kembali kekuasaan dan kebebasan pribadinya dari kelompok dan sistem sosial agar bisa memberi sumbangan yang lebih bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keseluruhan bangsa. Secara psikologis, ia punya modal dan potensi untuk itu.

Dapatkah ia memanfaatkan modal dan potensi psikologisnya untuk melakukan perubahan bagi rakyat Indonesia? Ini bergantung pada kehendaknya untuk melampaui nilai dan norma warisan yang konvensional dan norma lingkungan yang tidak selalu sesuai dengan Indonesia masa kini. Bukan berarti meninggalkan nilai dan norma itu, melainkan melampaui itu semua untuk menciptakan gambaran yang lebih tepat tentang Indonesia di masa depan. Dengan semangat tersebut, yang bila diwujudkan dalam tindakan nyata dan konkret, SBY bisa tampil sebagai pahlawan yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

Susilo Bambang Yudhoyono JENDERAL "AKADEMIS" DI PANGGUNG POLITIK

Yudhoyono kembali maju untuk pemilihan presiden mendatang. Kali ini ia tidak lagi bersama Jusuf Kalla sebagai wakilnya, tetapi lebih memilih Boediono. Jadi, pemilihan umum presiden mendatang merupakan arena persaingan untuk kedua kalinya.

Susilo Bambang Yudhoyono lahir pada 9 September 1949 di Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, sebagai anak tunggal pasangan Raden Soekotjo (pensiunan letnan satu) dan Siti Habibah, anak salah satu pendiri Ponpes Tremas. Nama Susilo Bambang Yudhoyono bermakna santun, penuh kesusilaan (susilo), ksatria (bambang), perang (yudho), kemenangan (yono).

Masa kecil dan remaja Susilo atau biasa dipanggil Sus dihabiskan di Pacitan. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas, aktif di kepanduan, suka membaca, penulis puisi, cerpen, pemain teater dan pemain band. Ketika duduk di kelas V SR Gajahmada, ayahnya mengajak berkunjung ke Akademi Militer Nasional di Magelang. Tebersit keinginannya menjadi tentara, seperti sang ayah juga yang seorang prajurit angkatan darat yang bertugas di koramil.

Setelah lulus SMA akhir 1968, Susilo yang kini lebih dikenal dengan sebutan SBY berencana melanjutkan ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Namun, karena terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Ia sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 Nopember Surabaya— hanya mengikuti tahapan orientasi kampus. Dia lebih memilih masuk pendidikan guru sekolah lanjutan pertama di Malang.

Tahun 1970 akhirnya SBY masuk Akabri di Magelang setelah lulus tes lanjutan di Bandung. Pada akhir masa pendidikannya, dia meraih predikat lulusan terbaik Akabri (1973) dan menerima penghargaan lencana Adhi Makayasa.

Selama 27 tahun meniti karier di TNI AD, SBY banyak memimpin satuan tugas tempur. Lalu kemudian, ia menjadi Kassospol pada 1998. Saat itulah, peran sosial maupun politik TNI secara perlahan ditiadakan. Jabatan ini pun berubah menjadi kepala staf teritorial dan SBY sebagai yang pertama memegang jabatan itu. SBY berperan banyak dalam upaya mereposisi peran TNI (ABRI).

Karier politiknya diawali pada 29 Oktober 1999 ketika diangkat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Saat itu dia berpangkat letnan jenderal dan memutuskan pensiun dini dengan pangkat jenderal kehormatan. Setahun kemudian, Presiden Wahid mengangkatnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Namun, jabatan itu hanya dijalaninya selama setahun, ia lalu mundur dari kabinet.

Ia kemudian dicalonkan untuk memperebutkan jabatan wakil presiden yang kosong setelah Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung, SBY kalah suara. Dua bulan kemudian, Megawati menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Namun, kemelut politik yang terjadi yang menghadapkan dirinya dengan Megawati, SBY memilih mundur dari jabatannya sebagai Menko Polkam pada 11 Maret 2004.

Setelah itu, ia langsung berkampanye untuk partai yang dibidaninya, yakni Partai Demokrat. Keberadaannya di Partai Demokrat ini menuai sukses dalam pemilu legislatif.

Kemenangannya pun berlanjut, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil menang, baik di putaran pertama maupun kedua. Peraih gelar doktor di bidang manajemen ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor itu akhirnya terpilih menjadi Presiden RI pada pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat.

(MG Retno Setyowati/ Litbang Kompas)

Sumber: Litbang Kompas diolah dari Dokumentasi Kompas/Endang Suprapti dan MG Retno Setyowati

Arsip Blog