Jumat, 12 Juni 2009

Perjalanan Presiden...

Rosihan Anwar

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan di Bandung pilihannya. Cawapres adalah Boediono, Gubernur Bank Indonesia. Yang paling pas dari nonpartai. Dengan demikian, dia memperlihatkan dirinya firm and decisive, teguh dan tegas.

Ada orang merasa tersinggung karena putusan tadi. Mengapa Hatta Rajasa yang diusulkan ditolak? Bukankah Boediono mewakili ekonomi nonliberal, bukan ekonomi kerakyatan? Ada parpol merasa kecewa karena komunikasi politik dari pihak SBY kurang. Ada suara bentuk poros alternatif. I don’t care, pikir SBY. Jalan terus di haluan yang telah ditetapkan. Full speed ahead, steady course, perintah sang nakhoda.

Mungkinkah ini penjelmaan ”SBY baru” yang tidak dikenal selama lima tahun belakangan karena citranya yang ragu-ragu, lamban ambil keputusan? Mungkin, mungkin. Seorang pemimpin terlahir baru, born a new? Mungkin.

Situasi belum lama berselang dikatakan dengan gaya aliran ekspresionalisme seni lukis memperlihatkan gejala-gejala berikut.

Pertama, numbers matter, angka-angka bicara secara politis. Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P sekian persen suara, sekian banyak kursi DPR. Maka, ada politisi yang tahu-tahu pede di tayangan televisi. Ada yang berdiam diri, lemes, kulino meneng.

Kedua, info-info bertebaran. Mengenai operasi intel sebelum pemilu legislatif, revolusi diam-diam, affair Ketua KPK Antasari, serta tokoh-tokoh yang korup dan mudah di blackmail untuk berubah sikap opolitik.

Ketiga, money politics bekerja. Semua bisa diatur, sikap pemilih, kekuatan BLT, harga satu suara berapa, KPU kurang kompeten, kecurangan penggelembungan suara, tetapi sulit dibuktikan. Mahkamah Konstitusi siap menanggulangi perkara pengaduan.

Keempat, ego, akuisme mencuat ke atas. Pemimpin-pemimpin elite dan oligarki kelihatan belangnya. Partai amoeba. Perpecahan internal. Koalisi dikonstruksi, lalu didekonstruksi, merapat bergabung, lalu menjauh, dilema maut ikut kekuasaan atau jadi oposisi. Ada pengaruh sihir figur ibu dan ada prerogatif memutuskan figur bapak dalam organisasi.

Kelima, A nation in waiting, ujar seorang politikus mengutip judul buku wartawan Adam Schwartz. Menunggu ”Obama-Indonesia”, kata yang lain. Tidak, kata yang berikut, menunggu Godot. Sia-sia belaka. Omongan konsultan lembaga survei didengar betul oleh capres dan cawapres dalam menentukan siasat. Pengamat politik dari kalangan universitas para presenter dan moderator talkshow laris keras, para kolumnis semua bicara. Timbullah suatu kekacauan omongan, tetapi the show must go on.

Kilas balik

Saya ingat kembali 4 September 2004 malam dalam pesawat terbang dari Lhokseumawe menuju Bandara Halim Perdanakusuma yang mengangkut rombongan SBY setelah melakukan kampanye pemilu presiden putaran kedua ke Medan dan Aceh.

Saya dengan Ishadi SK dari Trans-TV duduk dalam kabin bagian muka bersama SBY dan Ny Ani Yudhyono. Juga ada mantan Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, MS Kaban dari PBB, Mohamad Razikun dari PKS, serta Prof Subur Budhisantoso dari Partai Demokrat.

SBY yang fisik lelah memanggil masuk pemijatnya, seorang keturunan Tionghoa yang direkomendasikan Komandan Korem di Kalbar. Masseur itu bernama Auw-piau.

Sebelum 1 September 2004 SBY melakukan perjalanan sepanjang hari dari pukul 05.00 hingga pukul 22.00 di Jawa Barat untuk berkampanye, Auw-piau menekankan jari-jarinya ke kuduk, bahu, dan punggung SBY.

”Kalau sudah lelah, dokter sudah tidak berfungsi lagi. Tapi kita perlu tukang pijit profesional yang ahli,” kata SBY.

Selagi pemijitan berlangsung, Muhammad Lutfi dari tim sukses mengatur kamerawan TV dan press photographer masuk ke dalam kabin mengambil gambar SBY. Selagi dipijat, SBY berucap, bila terpilih sebagai presiden, foto pemijitan ini bisa dinamakan the road to power atau road to presidency.

”Apakah juga mau dipijat?” tanya Ny Ani. ”Ah, tidak,” jawab saya. Akan tetapi, ucapan SBY tadi saya rekam dalam memori. Road to presidency, jalan menuju jabatan presiden. Saya pikir orang ini punya kesadaran historis. Dia ingin memimpin bangsa. Dia perlu kekuasaan. Dia mau menjadi presiden. Demikianlah adanya.

Nyaris lima tahun berlalu semenjak adegan tadi. Banyak yang telah dialami SBY sebagai Presiden RI dan Jusuf Kalla sebagai wapres. Kini dia mau maju lagi dengan Boediono sebagai cawapres.

Tajuk rencana Kompas (14/5) menulis ”Sudah banyak perkiraan, Presiden Yudhoyono jika terpilih kembali akan melakukan keputusan cepat dan konkret dalam masa kedua pemerintahannya sebagai upaya meletakkan warisan, legacy, atas kepemimpinannya”.

Namun, pada hemat saya, kita mesti menunggu dulu, kita belum sampai di situ. Pemilu presiden tanggal 8 Juli. Siapa tahu ada putaran kedua. Kita harus bersabar sedikit. SBY yang kini menurut majalah Time termasuk 100 pemimpin berpengaruh di dunia juga harus sabar menunggu suara rakyat di TPS. Sabar is subur.

Antara sekarang dan 8 Juli apa saja bisa terjadi. Surprises, yang tak disangka bisa terjadi. Donald Rumsfeld Menteri Pertahanan kabinet Bush melihat perlawanan teroris di Irak yang meningkat tidak suka sama surplus yang dinamakannya: unknown unknowns yang baginya membawa kabar buruk. Namun, kita di Indonesia dengan pemilu presiden akan datang mengharapkan yang sebaik-baiknya bagi negeri dan rakyat kita. Semoga Tuhan memberkati.

Rosihan Anwar, Wartawan Senior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog