Minggu, 28 Juni 2009

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI MENYUSUN PERTARUNGAN DARI BAWAH

Myrna Ratna dan Agus Hermawan

Drama politik paling menarik selama gonjang-ganjing koalisi pasca-Pemilu Legislatif 2009 adalah ketika Partai Demokrat secara terbuka menawarkan koalisi kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. 

Diawali dengan kedatangan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa ke kediaman Megawati Soekarnoputri pada 6 Mei 2009, sinyal itu kemudian diperkuat dengan pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ”ada kehendak kedua partai untuk melakukan rekonsiliasi melalui komunikasi politik”.

”Kalau (landasan kerja sama) sepakat, kami bisa bersama-sama dalam bentuk koalisi di pemerintahan dan parlemen,” demikian Yudhoyono.

Sinyal politik itu disambut ”meriah”. Siapa yang menyangka bakal muncul gagasan koalisi Partai Demokrat-PDI-P, mengingat PDI-P merupakan partai oposisi yang vokal di parlemen? Bagi sebagian pengamat politik, gagasan ini juga ”ideal”, menyusul pecahnya duet Yudhoyono-Jusuf Kalla, yang berdampak pula pada pecahnya koalisi Demokrat-Partai Golkar yang telah berlangsung selama 4,5 tahun.

Sejumlah kalangan PDI-P juga menyambut positif karena secara hitungan politik tawaran itu bakal ”menyelamatkan” wajah PDI-P yang saat itu ditinggal mitra-mitranya di Koalisi Besar (Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan). Jusuf Kalla dan Wiranto sudah ”lebih cepat” mencalonkan diri sebagai pasangan capres-cawapres. Sementara Prabowo Subianto saat itu masih menjajaki kemungkinan peluangnya menjadi capres dengan merapat ke sejumlah partai.

Namun, kalkulasi politik semata tidak selalu pas bila diterapkan pada sosok Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri (62). Bagi mereka yang mengenalnya dan mengikuti lika-liku perjalanan perempuan pertama yang pernah menjadi presiden Indonesia itu, sudah bisa menduga bahwa ia akan menolak tawaran itu. Alasannya, konsistensi dan konstitusi. Sampai kapan pun, apa pun tantangannya, Megawati akan konsisten terhadap konstitusi partai. Perjalanan politiknya telah membuktikan itu.

Kepada Kompas, Megawati mengatakan bahwa Kongres PDI-P telah memberi mandat kepada dirinya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Dan, itu adalah keputusan yang tidak bisa dikompromikan. Ia tidak ingin mengkhianati jutaan warga partai yang telah memberinya kepercayaan. Konsekuensinya, jika harus memilih antara berkoalisi dengan Demokrat dan tidak bisa menjadi calon presiden (karena jumlah kursi PDI-P di parlemen tak memenuhi syarat pencalonan), Mega akan memilih tidak mencalonkan diri.

Sikap Megawati itu sudah menjadi semacam sikap dasar. Ia yakin, selama konsisten dalam aturan main, jalan akan selalu terbuka. Dan, seperti kita ketahui kemudian, meski melalui perundingan alot, Megawati akhirnya memang bersanding dengan Prabowo Subianto untuk bertarung dalam Pemilu Presiden 8 Juli 2009.

Sepertinya, nilai-nilai keteguhan itu terpupuk dalam perjalanan hidupnya yang berliku. Misalnya saja, meskipun mengagumi dan mencintai sang ayah Soekarno, tetapi Megawati memilih ikut keluar dari istana ketika sang Ibunda, Fatmawati, dimadu. Ia memilih melawan tanpa kekerasan, ketika pemerintah Orde Baru mencoba menghentikan perjuangan politiknya bersama Partai Demokrasi Indonesia.

Dalam kamus Mega, tak ada kata menyerah. Ketika Kongres PDI di Medan tahun 1993 yang mengusung dirinya sebagai ketua umum dibuat deadlock melalui intervensi pemerintah, proses politik itu dilanjutkan ke Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya. Pemerintah Orba mengerahkan segala daya untuk membendung dukungan terhadap Megawati. Namun, menyadari bahwa dukungan ”arus bawah” sulit dibungkam, Kongres pun kembali dibuat deadlock.

Pada menit-menit terakhir menjelang batas izin pelaksanaan Kongres, 6 Desember 1993 pukul 00.00, Megawati tampil ke mimbar dan menyatakan: ”Sayalah Ketua Umum DPP PDI de facto.” Tak lama kemudian, sekitar 500 polisi beserta pasukan antihuru-hara memasuki ruangan sidang, membubarkan seluruh peserta dan mengambil alih seluruh kendali di lokasi Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Momen itu menjadi tonggak awal perjuangan Megawati yang mencerminkan kepekaan naluri, keteguhan, dan konsistensinya. Megawati memang kemudian ”berhasil” dilengserkan pemerintah melalui Kongres PDI berikutnya. Namun, langkahnya tak bisa dihentikan. Ia membangun partai tandingan, yaitu PDI Perjuangan dan menolak mengosongkan Kantor PDI di jalan Diponegoro Jakarta. Pilihan politiknya itu berujung pada bentrokan berdarah 27 Juli 1996.

Kembali bertarung

Bila mengurut langkah perjalanan Megawati, dari seorang ibu rumah tangga biasa yang ”minim” pengalaman politik sampai menjadi Presiden RI pada tahun 2001 dan kemudian menjadi oposisi karena kalah dalam Pemilu 2004 seharusnya ”rapor” politik Mega sudah komplet sehingga apabila sekarang ia mencalonkan kembali menjadi presiden, sementara partainya hanya menduduki peringkat ketiga di bawah Partai Demokrat dan Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009, ambisi kekuasaankah yang menjadi pendorong?

Bukan, bukan itu, katanya. Berkali-kali Mega menuturkan bahwa ia ingin menuntaskan sejumlah agenda kerja yang belum sempat diwujudkannya dalam pemerintahannya yang hanya berlangsung 2,5 tahun.

Megawati bisa memahami bila publik menilai bahwa pemerintahannya (2001-2003) tidak menunjukkan kinerja yang impresif. Namun, tanpa bermaksud membela diri, ia juga mengatakan bahwa masa kerjanya yang ”setengah jalan” membuatnya sulit untuk bisa cepat membangun kembali bangsa ini dari krisis berkepanjangan. Dan, itulah yang mendorongnya untuk kembali bertarung menjadi calon presiden. Baginya, kalah-menang adalah hal biasa, asalkan semua itu dihasilkan dalam koridor etika dan moral.

Terlepas dari hasil sejumlah lembaga survei yang selalu menempatkannya di bawah popularitas pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati memiliki sejumlah modal dasar untuk bisa bertarung head to head. Di antaranya, ia memiliki pendukung yang loyal. Mega juga mengaku bukan pendendam sehingga rekonsiliasi politik bukan hal tabu dalam kamusnya.

Ketika Orde Baru jatuh, Mega yang sedang berada di puncak tidak melakukan politik balas dendam kepada Soeharto dan keluarganya. ”Jika ada rasa dendam secuil pun dalam sanubariku, itu akan meracuni nuraniku,” ujarnya suatu ketika. Pilihannya untuk berkoalisi dengan Prabowo yang notabene pernah menjadi ”lingkaran dalam” keluarga Cendana, mungkin didasari pertimbangan serupa. ”Saya selalu melihat ke depan. Kalau selalu melihat ke belakang, bangsa ini tidak akan jalan,” tegasnya.

Mega juga belajar banyak dari kekalahannya pada tahun 2004. Ia pernah mengatakan, kekalahan telak PDI-P pada 2004 merupakan pelajaran berharga. Ia mengakui bahwa sebagian besar kader PDI-P yang kebanyakan ”bukan siapa-siapa”, tiba-tiba berada di kekuasaan sehingga banyak yang ”mabuk kepayang”. Sepanjang lima tahun terakhir, bersama jajaran PDI-P ia membenahi sisi keorganisasian partai, dari pusat sampai cabang, khususnya menyangkut disiplin dan mentalitas.

Mega juga terus memperbaiki kemampuannya, khususnya dalam cara berkomunikasi. Bila sebelumnya ia dikenal sebagai sosok yang irit berbicara dan terkesan dingin, sosok Mega kini rajin turun ke bawah, bertemu langsung dengan rakyat jelata. Hal itu dilakukannya jauh sebelum masa kampanye Pilpres 2009. Ia juga lebih mudah dimintai wawancara dan lebih santai dalam menjawab pertanyaan apa pun.

Mengenai bagaimana peluangnya pada 8 Juli mendatang, hanya rakyat yang bisa menjawab. Tentu saja dengan asumsi bahwa pemilu mendatang akan berjalan jujur dan adil, di mana hak rakyat untuk memberikan pilihan dihormati.

(SUTTA DHARMASAPUTRA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog