PilPres 2009-2014

Sabtu, 11 Juli 2009

PILPRES DI ACEH Pencitraan Vs Mesin Politik (yang) Kehabisan Tenaga...

Suasana di Kantor DPD Golkar lengang. Meski belasan kendaraan roda empat berada di halaman parkir, tidak terlihat keceriaan pada raut wajah orang-orang yang ada di dalamnya.

Khalid, Sekretaris Tim Kampanye Daerah JK-Win, ditemui di ruang kerjanya yang temaram, mengaku sangat kaget dengan perolehan suara pasangan jagoannya. Melihat hasil pemilu legislatif lalu, dengan raihan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mencapai delapan kursi, Khalid meyakini, paling tidak 30 persen suara pemilih di Aceh akan diperoleh pasangan ini. ”Ditambah lagi dengan suara dari partai-partai anggota koalisi. Seharusnya lebih,” ujarnya.

Meski mengaku heran, Khalid juga sempat bertanya ke mana suara Golkar dan Hanura, partai bentukan Wiranto, pada pemilu presiden kali ini. ”Tetapi, saya tidak berhak mengomentari hal ini. Ini sudah urusan partai politik. Saya tidak berani ikut campur,” katanya. Dia menolak menjelaskan larinya suara dua partai besar pendukung pasangan ini.

Pada pemilu legislatif lalu, Partai Golkar mendapatkan delapan kursi dari 69 kursi yang ada di DPR Aceh. Perolehan itu, meski turun drastis, masih menempatkan partai ini sebagai salah satu partai yang dominan di legislatif nantinya. Perolehan delapan kursi setara dengan 141.411 suara atau 6,64 persen dari total jumlah pemilih di Aceh yang mencapai tiga juta orang.

Dibandingkan dengan pilpres kali ini, perolehan itu jauh melorot. Sampai hari ketiga penghitungan suara sementara, pasangan JK-Wiranto hanya mendapatkan 4,3 persen suara atau setara dengan 74.518 pemilih. Jumlah ini berkurang hampir 70.000 orang dibandingkan dengan pemilu legislatif lalu.

Bandingkan dengan perolehan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang sudah mencapai 1.727.689 (93,51 persen) dari total jumlah suara yang sudah masuk. Kemenangan ini sudah dianggap mutlak karena total pemilih di Aceh hanya 3.008.235 orang. Perolehan suara pasangan nomor dua ini, sampai hari ketiga, di atas 50 persen dari total pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Awal kampanye terbuka, tim kampanye JK-Wiranto menargetkan perolehan suara 60-80 persen di Aceh. Berbekal keterlibatannya sebagai salah satu pencetus perdamaian di Aceh, JK beberapa kali menyatakan optimismenya untuk meraih simpati rakyat Aceh. Optimisme ini ditambah saat JK berkunjung ke kantor Partai Aceh, pemenang pemilu legislatif untuk partai politik lokal.

Pernyataan JK mengenai dirinya yang lebih banyak berperan dalam perdamaian Aceh serta wilayah konflik lainnya di Indonesia bermula dari kantor ini. Setelah itu, perebutan simbol perdamaian antara SBY dan JK terus terjadi.

Khalid mengakui ada yang salah dalam strategi kampanye yang dilakukan oleh timnya. Selain kesalahan itu, Khalid juga mengakui, SBY telah jauh-jauh hari melakukan pencitraan di Aceh dan seluruh Indonesia, seperti penurunan harga bahan bakar minyak dan bantuan langsung tunai. Sementara pasangan JK-Wiranto, menurut dia, baru meresmikan pencalonannya jelang pelaksanaan kampanye Pilpres 2009.

Fachry Ali, pengamat politik asal Universitas Indonesia, mengatakan, kemenangan SBY-Boediono dapat dilihat sebagai musnahnya pertentangan antara etnis Aceh dan etnis Jawa yang selama ini menjadi bagian terbesar penyulut konflik di wilayah itu. ”Tidak ada masalah etnis di Aceh. Tidak ada ideologi yang didasari pada kepentingan etnis di Aceh,” katanya.

Dia mengatakan, kepercayaan rakyat Aceh terhadap pasangan SBY-Boediono merupakan refleksi memori pada proses perdamaian di Aceh yang dibangun pada masa pemerintahan SBY-JK (2004-2009).

(Mahdi Muhammad)