Senin, 29 Juni 2009

Susilo Bambang Yudhoyono Berjuang Menjadi PahlawAn

Bagus Takwin, Niniek L Karim, Nurlyta Hafiyah, dan Dicky Pelupessy

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, anak tunggal yang charming itu, telah menjadi Presiden RI selama hampir 5 tahun dan mencalonkan diri lagi untuk periode tahun 2009-2014.

Dengan suara yang lebih keras dan tegas, ia menyerukan programnya. Penampilannya tetap santun, hati-hati, dan penuh pertimbangan. Dengan keyakinan diri terkesan lebih kuat, ia lebih berani menanggapi secara langsung kritik dan tantangan pesaing politiknya.

Di beberapa acara televisi, SBY menangkis tanggapan orang tentang dirinya, mempertahankan sepak terjangnya sebagai presiden. Ia mendengar dan ingat kalimat yang sering dilontarkan orang kepadanya dan punya jawaban untuk itu semua.

Dari situ bisa dinilai, SBY punya kepekaan terhadap yang berlangsung di masyarakat, terutama yang terkait dengan dirinya. Sejalan dengan teori Alfred Adler (1870-1937), anak tunggal seperti SBY punya minat sosial tinggi dan rasa komunalitas yang kuat. Itulah caranya mengatasi konflik masa lalu secara positif.

Seperti dijabarkan dalam laporan penelitian kami pada tahun 2004, fenomena yang sering muncul pada tipologi anak tunggal adalah cenderung menjaga perhatian tetap tertuju kepadanya, menghindari konflik yang bisa membuatnya jadi tidak disukai orang. Ketika menjadi pemimpin, ia bisa terkesan pasif, seakan kurang inisiatif, terlalu hati-hati, dan tidak tegas, meskipun di ruang yang tak tertangkap publik mungkin saja yang terjadi berbeda.

Pada masa awal menjabat Presiden RI, kesan itu sempat sering tertangkap dari diri SBY. Ia terkesan cenderung lambat menghadapi persoalan yang dianggap sebagian masyarakat genting dan prinsipiil, lebih memberi kesan aktif mengurusi hal-hal di permukaan.

Responden penelitian (n> 2198) menganggap, dari tiga capres itu, SBY yang paling taat pada konvensi, mampu berkompromi, memahami rakyat, dan mampu berkomunikasi dengan rakyat. Carl Gustav Jung (1875-1961) memberi istilah bagi yang berciri demikian sebagai orang innocent, polos tanpa salah. Intinya, orang yang cenderung berusaha tampil sesuai dan pas dengan norma masyarakatnya.

Jung menambahkan ciri lain dari innocent, berusaha menjaga agar kualitas yang jahat tidak tampil dan tertangkap oleh orang lain. Begitulah yang tertangkap dari SBY, terutama pada awal pemerintahan periode 2004-2009. Semula ia tampak selalu berusaha mempertahankan citra diri sebagai orang yang baik, taat pada norma sosial, dan berusaha tidak menyakiti orang lain dalam menjalankan peran sosial.

Kesan innocent tersebut ternyata tidak seterusnya mendominasi SBY. Belakangan, ia lebih sering menampilkan tanda sebagai orang yang kuat, punya kompetensi, dan punya kuasa. Di tengah berbagai bencana alam, situasi politik yang riuh dan sarat persaingan, krisis minyak dunia, ancaman krisis keuangan global yang berdampak ke lokal, penampilannya perlahan-lahan mengalami perubahan menjadi orang yang berani menghadapi tantangan.

Ia mengingatkan bahwa berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia bisa diselesaikan asalkan ada tekad kemauan. Merujuk lagi kepada Jung, strategi penampilan seperti itu terlihat pada orang yang dikenal sebagai pahlawan.

Dalam sebuah artikel tentang pahlawan yang ditulisnya di majalah Time Asia (10 Oktober 2005), SBY bertanya kepada dirinya, jika dihadapkan dalam situasi yang dijalani para pahlawan, apakah ia akan menampilkan tindakan yang sama. Jawabannya, ”Mungkin memang terdapat sosok seorang pahlawan dalam diri kita masing-masing. Kita hanyalah perlu untuk mengejawantahkannya.” Apakah SBY sedang berusaha mengejawantahkan potensinya untuk menjadi pahlawan?

Karakter anak tunggal sebenarnya bisa menjadi modal untuk membawa SBY melangkah sebagai pejuang, sebagai pahlawan. Banyak pahlawan besar dalam sejarah peradaban dunia, juga dalam kisah mitologi, berangkat dari kondisi awal hidup yang polos tanpa salah. Namun, ikhtiar untuk menjadi pahlawan tidak mudah. Pertama sekali, sang tokoh perlu berdamai dengan diri sendiri. Ia harus memanfaatkan kekuatan otonom ego-nya untuk lepas dari konflik personal dan interpersonal pada masa lalu.

Tampaknya, SBY sedang berusaha untuk itu. Keberaniannya menentukan sendiri siapa calon wakil presidennya, mengambil risiko ditinggalkan partai yang berkoalisi dengan partainya, tanggapan terbuka terhadap pesaing yang mengkritik, seruannya yang mungkin menyinggung banyak orang, merupakan indikasi dari usaha itu.

Carl Gustav Jung menjelaskan, pembebasan dari ”topeng sosial (persona)” memang perjuangan terberat. Menegaskan ”inilah aku” dengan segala kekurangan dan kelebihanku akan menghadapkan individu kepada luka masa lalu, rasa kehilangan dan telantar yang menyakitkan, menimbulkan rasa cemas ”sakit” itu akan terulang lagi. Kecemasan dalam usaha melepas ”topeng” ini dapat diatasi dengan kemampuan bekerja sama, sifat realistik, dan menggalang solidaritas.

Kemampuan dan sifat ini dimiliki SBY, ditambah keutamaan trust dan optimisme yang sering ia tunjukkan di berbagai aktivitas pencapaian prestasinya. Semua kemampuan itu menjadi modal kuat bagi SBY untuk menampilkan ”pedang kepemimpinannya” guna memotong putus segala yang mengancam integritas sosial dan keberlangsungan hidup negara Indonesia, sekaligus menemukan diri sendiri yang mandiri dan otentik.

Dengan kata lain, SBY punya potensi untuk menjadi pahlawan, pejuang dengan karakter kuat berciri keutamaan untuk memberi sumbangan menjaga kesejahteraan diri dan masyarakat dalam hal ini terutama bangsa Indonesia. Akar dari karakter yang kuat itu bersifat psikososial: potensi yang ada dalam diri yang aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial. SBY pada dasarnya punya potensi sejenis itu, tetapi memang perlu usaha lebih keras agar aktualisasinya bisa lebih optimal.

Pencanangan ekonomi jalan tengah, ajakan melanjutkan yang sudah dilakukan, frekuensi rujukan yang tinggi kepada etika, dan kecenderungan mengikuti yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang lebih menunjukkan sifat innocent.

Pilihan, ajakan, rujukan, dan kecenderungan itu mengindikasikan adanya kecenderungan pandangan yang selalu positif terhadap dunia kepada diri SBY. Di sisi lain, pahlawan adalah orang yang selalu berusaha menemukan ada yang tidak beres pada dunia, ada yang salah dan perlu diperbaiki, ada yang perlu diubah agar menjadi lebih baik.

Untuk menjadi pahlawan, seseorang harus berani mengambil risiko dan terus-menerus berusaha meningkatkan usahanya tersebut. Kesan yang kadang masih tertangkap dari SBY adalah kurang berani mengambil risiko. Walau demikian, indikasi dari keberanian mengambil risiko dan menghadapi konflik tampak sudah mulai tampil pada diri SBY. Artinya, ia sedang berjuang untuk menjadi pahlawan yang dapat diandalkan banyak orang.

Meski indikasi dari keinginan untuk menjadi pahlawan pada diri SBY, seperti gencarnya pemberantasan korupsi atas perintahnya, adalah indikasi dari pengejawantahan sifat pahlawan. Namun, aktualita ini terkesan masih belum optimal. Sikap kepahlawanan masih banyak yang diharapkan dari SBY. Dalam arti, masyarakat masih sangat mengharapkan tindakan nyata SBY. Harapan ini juga tampil dalam FGD dan penilaian 46 psikolog. Contoh, harapan terhadap SBY memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka yang terkena musibah, seperti para korban lumpur Sidoardjo serta korban-korban penculikan dan pembunuhan yang melibatkan aparat pemerintah.

Aspek Kognitif: ”Trait” (sifat), ”Belief” (kepercayaan), Kompleksitas Pikiran-Pola Penalaran

SBY tetap menampilkan diri sebagai orang yang menaati norma sosial. Ia menghargai tradisi masyarakatnya, menghormati atasan dan orang yang lebih tua, mengutamakan sopan santun, menjunjung tinggi kehormatan, menilai tinggi moralitas, disiplin ketat, dan memanfaatkan waktu secara efisien. Pada awal hidup, seorang anak tunggal cenderung menjadikan sifat-sifat itu sebagai alat untuk memperoleh perhatian simpati sosial, dalam perkembangannya sangat mungkin sifat-sifat itu terinternalisasi menjadi bagian dari kepribadiannya.

Pada kepribadian SBY pun, hal itu tampak sudah menyatu. Kebetulan atau memang mewakili, sebagian besar responden FGD dan survei (n> 2198) adalah kelompok yang menjunjung sifat serupa, maka ”klop”-lah ia dengan harapan mereka.

SBY terbuka pada ide baru, sejauh itu tak bertentangan dengan norma masyarakat. Meski ia pun bisa mengambil keputusan yang tidak populer, saat dilakukannya ia akan berusaha sedemikian rupa agar keputusan itu tidak mengancam harmoni dan merusak citra diri. Kepercayaannya kepada harmoni yang dapat dicapai dalam kehidupan politik menjadi dasar tindakannya. Pola penalarannya didasari kepercayaan ini. Kompleksitas pikiran yang tinggi dan sistematik membantunya menemukan hubungan dari berbagai hal dalam kehidupan sosial yang mendukung kepercayaannya tersebut.

Strategi penampilan diri yang digunakannya pun didasari kepercayaan politiknya itu. Setiap kata, kalimat, dan tindakan SBY selalu ia ukur agar tepat dan tidak mengandung kesalahan. Ia juga mengusahakan agar yang diungkapkannya tidak merusak harmoni masyarakat. Menurut dia, dalam sebuah wawancara di Metro TV, kebiasaan hati-hati adalah kepribadiannya dan ia tidak ingin mengubahnya. Ciri yang memang melekat pada SBY dan melebur dalam karakternya itu bisa memberi kesan pada orang yang mengamati bahwa ia tidak menampilkan diri apa adanya.

Hal ini terwakili juga dalam FGD. Adapun, menurut Zebrovitz (1990), sebagai psikolog awam, tiap orang cenderung menilai orang lain berdasarkan rajutan pengalamannya. Bila tak disikapi dengan bijak, ini bisa menjadi fondasi ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY di masa depan.

Kecenderungan menjadi ”pemimpi”, yang juga menandai orang innocent, tampak indikasinya pada diri SBY. Kecenderungan yang membuatnya bisa tergugah oleh ide-ide dan program inovatif, bahkan ketika ide atau program itu belum jelas bukti kebenarannya.

Sebagai contoh, dalam rangka mengantisipasi krisis energi dan pangan, SBY berusaha menggugah para ahli untuk dapat menemukan energi alternatif dan cara-cara untuk menghasilkan produk pangan unggul. Dalam usaha itu, SBY antusias menanggapi beberapa usulan yang tampak brilian dengan agak mengabaikan keraguan ilmiah dari beberapa ilmuwan, seperti blue energy dan padi supertoy yang dapat dipanen beberapa kali dalam setahun, yang ternyata tak terbukti kebenarannya.

Motif sosial

Kebutuhan berprestasi masih menonjol pada diri SBY. Indikasinya: senang belajar dan berusaha mendapat hasil terbaik dengan cara melakukan usaha pencapaian tujuan secara bertahap dan berisiko moderat. Orientasi kepada kemajuan tampak jelas pada diri SBY. Baginya, meski pelan dan bertahap, kemajuan harus selalu dicapai. Apa yang dianggapnya baik selalu berusaha untuk dilanjutkan. Slogan ”Lanjutkan” mencerminkan motif berprestasi SBY.

Seiring dengan kebutuhan berprestasi, kebutuhan afiliasinya pun tetap mengarahkan tindakannya. Ketika bertemu dengan orang yang secara terang-terangan mengajaknya berkonflik atau menentangnya, tanda-tanda nonverbal yang ditampilkannya mengindikasikan rasa tak nyaman. SBY bisa tampil kaku, tegang, tidak lepas, serta tidak antusias untuk terlibat interaksi dengan orang tersebut, contohnya pada saat ia bersalaman dengan Megawati Soekarnoputri, yang bertahun-tahun tidak berbicara dengannya.

Belakangan, indikasi kebutuhan kekuasaan menguat pada diri SBY. Ini merupakan implikasi dari posisi politik yang menuntutnya untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain dalam situasi-situasi yang ia jalani. Dikaitkan dengan kebutuhan afiliasi pada anak tunggal, indikasi kebutuhan kekuasaan pada SBY bisa merupakan bagian dari usahanya mendapatkan perhatian dan penghargaan karena pandangan umum menyatakan bahwa seorang pemimpin semestinya punya pengaruh terhadap orang lain.

Indikasi kebutuhan kekuasaan juga dapat dikaitkan dengan perjuangannya untuk menjadi pahlawan: menghasilkan perubahan yang memberi pengaruh positif kepada banyak orang.

Kepribadian dan kepemimpinan SBY

Selama menjadi Presiden RI, perilaku SBY tampak masih dibayangi sifat dasarnya. Ia masih membutuhkan dasar formal yang kuat bagi tindakan politiknya, berkonsultasi dengan banyak pihak sebelum mengambil keputusan, dan berusaha tampil populer. Dalam situasi yang mengambang dan tak jelas, ia masih belum berani mengambil keputusan yang tegas. ”Jalan tengah” menjadi alternatif terbaik baginya. Kebijakan dan keputusan yang merupakan terobosan baru belum cukup banyak dihasilkan oleh SBY.

Untuk menjadi pemimpin yang sekaligus pahlawan bagi orang yang dipimpin, SBY masih perlu mengatasi konflik antara ego dan lingkungan sosial. Ia harus berani ”mengambil’ kembali kekuasaan dan kebebasan pribadinya dari kelompok dan sistem sosial agar bisa memberi sumbangan yang lebih bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keseluruhan bangsa. Secara psikologis, ia punya modal dan potensi untuk itu.

Dapatkah ia memanfaatkan modal dan potensi psikologisnya untuk melakukan perubahan bagi rakyat Indonesia? Ini bergantung pada kehendaknya untuk melampaui nilai dan norma warisan yang konvensional dan norma lingkungan yang tidak selalu sesuai dengan Indonesia masa kini. Bukan berarti meninggalkan nilai dan norma itu, melainkan melampaui itu semua untuk menciptakan gambaran yang lebih tepat tentang Indonesia di masa depan. Dengan semangat tersebut, yang bila diwujudkan dalam tindakan nyata dan konkret, SBY bisa tampil sebagai pahlawan yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog