Jumat, 12 Juni 2009

Kampanye Damai, "What"?

TJIPTA LESMANA

Orang Indonesia paling pintar ber- ethok-ethok, selain menggunakan bahasa yang elok-elok, dan tidak membumi alias berbunga-bunga.

Buktinya, tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah berikrar untuk melaksanakan pemilu damai, berkompetisi secara berbudaya dan beretika. Suasana dalam gedung Bidakara malam itu pun kelihatan sejuk dan ceria seperti pesta perkawinan.

Apakah kompetisi politik bisa dijalankan secara berbudaya dan beretika? Inilah yang saya maksud dengan bahasa yang ethok-ethok, pura-pura, dan elok nian. Mengucapkan kata-kata itu memang gampang, tetapi tiba pada domain implementasi, orang Indonesia paling pintar berkelit. Maka, keributan dengan segala bentuknya sulit dihindarkan.

Perebutan kekuasaan

Malam itu, para pejabat Komisi Pemilihan Umum hendak memberikan tontonan demokrasi ala Indonesia kepada seluruh rakyat: bahwa pemilihan umum harus berjalan santun, tidak boleh mencabik-cabik bangsa, tetapi sebaliknya mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.

Mereka lupa—atau tidak tahu—pada hakikatnya politik adalah segala kegiatan yang terkait dengan relasi kekuasaan (power relations). Kekuasaan di sini, tentu saja, berhubungan dengan persoalan negara dan bangsa.

Domain aktivitas politik, secara garis besar, dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu bagaimana (a) mendapatkan/merebut kekuasaan, (b) mengimplementasikan kekuasaan, (c) mendistribusikan kekuasaan, (d) mempertahankan kekuasaan, dan (e) mentransfer kekuasaan.

Sebagai incumbent, Susilo Bambang Yudhoyono kini berjuang mati-matian untuk mempertahankan kursi kepresidenannya (maintenance of power). Di pihak lain, Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla sedang berupaya merebut kursi presiden dari tangan SBY (power acquisition). Di mana-mana incumbent akan berjuang habis-habisan, kecuali ketentuan hukum tidak membolehkannya untuk menjabat lagi. Lihat, misalnya, sejumlah menteri, gubernur/kepala daerah disertakan sebagai juru kampanye. Bahkan, beberapa pucuk pimpinan BUMN juga dijadikan tim sukses.

Mengingat jabatan presiden adalah puncak kekuasaan duniawi di kebanyakan negara, termasuk Indonesia, ada kecencerungan usaha mempertahankan dan merebut kekuasaan puncak itu sama-sama dilakukan by all means. Nah, by all means versus by all means inilah yang kemudian melahirkan benturan, sikut- sikutan, konflik, bahkan kemungkinan rusuh dan chaos.

Di Nikaragua, seorang presiden bernama Somosa pernah diseret di jalan raya oleh para musuhnya, kemudian tewas diberondong. Di Chechnya, bom meledak di tengah kerumunan massa yang sedang mengikuti kampanye pemilihan presiden. Tahun lalu di Pakistan Ny Benazir Bhutto mati mengenaskan akibat serangan bom menjelang diadakannya pemilihan presiden.

Benci, dengki, dendam

Kebencian, dengki, dan dendam sering membara dahsyat dalam diri politisi yang sedang bertarung untuk mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan. Fenomena ini harus diakui juga mengancam Indonesia saat pemilu presiden tinggal hitungan hari. Spekulasi dan rumor mengenai kemungkinan paling buruk yang menimpa pemilu presiden sudah beredar luas.

Dalam konteks itu, jargon ”kampanye berbudaya dan beretika” pantas dipertanyakan. Sebagai harapan, sah-sah saja. Memang semua elemen masyarakat harus mendorong terjadinya pemilihan umum yang damai, tenteram, dan lancar. Tetapi, yang substantif tidak melulu damai, tenteram, dan lancar. Yang lebih penting lagi, bagaimana dimensi keadilan dan fairness-nya?

Pemilu legislatif pada 9 April telah membuat pihak-pihak yang kalah kecewa dan marah. Perasaan dongkol itu bisa jelas terbaca saat salah satu pasangan capres- cawapres menyampaikan ”orasi kebangsaan” yang didahului sajian kesenian. Secara implisit, mereka mengkritik dengan memberikan peringatan, ”Awas, kecurangan-kecurangan itu jangan sampai terulang”.

Dengan demikian, benih-benih ”konfrontasi” antarpasangan capres-cawapres diakui sudah ada, bahkan kuat, dalam kontestan tertentu. Jika demikian, kita mempertanyakan kemungkinan kampanye berlangsung damai, berbudaya, dan beretika.

Lagi pula, deklarasi kampanye damai yang dicanangkan KPU pada 10 Juni 2009 sudah kehilangan signifikansinya. Kampanye pemilu sebetulnya sudah berlangsung cukup sengit sejak KPU menetapkan nomor urut kontestan pada 31 Mei lalu. Malah sudah berlangsung beberapa hari sebelumnya. Tepatnya, setelah ketiga pasang mendeklarasikan diri masing-masing.

Korban berjatuhan

Undang-Undang tentang Pemilu memberikan terminologi ”kampanye tertutup”, sedangkan sejak 10 Juni 2009 ”kampanye terbuka”. Kampanye-kampanye pra-31 Mei 2009, terutama pada talkshow di televisi maupun seminar, kenyataannya berjalan cukup panas, terutama diprovokasi tim sukses masing-masing. Bukan hanya saling menyindir, tetapi juga saling menohok dan menjurus character assassination. Akibatnya, korban sudah berjatuhan. Ada anggota tim sukses pasangan capres-cawapres terpaksa dilengserkan karena ucapannya berbau SARA dan membuat berang kelompok etnis tertentu.

Di tengah suasana politik yang sudah memanas ini, masihkah relevan kita berbicara tentang kampanye damai, berbudaya, dan beretika? Kita ragu. Sebab, sesungguhnya permainan politik, apalagi yang bertujuan untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan puncak, di mana-mana selalu berlangsung panas dan sengit. Maklum, para kontestan menyadari sepenuhnya bahwa mereka kini dalam posisi to be or not to be.

Tjipta Lesmana Pemerhati Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog