Minggu, 17 Mei 2009

SBY, JK, Boediono


Toriq Hadad

WARTAWAN TEMPO

Semakin dekat hari pemilihan presiden, saya semakin galau. Aneh. Saya tak sebegini kalut ketika memilih wakil-wakil rakyat. Ketika itu saya enteng saja mencontreng partai X--kecuali di tingkat kabupaten saya mencentang nama tetangga saya yang ikut pemilihan--lalu cepat-cepat melipat surat suara, memasukkannya ke kotak. Beres. Sebuah eksekusi yang mudah, nyaris tanpa perasaan.

Memilih presiden ternyata lain. Saya kemrungsung membayangkan harus menjatuhkan pilihan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Saya umrah karena undangan SBY, ketika ia melawat ke lima negara Teluk pada 2006. Saya berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa (sai) di belakang SBY. Lalu, ketika memasuki makam Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi, Madinah, saya juga ikut berdoa bersama dia--peristiwa yang tak terlupakan. Di Istana, kalau ada undangan atau kesempatan wawancara, dia selalu tersenyum dan menyapa, "Apa kabar, Dik?" Ya, dia memang selalu cool. Walau banyak orang mendapat kesan dia rada jaim, saya yakin senyumnya tulus.

Jusuf Kalla selalu hangat, ramai, apa adanya. Satu kelebihan JK, ia ingat dan menyebut nama hampir semua wartawan yang dia kenal. Tapi yang mengesankan: JK tak pernah marah walaupun dikritik pedas.

Sekali waktu pada Maret 2007, saya dan kawan-kawan Tempo mewawancarai JK soal helikopter Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Bencana yang ditahan Bea dan Cukai lantaran perusahaan pemasok belum membayar jaminan kepabeanan. Nah, perusahaan pemasok itu rupanya milik keluarga JK. Begitu saya sampaikan bahwa Tempo ingin menulis laporan utama, JK langsung "menyerang" bahwa soal itu bukan berita lantaran hanya Tempo yang ribut. Saya coba jelaskan, dia tetap berkukuh. Akhirnya wawancara gagal.

Menjelang meninggalkan ruang tamu di kantor Wakil Presiden itu, JK menukas, "Saya hanya ingin menyumbang pada negara. Saya tak ingin setiap ada bencana kita minta bantuan helikopter pada negara tetangga. Malu kita. Janganlah kau buat ini jadi masalah besar. Sudah, ya, saya mau urus negara."

Kami tercengang. Itu hari Jumat, esok harinya kami sudah harus menyerahkan seluruh naskah ke percetakan. Akhirnya kami putuskan urusan helikopter Bakornas tetap sebagai laporan utama. Saya bayangkan JK pasti marah besar, tapi saya tak mau ia menjadi pejabat tinggi pertama di masa reformasi yang "mencederai" kebebasan pers.

Ternyata JK biasa saja. Sebulan setelah laporan utama majalah Tempo muncul, dia mengundang para pemimpin redaksi makan malam di rumah dinasnya. Dia tetap hangat, tak kelihatan memendam amarah, humornya tetap melimpah, dan tetap sibuk mempersilakan siapa saja menyantap coto Makassar.

Dan sekarang tiba-tiba muncul Boediono. Hati saya semakin terbelah. Saya tak bisa lupa bagaimana dia dengan khusyuknya menjalani sai. Dia terus menunduk ketika berlari-lari kecil, kelihatan menikmati betul ritual itu. Lalu suatu hari di Doha, Qatar, rupanya Pak Boed ini kehabisan kemeja tangan panjang. Bersama Menteri Mari Pangestu, saya ikut mengantarnya ke mal, mencari kemeja baru. Saya pikir, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian (pada 2006 itu), ia akan membeli kemeja yang setidaknya US$ 20 sepotong. Dugaan saya meleset jauh. Ia membeli tiga kemeja yang harga ketiganya hanya US$ 10! Memang ada sale besar di sana. "Saya kan ekonom," begitu alasannya.

Tadinya saya berencana untuk tak memilih. Tak sanggup rasanya memihak SBY dan meninggalkan JK yang hangat dan tahan kritik itu. Bingung. Akhirnya saya lempar koin ke udara. Tap... koin mendarat di tangan: lambang Garuda di atas! Siapa yang saya pasang di lambang Garuda? Biarlah menjadi rahasia di bilik suara nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar