Minggu, 31 Mei 2009

Mengemas Citra Ala Mi Instan



Kisah Para Pemoles (3)


Oleh Rahmad Budi Harto, M Bachrul Ilmi

Apakah arti keluarga? Dalam iklan politik calon presiden (capres), itu bisa sangat berguna. Tim Kampanye Nasional Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sengaja 'mengeksploitasi' keluarga capres untuk iklan politik. SBY digambarkan sebagai sosok manusia yang nyaris sempurna. Di tengah kesibukannya sebagai kepala negara, dia masih bisa menyempatkan diri membagi waktu untuk keluarga.

''Di seluruh dunia, istri dan anak calon presiden itu penting. Di Amerika, bahkan anjing milik presiden dibicarakan. Di Prancis, publik ingin tahu siapa pacar Nicolas Sarkozy,'' kata Andi Zulkarnain Mallarangeng, pimpinan Fox Indonesia, konsultan politik kubu SBY-Boediono, yang menempatkan diri di bawah tim Bravo Media Center (BMC).

Iklan yang menceritakan sosok family man seorang SBY itu ditutup dengan gambar sang cucu perempuan yang sedang tersenyum lucu. Intinya, iklan ini ingin menggambarkan bahwa calon pemimpin lahir dari keluarga baik-baik dan bisa membina sebuah keluarga harmonis. Dan, sosok SBY bisa menjadi panutan bagi rakyat. Sebab, selain keluarganya harmonis, SBY berhasil mendidik kedua putranya sehingga bisa berprestasi.

Putra pertama, Agus Harimurti, lulusan terbaik Akademi Militer peraih bintang Adhi Makayasa. Sementara itu, putra kedua, Edhie Baskoro, menjadi anggota DPR termuda dengan dukungan suara paling banyak. ''Penting bagi publik untuk tahu bahwa tidak ada keluarga SBY yang macam-macam atau bermasalah. Juga, tidak ada yang terkait kepentingan bisnis,'' tegas Choel, sapaan Andi Zulkarnain Mallarangeng.

Tapi, Choel menyatakan, selama menjadi presiden, SBY sudah populer sehingga tak perlu lagi pencitraan. Citranya di masyarakat sudah terbentuk dengan sendirinya. Karena itu, dia membantah adanya pemolesan penampilan SBY di depan publik dengan bentuk pelatihan kepribadian.

Guyonan yang disampaikan SBY saat tampil di muka publik, seperti di forum Kadin, menurut Choel juga tidak dibuat-buat. ''SBY sudah presiden, tak perlu dilatih. Beliau sendiri suka joke. Beliau humoris,'' kata Choel.

Pengamat politik UI, Adrinof Chaniago, menduga penyusunan materi iklan capres SBY didasarkan pada beberapa kajian, seperti survei dari konsultan pencitraan. Itu tampak jelas dalam pesan dalam iklan yang mencakup aspek kepribadian dan aspek pendukung tugas kepresidenan.

Aspek kepribadian, salah satunya, ditunjukkan tampilan keluarga SBY. Ini untuk membidik kelompok pemilih strategis, seperti ibu rumah tangga dan pemilih pemula yang masih kental dengan semangat kekeluargaan. ''Dalam kelompok pemilih di Indonesia, salah satu yang cukup besar adalah kalangan ibu rumah tangga. Begitu juga dengan pemilih pemula,'' kata Andrinof.

Terkait kapasitas calon, iklan juga menyebutkan gelar doktor dan jenderal SBY. Ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan yang diklaim bakal membantu SBY menjalankan tugas sebagai presiden mendatang.

Adrinof menilai, strategi iklan SBY jelas mencontoh gaya iklan pemilu capres di Amerika. ''Perilaku sosial pemilih Amerika dan Indonesia tidak beda jauh karena terkait aspek personal dan kemampuan calon dalam memimpin,'' ujarnya.

Kubu SBY juga terlihat paling gencar mempergunakan media televisi. Itu diakui Choel. Dalam pencitraan politik, kata dia, tak bisa mengandalkan satu medium saja. Aspek supremasi udara memang sangat diperlukan dengan berondongan iklan tiap hari di televisi. ''Tapi, kita perlu juga yang namanya flexible engagement untuk membentuk opini dan menangkal serangan-serangan lawan. Itu tugas tim sukses yang lain,'' kata Choel.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa iklan politik kubu SBY memang lebih menonjolkan sisi citra pribadi SBY dibanding, misalnya, program kerja atau pemikiran politik, seperti iklan Prabowo Subianto. Bahkan, iklan politik SBY paling mutakhir mengambil mutlak format iklan mi instan Indomie, sekalian meminjam jingle buatan almarhum A Riyanto yang sangat populer itu.

Choel mengatakan, pemilihan jingle Indomie semata karena secara cepat bisa melekat dalam ingatan dan hati masyarakat. ''Masa kampanye pilpres itu pendek, tak seperti pemilu legislatif. Kami pilih jingle yang sudah melekat. Saya yakin, anak kecil juga cepat menangkap iklan itu.''

Namun, lagi-lagi isinya hanya lagu pujian sentimental dan ajakan memilih SBY sebagai presiden. Persis iklan jualan mi instan atau kecap nomor satu yang sering tak pernah menyebut alasan kuat mengapa kita harus membelinya.

Choel sendiri menolak menyebut iklan politik disamakan dengan menjual kandidat. Paling tidak, iklan ini cukup memancing perdebatan publik di media massa atau forum internet dan juga sindiran dari para lawan politik SBY.

Mungkin, program kerja pemerintahan SBY-Boediono bisa dijelaskan dengan slogan "Lanjutkan" dalam setiap iklan yang berarti program kerja mendatang adalah melanjutkan pemerintahan saat ini. Karena itu, iklan nonpencitraan lebih banyak berisi klaim prestasi pemerintahan SBY. ''Yang perlu adalah bagaimana supaya publik tahu apa yang sudah dikerjakan beliau,'' kata Choel.

Walau iklan ala mi instan itu menuai kontroversi, penampilan publik SBY juga ada yang menuai pujian. Sys NS yang 'desersi' dari Partai Demokrat dan kemudian mendirikan Partai NKRI mengacungkan jempolnya pada paparan SBY dalam acara Dialog Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Kamis lalu (28/5).

''Selamat, Pak. Pertanyaan panelis bagus, jawaban SBY juga sangat bagus,'' kata Sys sambil menyalami Djoko Suyanto, wakil ketua Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono.

Entah kebetulan atau disengaja, ketika menutup dialog kebudayaan itu, SBY membaca puisi berjudul "Palagan Terakhir" yang merupakan salah satu dari kumpulan 31 puisi Taman Kehidupan yang dibuat SBY dalam waktu dua bulan, awal 2004 lalu. Puisi yang menceritakan sengketa berdarah di Tanah Jawa masa lalu itu merupakan refleksi kegundahan SBY tentang berbagai konflik di Tanah Air, seperti Maluku Utara, Ambon, Poso, dan Aceh.

Beberapa hari sebelumnya, Jusuf Kalla (JK) dalam acara sama juga membaca puisi bernada sama yang berjudul "Ambonku, Ambon Kita Semua", yang dibuatnya pada September 2004. JK yang saat itu menjadi menko kesra dalam kabinet Megawati bersama SBY sebagai menko polkam memang bertugas menciptakan perdamaian di wilayah konflik. Namun, peran JK dalam perdamaian justru jauh lebih menonjol dibandingkan SBY.

Apakah puisi SBY ini sengaja untuk melawan 'klaim sepihak' puisi JK? Choel dan Djoko Suyanto menolak spekulasi itu. ''Itu puisi yang paling disukai beliau,'' kata Choel.

Djoko menambahkan, setting Pegunungan Menoreh di puisi "Palagan Terakhir" terletak dekat Akademi Militer di Magelang. ''Itu tempat yang memberi kesan khusus pada SBY,'' kata Djoko.

Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, setidaknya Indonesia beruntung punya dua calon pemimpin yang sama-sama punya empati besar pada perdamaian sehingga krisis bisa teratasi. JK yang baru pertama kali membuat puisi itu isinya langsung menukik pada konflik Ambon. Sementara itu, puisi SBY yang memang gemar membuat kumpulan puisi sejak SMP itu memilih mengambil perumpamaan dari Tanah Jawa sebagai pusat konflik bersejarah.

''Kedua-duanya unik dan autentik. Tapi, puisi SBY lebih berpeluang masuk dalam substansi,'' kata Radar. Mungkin, puisi lebih jujur daripada iklan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar