Rabu, 13 Mei 2009

Membaca Pertimbangan SBY


Rasa percaya diri,atau egoisme bagi yang tidak sepaham, tampak menjadi satu hal yang ingin ditonjolkan oleh SBY dalam pemilihan presiden kali ini.

Banyak kalangan dibuat terperangah dengan keputusannya— walau masih belum diresmikan— mencalonkan Boediono, tokoh yang tidak banyak diperhitungkan para politisi dan pengamat, sebagai wakilnya. Bahkan keputusan ini kemudian memancing sentimen negatif di kalangan partai-partai pendukungnya.

Sikap ini seolah membenarkan bahwa kemenangan mutlak Partai Demokrat dan keyakinan bahwa di balik kemenangan itu adalah berkat eksistensinya membuat SBY dan Partai Demokrat memandang bahwa keberadaan wakil presiden hanya pelengkap saja dalam pemilihan presiden nanti.

Beberapa Pertimbangan

Namun, pilihan SBY atas Boediono itu jelas bukanlah sebuah langkah tanpa pertimbangan. Beberapa alasan tampak bisa diterima, bahkan merupakan sebuah terobosan yang berpotensi mematahkan beberapa mitos yang dikedepankan oleh beberapa kalangan.

Pertimbangan itu meliputi beberapa hal. Pertama, belajar dari pengalaman sebelumnya, SBY tampak lebih memilih sosok pekerja keras yang tidak banyak hitung-hitungan politiknya.Dalam hal ini bukan karena khawatir sang wapres akan menjadi pesaingnya, karena SBY tidak akan bertarung pada pemilihan presiden untuk ketiga kalinya,namun lebih karena SBY ingin langkah-langkah yang diambil oleh wapres lebih murni “teknis”. Hal inilah yang diharapkan akan mempercepat kinerja pemerintahannya.

Kedua, SBY melihat bahwa sosok nonpolitisi merupakan jalan tengah terbaik di antara banyak pilihan yang disodorkan partai-partai. SBY tampak tidak ingin dipandang berat sebelah dengan memilih satu di antara kandidat yang disodorkan partai-partai pendukungnya. Pertimbangan ini dianggap bagi para pengkritiknya sebagai langkah cari aman yang bersifat simplifikasi.

Namun, SBY tampak melihat bahwa partai-partai pen-dukungnya bukanlah partai yang secara umum memang bisa seratus persen legowo dengan pilihan capres dari partai lain. PKS,PAN,ataupun PKB merupakan partai-partai yang punya tradisi saling berseberangan dalam beberapa hal.

Tidak ada jaminan bahwa terpilihnya seorang kandidat dari partai tertentu akan meningkatkan militansi bagi pendukung partai lainnya. Apalagi jumlah suara di antara partai-partai itu tidak terlalu berbeda secara signifikan. Di antara pilihan-pilih-an yang tidak mengenakkan itu SBY tampak memilih untuk ”berkompromi” dengan memilih orang netral.

Dalam konteks praktis,figur netral wapres diharapkan dapat membangun komunikasi dengan lebih bebas dengan semua menterimenterinya kelak. Ketiga, keputusan ini tampak juga dilandasi oleh ketidakpercayaan bahwa isu Jawa dan non-Jawa akan memainkan peran signifikan dalam pilpres di negara yang semakin dewasa dalam berpolitik ini.

Jika logika ini berlaku, misalnya, pasangan Megawati dan KH Hasyim Muzadi seharusnya menang total di Jawa pada Pemilu 2004 lalu. Kenyataan memperlihatkan bahwa kalkulasi mengenai kebersihan, kinerja, dan sedikit pertimbangan ideologis telah melampaui pertimbangan etnisitas dalam politik terutama di level nasional. Di samping itu adalah naif jika membayangkan seorang wapres yang notabene dilahirkan di sebuah provinsi di luar Jawa, dapat merepresentasikan “seluruh non- Jawa”.

Di era otonomi daerah sekarang ini egoisme kedaerahan di luar Pulau Jawa tampak terlalu besar untuk disimplifikasi menjadi sekadar “non-Jawa”. Lebih dari itu,isu yang bersifat simplifikasi ini sudah sepantasnya dibuang jauh-jauh manakala kita berkomitmen untuk membangun sebuah kehidupan yang berorientasi sistem dan program.

Sebab, kesibukan kita mengurusi hal-hal seperti ini akan terus melanggengkan keterjebakan bangsa pada halhal yang politis dan melupakan hakikat kerja yang seharusnya dikedepankan. Keempat, sementara itu isu terkait dengan perwakilan muslim dan “sekuler” tampak juga tidak terlalu penting bagi SBY.

Dengan mengambil pelajaran dari Pemilu Legislatif 2009 yang menunjukkan lemahnya dukungan terhadap partai-partai Islam, SBY yakin bahwa sekali lagi pertimbangan primordial termasuk dalam pilihan politik masyarakat tidaklah sekuat dulu. Di samping itu,kandidat potensial yang akan bersaing dengan pasangan SBY-Boediono juga tidak terlalu memperlihatkan wajah keislaman atau keulamaannya.

Dalam kondisi seperti ini, isu muslim dan sekuler dengan demikian menjadi tidak relevan. Apalagi dalam praktiknya wapres pada akhirnya lebih dilihat sebagai orang pemerintah ketimbang sebagai orang sekuler atau religius.

Secara umum langkah yang diambil oleh SBY dapat dilihat sebagai simbolisasi untuk makin mendekatkan dirinya langsung kepada rakyat dan melonggarkan dirinya dari “cengkeraman” partai-partai. Meski hal ini tidak berarti menafikan keberadaan partai-partai pendukungnya, namun kemenangannya nanti dapat menguatkan kesan kontrak politik langsung antara pasangan ini dengan rakyat.

Beberapa yang Tercecer

Walau begitu, sikap percaya diri SBY yang besar ini meninggalkan beberapa persoalan yang akan segera di-hadapinya.Persoalan itu meliputi aspek politis dan kinerja. Dalam konteks politik,keberadaan Boediono akan mengurangi modal politik SBY terutama dalam memperoleh dukungan parlemen.

Dengan potensi beberapa partai besar tidak berada dalam barisannya, langkah SBY dan jajarannya akan tidak mudah. Dalam konteks checks and balanceskondisi ini menyehatkan; namun dalam hal formulasi dan evaluasi kebijakan, hal ini bisa amat melelahkan. Dapat dibayangkan bagaimana seru dan melelahkannya pertarungan jika Golkar,PDIP,Hanura, dan Gerindra dalam parlemen menyatukan langkah vis a vis pemerintah.

Di sini akselerasi yang diharapkan bukan tidak mungkin terhambat secara politis.Apalagi menjelang Pemilu 2014 nanti saat di mana masing-masing partai akan berlomba-lomba tampil sekritis mungkin guna memperbaiki citranya di mata masyarakat. Di sisi lain terpilihnya Boediono yang notabene tidak dikehendaki oleh partai-partai pendukung SBY menunjukkan rasa kurang sensitif terhadap partai-partai pendukungnya.

Meski melandasi diri dengan pernyataan partai-partai yang menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada SBY, namun pilihan yang terkesan mendadak kepada figur yang jauh dari yang diharapkan membuat partai-partai Islam justru merasa ditinggalkan. Perasaan ini bisa jadi akan kontraproduktif bagi kesolidan pendukung SBY,namun juga akan menambah defisit dukungan dalam parlemen.

Saat ini sudah ada elemen partai pendukung yang berdemonstrasi yang menentang pencalonan Boediono, bahkan sudah ada wacana untuk meninggalkan pasangan SBY-Boediono. Kalau sudah begini, kekhawatiran akan adanya fenomena presiden yang didukung kekuatan minoritas di parlemen bukan tidak mungkin terjadi. Secara politik pula keberadaan Boediono di mata publik tidaklah istimewa.

Beberapa hasil survei mengindikasikan lemahnya pengenalan dan dukungan rakyat terhadapnya. Dalam hal ini sikap terlalu percaya diri SBY dan partainya dapat berakibat tidak menyenangkan, setidaknya berpotensi besar membuat kerja-kerja marketing politik PD dan elemen-elemen pendukungnya dalam pilpres nanti menjadi semakin berat.

Sementara itu dalam hal kinerja, kecenderungan sikap hati-hati SBY sesungguhnya layak untuk diimbangi oleh keberadaan seorang wapres yang tangkas dan berani. Sebagaimana Bung Hatta, seorang administrator, yang menutupi kelemahan Bung Karno, atau Biden, seorang ahli kebijakan luar negeri dan pertahanan, yang menambal kelemahan Obama.

Figur wapres seharusnya mampu memainkan peran yang melengkapi SBY. Namun, karakter Boediono yang kalem, konservatif, dan hati-hati tampak tidak mudah untuk mengisi sisi lemah seorang SBY. Apakah pasangan SBY-Boediono benar-benar akan mewujud dan mampu meyakinkan rakyat banyak dan terpilih? Biarkanlah rezim waktu yang memutuskannya. (*)

Firman Noor
Alumnus ANU, Australia, Peneliti Pusat Kajian Politik UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar