Minggu, 17 Mei 2009

Koalisi Parpol: Antara Cita-Cita dan Realitas

Dalam beberapa minggu terakhir ini, kita selalu disuguhi berita-berita tentang kesepakatan, penjajakan, dan komunikasi politik antarelite partai dalam membangun koalisi.

Semuanya dibalut oleh satu tujuan, yakni memperjuangkan calon presiden. Golden Triangle, Golden Bridge, kemudian Koalisi Besar menjadi headline surat kabar yang nadanya menggarisbawahi kesepakatan itu. Belakangan, Hatta Rajasa diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melakukan komunikasi politik dengan elite PDIP.

Sebuah perkembangan baru karena sejak tidak lagi menjadi presiden, Megawati dan PDIP dianggap sebagai kekuatan oposisi. Ada spekulasi bahwa pendekatan ini akan mengurangi kadar oposisi PDIP. Sebaliknya, Partai Golkar dan Jusuf Kalla kini berada di luar lingkaran SBY. Kalau tidak ada perubahan, partai Orde Baru itu akan bersama-sama dengan Partai Hanura menghadapi SBY dalam pemilu presiden (pilpres) mendatang.

Berita paling mutakhir adalah ngambeknya PKS, PKB, dan PAN terhadap berita mengenai dipilihnya Boediono sebagai calon wakil presiden SBY dalam pilpres tersebut. Ketiga partai di atas berwacana untuk menarik dukungannya terhadap Partai Demokrat.

Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN Amien Rais menyatakan keinginannya untuk membentuk poros alternatif karena ternyata SBY juga tidak memperhitungkan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden sebagaimana diusulkan sebelumnya. Bagaimana kira-kira kita bisa menjelaskan konstelasi politik seperti di atas?

Apakah memang ini merupakan hal baru dan bermanfaat bagi pematangan demokrasi kita? Atau hanya sebatas upacara politik atau gimik dari sebuah prosesi demokrasi dalam memilih orang nomor satu dan dua di republik ini? Jika di masa lalu suksesi selalu berdarah-darah dan tidak demokratis, apakah model koalisi seperti ini yang menggantikannya?

Kekuatan Pendorong

Sejak reformasi politik dilakukan, Indonesia mengalami perkembangan yang tak ada presedennya. Sedikitnya ada tiga hal yang patut untuk diberi catatan. Pertama, semua elite politik berusaha mengadopsi demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara.

Dalam kaitannya dengan suksesi kepemimpinan, mereka sepakat untuk menggunakan pemilu sebagai mediumnya. Baik pemilu legislatif maupun pilpres telah disepakati sebagai jembatannya. Tiga pemilu di era Reformasi telah membuktikan cita-cita tersebut. Kedua, aktor politik tersebar di berbagai elemen. Bukan hanya negara yang berhak menentukan proses demokrasi, melainkan masyarakat juga.

Untuk itu, kebebasan berpartai menjadi pilihan. Tidak ada lagi larangan bagi siapa pun untuk membentuk partai politik. Tidak terlalu mengherankan bila kemudian jumlah partai pun berkembang dari waktu ke waktu. Bila pada Pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, Pemilu 2004 diikuti oleh separuh dari jumlah tersebut.

Kemudian dalam pemilu yang lalu, jumlahnya kembali membengkak menjadi 38 partai nasional, ditambah 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ketiga, keterbukaan informasi. Tanpa media massa, kita tidak tahu apa-apa mengenai kegiatan para elite partai tersebut.

Dengan adanya kebebasan untuk memperoleh berita, makin bebas pula para aktor tersebut bermanuver. Seolah, setelah masa kampanye pemilu usai, kini ada panggung baru yang dapat digunakan untuk memopulerkan keberadaan elite partai di republik ini. Sementara pendidikan dan sosialisasi politik belum dapat dilakukan oleh mereka, hiruk-pikuk koalisi yang diberitakan media diharapkan mampu menggantikannya.

Masalah

Semua elite partai politik mengklaim bahwa yang mereka lakukan adalah demi kepentingan negara dan bangsa. Artinya, keberadaan partai tidak semata-mata mencari kekuasaan bagi para fungsionarisnya, melainkan demi kepentingan yang lebih besar.Yang menjadi masalah, apa memang demikian?

Memang,bila presiden terpilih sudah efektif dan menjalankan kekuasaannya dengan baik, tujuan tersebut tak terbantahkan. Karena partailah negeri ini mendapatkan pemimpin yang membela kepentingan rakyatnya. Akan tetapi, sudah seberapa jauh cita-cita tersebut tercapai? Yang paling nyata adalah bahwa para elite partai berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh bagian dalam proses alokasi nilai di atas.

Atas nama ideologi, atas nama etnik, atas nama budaya, mereka memperjuangkan seseorang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Namun yang paling kasatmata adalah bahwa perjuangan itu tidak gratis. There is no such thing as a free lunch, tak ada makan siang gratis dalam politik. Kita memang patut berterima kasih kepada partai atas prakarsanya untuk memilih calon presiden. Untuk itu, pembagian jatah akan mereka terima cash ketika pemerintahan terbentuk kelak. Namun, kita lupa bahwa sistem pilpres sekarang sudah berbeda dengan masa lalu.

Dulu, semuanya tergantung pada partai atau elite yang berkuasa. Sekarang tidak, rakyatlah yang menentukan. Siapa pun yang terpilih adalah karena pilihan rakyat, bukan elite. Masalahnya, rakyat dapat apa? Ini yang menjadi persoalan. Rasanya, sebagian besar masyarakat sekarang sudah sangat well informed.

Mereka berharap agar tokoh partai jangan terlalu egois. Jangan berlagak menentukan republik ini. Dengan pemilihan langsung, rakyatlah yang berdaulat. Jadi, yang harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana agar keberadaan partai serta manuver politik dalam berkoalisi menguntungkan masyarakat, jangan hanya elite politik.

Prospek

Sebagai negara modern, kita memerlukan sistem bernegara yang modern pula. Ketika demokrasi telah menjadi pilihan, prinsip-prinsip demokrasi juga yang mesti diterapkan. Kebebasan berpolitik, berpartisipasi, dan pemilu menjadi ciri utama dari sistem ini. Pengambilan keputusan pun dilakukan secara demokratis.

Dalam konteks pembentukan pemerintahan, siapa pun pemenang pemilu, harus disepakati sebagai pemilik sahnya. Dengan kata lain, kita harus meninggalkan berbagai otoritas karismatik dan tradisional dalam mengakui sebuah lembaga kepemimpinan. Karena rakyatlah pemilik kedaulatan, pilihan rakyatlah yang paling menentukan. Jika sekarang pasangan Kalla dan Wiranto sudah terbentuk, kemudian menyusul SBY-Boediono, lantas siapa lagi berikutnya?

Semuanya harus diserahkan kepada rakyat yang akan memilihnya. Tidak seorang pun yang berhak mengatasnamakan rakyat atau ideologi dalam hal ini. Lagipula, rakyat Indonesia sekarang adalah rakyat yang sudah melek politik, jadi tidak lagi punya dasar untuk mengatasnamakan rakyat dalam pemilu. Kalaupun koalisi dianggap perlu, keberadaannya sudah terakomodasi dalam syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Jualan koalisi berikutnya hanya pas dalam proses menjalankan pemerintahan. Karena tidak ada partai yang dapat memperoleh suara mayoritas, koalisi dalam penyelenggaraan negara menjadi sebuah kebutuhan. Namun harus pula diingat bahwa karena sistem yang kita anut adalah presidensial, karakter koalisi sebenarnya tidak lagi diperlukan. Toh semua anggota DPR memiliki hak pengawasan.

Secara inheren mengandung fungsi oposisi pula. Kalaupun diperlukan, hanya pemerintah yang harus mencari kawan untuk berkoalisi. Sebab, mekanisme ini akan diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan pemerintah di parlemen. Semakin besar dukungan terhadap pemerintah, akan semakin efektif tugasnya.(*)

Indria Samego
Peneliti Senior The Habibie Center

Tidak ada komentar:

Posting Komentar