Minggu, 31 Mei 2009

Pemilu 2009 Rekayasa?



Agus Widiarto
Direktur Center for Indonesian Reform

Episode pemilu legislatif baru saja usai. KPU telah menetapkan bahwa Partai Demokrat memperoleh suara terbanyak sekitar 20 persen dengan raihan kursi sebanyak 150 kursi. Anggota legislatif terpilih pun telah ditetapkan oleh KPU. Pemilu legislatif kali ini juga menghasilkan konfigurasi politik sembilan partai politik yang berhak untuk menghuni Senayan.

Namun, episode pemilu ini tak henti sampai di sini. Masih ada episode season 2, pemilu presiden 8 Juli nanti. Riuh rendah dan hiruk-pikuknya pun kian terasa. Memang, ada pertalian yang tak bisa dipisahkan dari episode pemilu legislatif lalu. Munculnya tiga pasang calon presiden dan wakil presiden adalah konsekuensi logis dari hasil konfigurasi politik partai-partai, yang berujung kepada pengelompokan koalisi partai.

Fakta menunjukkan, koalisi ini terbangun melalui sebuah proses komunikasi politik yang berliku-liku dan bahkan sebagian publik melihatnya sebagai episode yang menjemukan, terutama dalam penentuan paket capres-cawapres. Terasa menjemukan karena episode ini sering kali mempertontonkan tingkah laku aktor yang lebih memburu kekuasaan, daripada mempedulikan kegetiran rakyat yang terpaksa harus gigit jari pula karena suara mereka kerap dimanipulasi, dipindahkan, dihilangkan oleh sejumlah aktor yang berperan sebagai pelaku antagonis.

Di sisi lain, banyak pihak yang menuding bahwa episode pemilu kali ini mempertontonkan kualitas pemilu terburuk, dibandingkan penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Beragam persoalan, misalnya data DPT yang kacau, tertukarnya surat suara antardapil, molornya batas penghitungan suara, manipulasi dan penggelembungan suara, terbelahnya partai dalam memberikan dukungan politik ke calon presiden dan wakil presiden, dan jual beli suara, menjadi fakta-fakta yang tak terbantahkan untuk mengatakan bahwa pemilu kali ini sarat dengan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, wajar jika banyak pihak mempertanyakan validitasnya.

Dari rangkaian episode pemilu legislatif lalu dan manuver-manuver elite jelang pemilu pilpres nanti, wajar jika sejumlah pertanyaan muncul. Apakah carut-marutnya pemilu kali ini merupakan sebuah skenario besar yang dirancang? Apakah hanya sekadar konsekuensi logis dari permainan elite politik? Apakah memang jalannya episode ini mengalir begitu saja?

Kelompok mana yang diuntungkan dari carut-marutnya pemilu kali ini? Apakah keuntungan ini menjadi sebuah blessing indisguise bagi satu pihak? Konteks sejarah banyak episode dalam sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa sebuah peristiwa dirancang oleh aktor-aktornya. Namun, di sisi berbeda, tak jarang skenario yang dibangun justru memiliki implikasi yang tak pernah dipikirkan dan direncanakan sebelumnya, yang kemudian mempengaruhi jalannya episode berikutnya. Blessing indisguised dapat disebut sebagai sebuah hikmah dari sebuah kejadian, atau bahkan bisa disebut sebagai sebuah kejadian yang memang sudah demikian adanya.

Dalam bahasa yang lebih religius, blessing indisguised disebut sebagai sebuah kehendak Sang Pencipta. Episode peristiwa kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah contoh nyata sebuah blessing indisguised yang bertalian dengan rekayasa aktor. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah fakta sejarah. Akan tetapi, di sisi lain, fakta itu tidak berdiri sendiri. Ada fakta lain yang mempengaruhi dan mengitarinya. Kekalahan Jepang tanggal 15 Agustus 1945 oleh sekutu bisa disebut sebagai sebuah blessing indisguised bagi bangsa Indonesia. Faktor ini pula yang mendorong para pelaku sejarah merancang sebuah proklamasi yang dipercepat dari yang seharusnya.

Seperti telah disampaikan di muka, Pemilu Legislatif 2009 ini menghadirkan kepada kita sebuah fakta yang kontroversial. Disebut demikian karena pelaksanaan pemilu penuh dengan ragam persoalan, yang mengundang kritik secara tajam. Timbul dugaan bahwa beragam persoalan yang muncul bukanlah persoalan yang terjadi begitu saja. Persoalannya tidak semata-mata administratif, seperti ketidakakuratan data dalam DPT, tetapi sudah merambah ke ranah politik.

Jika kita menempatkan episode Pemilu 2009 ini sebagai sebuah cerita yang utuh, agaknya fakta-fakta yang mengitarinya, baik sebelum dan sesudahnya patut untuk dihadirkan di sini. Sebut saja, soal produk UU tentang Pemilu tahun 2008 yang proses pembahasannya berlarut-larut dan yang telah memberikan pekerjaan amat berat bagi KPU, untuk menyelenggarakan pemilu. Pada titik ini, kesemrawutan pemilu kali ini memang tidak selamanya menjadi domain tanggung jawab KPU. Banyaknya parpol peserta Pemilu 2009 adalah produk UU Pemilu ini.

Bahwa KPU mempunyai kewajiban menyelenggarakan pemilu dengan baik memang seharusnya dilakukan, tetapi variabel-variabel yang terlalu rumit dalam segala aspek penyelenggaraan pemilu, adalah sebuah akibat dari kebijakan dan proses politik. Jika dilihat dari perspektif hubungan sebab akibat, carut-marutnya pemilu kali ini tak bisa dilepaskan dari perilaku aktor-aktor politik.

Publik tentu masih ingat ketika PKB pada akhirnya terbelah menjadi dua kubu, Muhaimin Iskandar dan Yeni Wahid. Pendapat rasional jelas mengatakan bahwa pecahnya PKB bukanlah tanpa kesengajaan. Bisa saja pihak-pihak yang bersengketa mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud memecah belah PKB. Publik tentu juga masih ingat ketika SBY mengumumkan dalam rapat kabinet, soal kemungkinan JK dan dirinya akan maju dan berkompetensi sebagai kandidat presiden, mengapa? Apakah ketika itu SBY memang sengaja menempatkan JK sebagai kompetitor karena adanya kekhawatiran soal capres tunggal?

Kita bisa saja berbeda argumentasi terhadap persoalan ini. Bisa saja episode ini memang dirancang untuk mencegah capres tunggal. Atau, bisa saja kita menyebutnya sebagai sebuah blessing indisguised. Artinya, kriteria yang dibuat oleh Demokrat telah menyebabkan JK maju sebagai kandidat presiden. Sehingga, hikmah yang terjadi adalah tidak terjadi capres tunggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar