Rabu, 13 Mei 2009

Bangkitnya Kembali Politik Nepotisme

Wednesday, 13 May 2009
Dari hasil rekapitulasi suara nasional KPU, selain menunjukkan bahwa hasil quick count terbukti mempunyai posisi akurat dengan hasil penghitungan nasional, kita juga menyaksikan sebuah kebangkitan politik baru yang dulu telah dipendam.

Hal itu adalah politik nepotisme yang berwujud nyata pada terpilihnya banyak putra, putri, keponakan, atau kerabat dari para pejabat lokal dan elite politik nasional. Yang menarik, kebangkitan politik nepotisme ini membentang luas dari Banten, Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumatera.

Kita tentu patut prihatin dengan fenomena ini, sebab budaya nepotisme yang dulu berusaha dikikis habis, ternyata malah seolah dibangkitkan kembali dengan sengaja. Politik nepotisme dari generasi penyusu dan generasi penumpang— meminjam istilah Buya Syafii Maarif—sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan budaya nepotisme yang dulunya dikecam oleh para tokoh politik itu.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Orde Baru, di bawah kekuasaan Soeharto dan kroninya, sangat gemar memelihara politik dinasti dan kekerabatan. Tidak aneh jika politik yang akhirnya berujung pada nepotisme itu kurang memperhatikan jenjang karier para anak bangsa lain yang sebetulnya juga banyak yang berprestasi unggul.

Sebetulnya politik nepotisme atau dinasti itu sudah terbukti banyak memberikan kerugian pada bangsa Indonesia dan kader bangsa yang lain. Betapa tidak, karena semua restu terpusat pada Cendana dan mesti atas izin Soeharto, banyak aset-aset bangsa dan kekayaan negara yang tergadaikan dan tergunakan untuk memelihara dinasti politik keluarga itu. Bahkan, dalam semua lini, termasuk militer, menjadi rahasia umum bahwa siapa yang ingin kariernya cepat melejit dan aman, hendaknya dekat-dekatlah dengan keluarga Istana.

Menuju Rasionalitas Politik

Meski banyak yang menyatakan bahwa politik nepotisme dinasti adalah hal wajar dan terjadi hampir pada semua negara,namun hendaknya kita memandang secara objektif dan cermat.Memang benar bahwa di negara lain banyak klan-klan politik yang hingga sekarang masih eksis dan terus memainkan peran signifikan.

Hal itu tampak mulai dari dinasti Bush,Clinton,dan Kennedy di Amerika, Macapagal di Filipina, Bhutto di Pakistan, Khadafi di Libya, Nehru dan Gandi di India, hingga Mujiburrahman di Bangladesh. Namun, para politisi dari klan yang masuk ke dunia politik itu kebanyakan menempuh karier dari bawah dan berdasarkan prestasi yang dicapainya.

Meskipun ada juga yang hanya mengandalkan kebesaran nama kakek atau orangtuanya. Yang menjadi sorotan dan kritikan banyak pihak terhadap politik nepotisme atau dinasti di Indonesia adalah ketika tiba-tiba ada anak, menantu, keponakan, atau kerabat seorang tokoh politik atau pejabat publik yang sebelumnya tidak pernah terdengar suara dan keaktifannya,tiba-tiba muncul dan terpilih dengan mulus.

Hal ini tentu saja menggusur dan meminggirkan kader- kader partai lain yang sudah lama membangun karier, mengabdi, melayani, dan ikut membesarkan partai.Sangat mungkin mereka itu terpilih karena pengerahan mesin birokrasi dan jaringan politik orang tuanya guna memengaruhi para pemilih.

Sehubungan dengan itu, Ibnu Khaldun—seorang tokoh ilmuwan besar Islam yang banyak meneliti tentang naik turunnya kejayaan kekhalifahan dan dinasti dalam sejarah Islam—dalam magnum opus-nya yang berjudul Muqaddimah, mengkritik keras politik model ini. Menurut Ibnu Khaldun, kegagalan dan kejatuhan dinastidinasti Islam di masa lampau kebanyakan karena mereka terlalu memegang teguh politik tradisional yang bertumpu pada kekerabatan atau sukuisme (ashabiyah).

Dengan ashabiyah yang dominan itu pada khalifah-khalifah, baik pada masa Ummayah,Abbasiyah, hingga Fatimiyah dan Turki Ustmani, menjadikan kekuasaan sebagai warisan keluarga yang harus diberikan kepada keturunan mereka. Dalam kisah yang lain, cerita tentang Usman bin Affan yang tidak tegas dan banyak mendahulukan kepentingan keluarganya juga patut kita ingat dan perhatikan dengan saksama.

Sebelum menjadi khalifah,Usman terkenal sebagai sahabat Nabi yang dermawan dan budiman. Sayangnya, ketika menjadi khalifah, sebagaimana dicatat oleh Faraq Fauda (2007), dianggap kurang tegas dan terlalu mendahulukan kepentingan keluarga besarnya, yaitu Bani Umayyah.

Kemudian saudara-saudara yang ditunjuk oleh Usman menjadi pejabat itu banyak yang tidak kompeten dan berbuat seenaknya dengan mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.Akibatnya, pemerintahan Usman boleh dibilang gagal dan beliau meninggal dalam keadaan mendapatkan fitnah besar akibat perbuatan kerabatnya yang terlalu ambisius dalam berpolitik. Bahkan Ali bin Abi Thalib, pengganti sah Usman, oleh kerabat khalifah ketiga ini terus dimusuhi dan dicaci maki.

Memperkuat Kaderisasi dan Meritokrasi

Dari sejarah itu, kita hendaknya mau belajar dan memahami bahwa politik nepotisme dari generasi penyusu dan generasi penumpang ini kurang baik jika diteruskan dan dijadikan sebagai paradigma politik di Indonesia. Berbagai fenomena konflik yang terjadi di PDIP dan PKB yang didominasi oleh sebuah keluarga menunjukkan bahwa kuasa keluarga sangatlah besar menentukan segalanya.

Akibatnya, jika ada kader atau aktivis yang melawan atau mengkritik kebijakan yang ada, siapsiap saja untuk dikucilkan,dimatikan karier politiknya, hingga dikeluarkan dari partai. Dinasti Bhutto di Pakistan dan klan Thaksin di Thailand yang terus berkonflik, hendaknya juga menjadi catatan berharga bagi kita semua.

Dalam berpolitik, para tokoh dan aktivis politik di negeri ini hendaknya mau dan mampu mentransformasikan paradigma politiknya menuju politik yang modern. Politik modern dalam hal ini adalah politik yang berdasarkan pada sistem modern,kepemimpinan kolektif, tidak terpaku pada satu keluarga dan satu tokoh,menghargai kader berdasarkan karier,prestasi, dan pengabdian, serta yang lebih penting adalah perlunya melakukan regenerasi kepemimpinan.

Jadi,meritokrasi dan kaderisasi menjadi bagian yang sangat vital dan penting dalam dinamika dan denyut nadi sebuah proses politik. Jangan sampai aspek meritokrasi dan kaderisasi ini dikalahkan oleh politik nepotisme yang mementingkan kerabat dan keluarga.

Akhirnya, agar transisi demokrasi berjalan dengan pasti dan tidak berbelok arah ke masa lalu zaman aristokrasi, politik nepotisme yang banyak dipraktikkan para pejabat publik dan tokoh politik kita hendaknya terus diprotes, dikritik, dan segera diakhiri. Kita tidak melarang kerabat seorang tokoh politik berkarier di dunia yang sama dengan orang tua, paman,atau kakeknya.

Namun,seyogianya danseharusnya, aspek meritokrasi dan kaderisasi tetap dijadikan panduan utama untuk menaikkan,memunculkan, mencalonkan, dan menjadikan kerabat tokoh itu sebagai pemimpin partai, tokoh publik, atau calon pemimpin bangsa.Kita semua tentu tidak ingin apabila bangsa yang besar dan sudah susah payah dibangun lama ini jatuh dalam kubangan politik nepotisme.Wallahu A’lam Bisshawab.(*)

Ahmad Fuad Fanani
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar