Kamis, 28 Mei 2009

Mitos Capres 2009


Kalau diumpamakan dengan pertandingan, tiga pasang capres-cawapres kita seakan sedang berada dalam perlombaan lari jarak pendek, sprint.


Ketiganya berusaha untuk lari secepat mungkin guna mencapai garis finis dan merenggut kemenangan.Mereka sadar benar bahwa waktu yang disediakan untuk melakukan sosialisasi dan kampanye –yang tak sampai dua bulan—tidak terlalu panjang. Sebab itu, mereka langsung tancap gas begitu peluit pertandingan dibunyikan dari titik start masing-masing: lokasi deklarasi.

Pasangan JK-Win yang lebih dulu mendeklarasikan diri di Tugu Proklamasi, pada Minggu 10 Mei 2009, langsung melakukan manuver. Beberapa hari setelah perhelatan itu, mereka sowan ke Sultan HB X dan melakukan silaturahmi politik dengan tokoh ulama NU maupun Muhammadiyah. Pasangan ini terus bergerak menemui kantong-kantong pendukungnya. Begitu pula dengan pasangan SBY-Boediono. Setelah deklarasi pada 15 Mei 2009 Gedung Sabuga ITB, Bandung, juga langsung melakukan gebrakan sosialisasi.

Manakala SBY ke Bali, Boediono pada 22 Mei 2009 yang berencana salat Jumat di Masjid Istiqlal akhirnya melakukannya di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta. Tak ketinggalan, pasangan Mega-Pro langsung bikin kehebohan politik dengan melakukan deklarasi dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Minggu, 24 Mei 2009.Megawati juga mengunjungi Pasar Blok A, Jakarta, sehari kemudian.

Mitos Politik

Bercerainya Kala dari SBY, diambilnya Boediono sebagai cawapres SBY, dan berjodohnya Mega- Prabowo membuat mitos capres 2009 berbeda jauh dari mitos capres 2004. Kita coba lihat perbandingan dan signifikansinya.

Kita masih ingat, dalam pencapresan 2004 primordialisme menjadi mitos politik yang sangat kuat. Faktor Jawa-luar Jawa,sipil-militer, nasionalis-Islam dan isu gender menjadi pertimbangan dalam pencocokan pasangan.Kecocokan primordialisme itu pula yang dijadikan dasar penguatan merek politik (political branding) sekaligus alat jualan saat kampanye.

Karenanya kita maklum,ketika itu kalau Wiranto (militer) memilih Solahuddin Wahid (sipil berbasis NU),Amien Rais (agamais berbasis Muhammadiyah) berpasangan dengan Siswono Yudhohusudo (nasionalis), SBY (milter-Jawa) menggandeng Kalla (sipil luar Jawa),Megawati (gender,nasionalis) mengambil Hasyim Muzadi (agamais-NU-Jawa) serta Hamzah Haz (sipil) merangkul Agum Gumelar (militer). Kala itu muncul anggapan keunggulan satu pasangan atas pasangan yang lain dilihat dari siapa yang paling lengkap komposisi primordialismenya.

Maka beruntunglah pasangan SBY-Kalla. Mereka lengkap dalam kemiliteran- kejawaan serta kesipilankeluarjawaan. Ditambah pula keduanya memanfaatkan media massa secara masif sebagai media kampanye, termasuk gencarnya iklan politik yang mereka lakukan. Popularitas SBY yang tinggi karena “dizalimi”oleh Taufiq Kiemas menunjang keberhasilan duet ini.

Dalam pencapresan 2009 ini, tampaknya mitos primordialisme sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke isu yang lebih rasional: pemihakan pada kepentingan rakyat melalui isu ekonomi prososial “versus” propasar.Pergeseran mitos ini bukan saja menarik, tetapi sangat penting. Demokrasi Indonesia mulai memasuki babak pendewasaan politik. Rupa-rupanya sentimen kedaerahan mulai dianggap tidak masalah lagi, yang sekarang diperlukan adalah kesejahteraan rakyat. Adalah pasangan SBY-Boediono yang sering diperhadapkan secara diametral dengan pasangan Mega-Prabowo.

Sekalipun kubu SBY-Boediono menolaknya, opini publik terlanjur menyebut pasangan ini adalah propasar.Label “neolib” pun dilekatkan kepada mereka. Sebaliknya, Mega-Prabowo menegaskan diri sebagai pasangan yang menganut sistem ekonomi kerakyatan. Baik Mega maupun Prabowo berulang-ulang menegaskan pentingnya ekonomi prososial ini. Adapun pasangan JK-Wiranto (JK-Win) tampaknya memilih sikap di tengah. Campur tangan diperlukan dalam melaksanakan ekonomi pasar demi kesejahteraan rakyat. Pendukung pasangan ini juga mencoba memakai mitos primordialisme sebagai pasangan yang lengkap kenusantaraannya.

Kalla yang Makassar beristrikan orang Minang, sementara Wiranto yang Jawa beristrikan orang Gorontalo. Efektifkah mitos baru ini membawa masing-masing pasangan ke Istana Negara? Tentu saja tidak otomatis. Tetapi yang jelas, kini publik bisa menilai –dan ini pertanda baik masuknya cara baru memilih pemimpin melalui mekanisme rational choice—siapa di antara mereka yang paling pas mengelola Indonesia. Siapa di antara mereka yang lebih menjanjikan dari segi kemampuan mencapai Indonesia yang mandiri dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Deklarasi dan Penegasan Mitos

Disadari atau tidak,sebetulnya masing-masing pasangan caprescawapres sendirilah yang memulai digulirkannya mitos prososial atau propasar ini. Mereka mengawalinya dari tempat deklarasi masingmasing. Yang paling mudah dilihat adalah deklarasi pasangan Mega- Pro yang mengambil lokasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Minggu 24 Mei 2009.

Dalam keseharian, di tempat itu para pemulung mengais-ngais sampah demi mencari rezeki. Saat deklarasi berlangsung, ribuan “wong cilik” diundang di tempat ini. Sekalipun deklarasi ini memakai biaya ratusan juta rupiah, pidato politik yang disampaikan pasangan Mega-Pro semakin menguatkan pilihan sistem ekonomi mereka: prorakyat. Sepekan sebelumnya, dalam deklarasi pada 15 Mei 2009 di Sabuga ITB Bandung yang banyak dinilai “wah”, SBY-Boediono tak pelak mengesankan sikapnya yang propasar.

Tiruan model deklarasi “ala” Obama-Biden membuat pasangan SBY-Boediono dipersepsikan oleh publik sebagai duet yang mengusung nilai Barat (AS). Gaya deklarasinya yang berkiblat ke AS seakan membenarkan anggapan sementara orang yang menyebut pasangan ini “neolib”, walaupun belum tentu semua yang mengecap itu paham benar apa arti neoliberal. Memilih tempat deklarasi di Tugu Proklamasi, JK-Win sepertinya ingin mengatakan kepada publik bahwa mereka ingin mencontoh Dwitunggal Proklamator Soekarno-Hatta.

Dalam deklarasi pada tanggal 10 Mei 2009 itu JK-Win melakukannya dengan cukup sederhana. Hanya dihadiri sekitar 200 orang dan ditandai dengan pelepasan 100 balon, deklarasi ini konon hanya menelan biaya Rp20 jutaan. Beberapa pekan ke depan, mitos ekonomi propasar (neolib) dan ekonomi prososial (kerakyatan) akan terus bergulir.

Dalam masa kampanye nanti, seperti sudah dimulai dari sekarang, khususnya dalam debat ekonomi di Forum Kadin, pertarungan dua mitos ini akan semakin menguat, termasuk pada masa kampanye pilpres, baik secara terbuka ataupun tertutup. Bagi kita, selaku pemilih, semakin terbuka dan jelasnya masing-masing pasangan mengungkapkan sistem ekonomi (baca: konsep pembangunan) yang akan dilaksanakan jika terpilih, tentu sangat menguntungkan.

Karena atas kepastian konsep pembangunan mereka itu kita akan memilih salah satu dari mereka pada 8 Juli nanti. Kita memilih karena kita ingin sejahtera,bukan semata-mata agar mereka berkuasa, apalagi sampai menyengsarakan kita.(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar