Rabu, 13 Mei 2009

Pilpres

Oleh Zaim Uchrowi

Lihat ekspresi bocah itu. Di tengah dingin pagi yang menggigilkan, dalam balutan jas lengkap, ia tampak antusias berada di antara antrean jutaan orang. Ia juga ingin jadi saksi sejarah: Mengikuti pelantikan Obama sebagai Presiden Amerika. Ekspresinya itu ikut dijadikan rangkaian gambar oleh Damon Winter dari The New York Times hingga meraih penghargaan jurnalistik Pulitzer.

Eskpresi itu hanya sebuah potret antusiasme publik mengikuti kemenangan Obama. Sebuah kemenangan yang disebut sebagai "kemenangan perubahan". Obama dipandang sebagai simbol perubahan. Bukan semata karena ia Presiden Amerika pertama yang berkulit Hitam. Tapi, Obama memang sungguh-sungguh mengusung gagasan perubahan.
Obama meyakinkan semua bahwa Amerika harus berubah. Sudah tak memadai lagi Amerika dipimpin dengan cara lama. Pandangan Obama disambut masyarakatnya. Dunia ikut gembira. Kegembiraan yang terpicu dua hal. Pertama, pemilihan presiden (pilpres) itu menghasilkan pencerahan atau harapan baru. Bukan hanya pada Amerika, tapi juga dunia. Kedua, semua terpesona menyaksikan pertarungan politik beradab: Adu gagasan di atas fondasi integritas dan etika yang kuat.

Wajah politik seperti itulah yang sejak lama saya harapkan terbangun di nusantara ini. Harapan itu menguat setelah Amien Rais sukses memimpin gerakan reformasi. Pertarungan politik Indonesia pascareformasi saya harapkan merupakan pertarungan ksatria adu gagasan memajukan bangsa. Bukan sekadar adu menang yang bila perlu dengan tipu dan khianat seperti gaya pertarungan politik purba. Hanya melalui pertarungan beradab, kekuasaan yang menang akan mampu melahirkan peradaban yang membawa bangsa pada kehidupan lebih baik.

Semestinya harapan itu telah terwujud. Reformasi sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Pak Amien juga masih setia mengawal perjalanan politik bangsa ini. Ternyata tak demikian. Reformasi baru sebatas format luar, yang menyembunyikan format dan budaya politik lama yang masih banyak borok. Yakni, format dan budaya politik yang banyak permainan kepentingan hingga praktik politik uang. Integritas dan etika masih menjadi bulan-bulanan. Bahkan, di lingkungan partai pengusung reformasi sekalipun.

Format dan budaya baru politik yang mengedepankan gagasan sempat dicoba Soetrisnoÿ20Bachir, pemimpin PAN. Ia lontarkan gagasan membangun negara dari desa. Menurutnya, setiap desa semestinya dapat anggaran Rp 1 miliar per tahun. Dengan begitu perekonomian desa bergerak, bangsa akan maju.

Publik menyambut gagasan itu. PAN yang ditaksir cuma dapat 2,9 persen suara, meraih sekitar 6,4 persen dukungan. Lebih 70 persen suara itu berasal dari pendukung baru. Bukan mengapresiasi, komunitas politik justru memperkuat tak menyambut pendekatan itu. Soetrisno justru ditelikung kalangannya sendiri, yang mungkin juga terkait dengan kekuatan politik lain. Tidak tegaknya integritas dan etika itu juga terjadi di berbagai bidang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Seperti pada kasus pelanggaran hukum berat yang menyeret tokoh penegak hukum penting Antasari Azhar dan Kombes Wiliardi Wizar.

Pilpres 2009 semestinya dapat menjadi momentum lahirnya format dan budaya politik baru. Format dan budaya yang mengedepankan adu gagasan membangun bangsa di atas integritas dan etika yang kuat, dan bukan tikung-menelikung menjegal calon pesaing. Syukur bila pilpres ini juga mampu membawa angin perubahan bagi bangsa, entah oleh kandidat lama atau calon yang baru. Hanya dengan begitu Indonesia dapat lepas landas seperti Korea Selatan (1960-1980), serta Tiongkok di saat-saat sekarang, hingga melampaui jangakauan gaya tarik gravitasi yang dapat menghempaskan bangsa keÿ20bawah.

Tapi, tampaknya, pilpres kali ini belum akan seperti itu. Pilpres 2009 ini masih mengusung format pertarungan politik gaya lama, yang tak akan banyak berpengaruh pada upaya perbaikan bangsa secara menyeluruh. Namun, mudah-mudahan perkiraan ini keliru. Di beberapa hari tersisa ini, mudah-mudahan para elite politik sempat becermin dan menatap matanya sendiri dalam-dalam hingga menembus lubuk hati: Saya ingin membuat kebaikan bagi bangsa ini dengan cara baik ataukah sekadar ingin berkuasa dan menjadi lebih kaya? Saya ingin menyaksikan ekspresi antusias anak-anak negeri ini buat menyambut pelantikan presiden nanti, serupa ekspresi bocah dalam foto pemenang Pulitzer itu. Itu hanya terjadi bila semua menjaga tegak integritas dan etika di pilpres nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar