Rabu, 13 Mei 2009

Logika Boediono


SIAPAKAHcalon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terjawab sudah.

Nama Gubernur Bank Indonesia Boediono dipastikan akan mendampingi incumbent ini untuk tampil pada pemilihan presiden (pilpres) yang akan digelar 8 Juli nanti. Pilihan politik SBY ini terbilang mengejutkan sekaligus berani.

Mengejutkan karena mementahkan rangkaian prediksi pengamat dan sejumlah lembaga survei.Dengan berbagai model analisis dan temuan elektabilitas di lapangan, jauh-jauh hari mereka sudah memprediksi nama-nama Jusuf Kalla,Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid, maupun Hatta Rajasa sebagai orang yang tepat mendampingi SBY.Ternyata yang muncul Boediono.

Disebut berani,keputusan menggandeng mantan menteri koordinator bidang perekonomian kelahiran Blitar, 25 Februari 1943 itu menabrak logika politik Indonesia yang berbasis kepartaian.Asumsinya, untuk bisa memenangi pilpres,SBY atau capres lainnya,harus menggandeng cawapres yang memungkinkan untuk pengembangan dukungan partai (koalisi).

Pemikiran ini mensyaratkan cawapres berasal dari kalangan partai. Selain dibutuhkan untuk menguatkan basis dukungan di parlemen, cawapres partai bisa meningkatkan probabilitas kemenangan. Syarat ini sebenarnya juga jadi patokan SBY saat akan mencari cawapres.

Partai Demokrat yang memperoleh sekitar 20% suara ini, misalnya, harus merangkul partai yang memperoleh suara 10%. Dengan demikian, secara hitam putih SBY sudah mengantongi 30% suara. Meski logika pilpres yang berorientasi personal sangat berbeda dengan pemilihan legislatif, paling tidak hitungan itu bisa menambah optimisme struggle for power.

Berangkat dari hitungan ini, Hatta Rajasa—kader partai yang juga sudah teruji loyalitas dan profesionalitasnya membantu tugas SBY di Kabinet Indonesia Bersatu—semestinya menjadi pilihan utama. Tapi lagi-lagi, hitungan konvensional ini tidak berlaku. SBY memilih Boediono,profesional yang menghabiskan kariernya di bidang perekonomian.

Karena kapabilitasnya, Boediono pernah dipercaya sebagai ketua Bappenas,menteri keuangan,menteri koordinator bidang perekonomian, dan gubernur Bank Indonesia yang saat ini masih didudukinya. Mengapa SBY demikian berani? Apakah pilihan itu tidak mengecilkan peluangnya memenangkan pilpres? Jika terpilih apakah tidak mengganggu stabilitas dukungan parlemen?

Apakah tidak akan membuat partai pendukung—terutama partai Islam, seperti PKS,PPP, dan PAN—kecewa lalu kabur? Atau minimal mereka tersinggung,seperti diungkapkan Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN Amien Rais yang menilai langkah SBY tidak rasional dan takabur? Tentu hanya SBY yang tahu.Tapi, melihat personality politics lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) penerima Adhi Makayasa yang dikenal sangat hati-hati dan serbaterukur ini, semua kemungkinan termasuk risiko yang akan muncul pasti sudah dihitung dan digodok.

Seperti apa pertimbangannya,sekali lagi hanya SBY yang tahu. Hal yang bisa kita lakukan hanya menduga-duga logika yang mungkin digunakan purnawirawan jenderal asal Pacitan saat memilih Boediono.

Salah satu dugaan itu, SBY ingin fokus menyelesaikan persoalan ekonomi dan selanjutnya memantapkan dan mempercepat positioningIndonesia di arena persaingan global, seperti ramalan The Economist dan Goldman Sach yang menyebut Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi utama dunia .

Secara politis, pilihan Boediono bisa saja sebagai jalan tengah menghindari pertarungan antarpartai pendukung.Semisal jika memilih Hatta, belum tentu PKS, PPP, atau PKB bisa menerima. Sebaliknya, jika merangkul Hidayat Nur Wahid, belum tentu PAN dan PKB mau menerima. Pada saat bersamaan, SBY bisa saja berharap dapat menarik dukungan PDIP karena sosok Boediono dekat dengan Megawati Soekarnoputri.

Dalam tataran politik ideal, SBY bisa jadi ingin membangun kultur politik baru.Mantan Kepala Staf Teritorial TNI ini tidak ingin mengulang politik balas dendam dan permusuhan antarrezim,seperti pernah terjadi semasa Soeharto versus keluarga dan pengikut Soekarno, dan seperti dialaminya sekarang dengan Megawati.

Dengan demikian, permainan politik yang berkembang bisa lebih beradab dan cair. Logika mana yang benar, hanya SBY yang tahu. Dan selanjutnya kita hanya bisa berharap Boediono memang pilihan tepat dan terbaik. Bukan hanya untuk menopang kekuasaan SBY tapi juga untuk bangsa ini.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar