Rabu, 13 Mei 2009

Beranikah PKS?


PENDULUM politik setelah Boediono dinyatakan sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bergerak sangat cepat dan dinamis.

Keputusan SBY merangkul orang nonpartai menimbulkan political shock dan berpotensi mengubah formasi puzzle koalisi partai yang sebelumnya mulai terbentuk. Pada satu sisi, pilihan itu rentan menimbulkan kekecewaan partaipartai koalisi SBY karena merasa keberadaannya dinafikan,karena tidak diajak berkomunikasi.

Lebih fatal lagi, bisa berakibat mundurnya partai pendukung. Sejumlah partai berbasis Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang (PBB) sempat mengungkapkan kekecewaan mereka.

Ketua Umum Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Amien Rais,yang sudah berinvestasi politik dan mempertaruhkan ”nama baik”-nya demi mengamankan pencalonan Hatta Rajasa dari PAN,juga bereaksi keras.Tapi pihak Istana masih bisa meredam gejolak politik tersebut dan mengembalikan mereka ke dalam formasi koalisi.

Kendati demikian, diplomasi Istana yang dimainkan utusan khusus SBY,yakni Hatta Rajasa,Sudi Silalahi,dan Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, belum mampu meredam PKS. Presiden PKS Tifatul Sembiring yang diundang ke Istana melalui telepon ternyata tidak hadir.

Pada sisi lain,keputusan SBY merangkul Boediono yang secara politis tidak populer meluapkan optimisme dan kepercayaan diri lawan-lawan politiknya.Mereka berhitung,keretakan koalisi SBY dan ketidakpopuleran Boediono bisa memperkuat basis dukungan dan probabilitas mereka mengalahkan SBY pada pemilihan presiden yang dilaksanakan 8 Juli nanti.

Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, misalnya, tentu berharap mendapat bola muntah berupa dukungan PKS.Masuknya PKS yang meraup 10,59% kursi parlemen jelas tak hanya akan memperkuat dukungan partai, tapi juga menggenjot probabilitas kemenangan mengingat fanatisme pendukung partai tersebut.

Dengan logika yang sama,Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Dewan Penasihat Gerindra Prabowo Subianto yang sama-sama berambisi maju pilpres juga melihat terbukanya peluang membalap SBY. Demi memanfaatkan peluang ini, keduanya sangat mungkin berpikir realistis dan merendahkan bargaining position masingmasing agar bisa bersatu dan bersama-sama memenangi pilpres.

Mungkinkahskenarioiniterwujud? Kuncinya kiniberadaditanganPKS: sejauh mana partai ini berani keluar dari koalisi SBY. Kalau tidak, berarti tesis bahwa partai-partai Indonesia pragmatis karena hanya ikut arus mendukung kandidat yang berpeluang menang benar adanya.Jika berani,PKS tentu harus siap dengan semua risiko terburuk,termasuk tidak akan terlibat dalam kabinet.

Sebuah gamblingdengan nilai taruhan yang sangat besar. Secara teoretis,posisi PKS di mata SBY sebenarnya sangat ngambang. Meski perolehan suaranya paling besar di antara partai-partai berbasis Islam, PKS tidak mempunyai privilese. PKS tidak bisa bernegosiasi mengatasnamakan Islam,termasuk dalam mengajukan kontrak politik.

Pada saat yang sama,SBY akan tetap merasa nyaman selama masih ada dukungan PPP,PAN,PKB,dan PBB,meski pada akhirnya tidak didukung PKS.Alasannya jelas, partai-partai tersebut sudah merepresentasikan dukungan kalangan Islam, yakni Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, maupun Masyumi.

Bahkan jika SBY berani melepas PKS, justru dia berpeluang meraih simpati dari kalangan Islam itu karena selama ini mereka mempunyai persoalan dengan gerakan PKS di akar rumput. Membaca tidak adanya progresivitas dari kalangan Istana untuk mendekati PKS,tampaknya SBY sudah menghitung dan siap melepas PKS.

Bahkan bisa jadi SBY lebih merasa nyaman tanpa PKS,karena toh selama ini manuver mereka cukup mengganggu, seperti ditunjukkan dengan berebut klaim keberhasilan sektor pertanian dan kampanye mengusung nama SBY sebagai capres.

Melihat gelagat ini, semestinya PKS berani mengambil sikap.Banyak opsi yang bisa dipilih seperti bergabung dengan JK-Wiranto,Megawati, atau Prabowo. Bahkan kabar terakhir menyebutkan, petinggi PKS sudah berkomunikasi dengan kubu JK-Wiranto. Bergabung dengan pasangan tersebut bisa menjadi pilihan realistis dan prospektif.Tapi sekali ini, semuanya tergantung PKS.Beranikah?(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar