Kamis, 28 Mei 2009

Bangsa di Persimpangan

Oleh: Zaim Uchrowi

Sebenarnya, apa sih yang dimaui Pak Amien? Mas Tris mau mundur, ya?
Hari-hari ini, pertanyaan seperti itu banyak saya terima. Mungkin, saya dianggap mengenal keduanya.

Lima tahun lalu, saya menulis biografi resmi Pak Amien Rais. Saya telah berkawan dengan Mas Tris--panggilan Soetrisno Bachir--ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) sejak 1985. Kami bahkan punya usaha sosial bersama.
Yang membuat saya heran, mengapa mereka bertanya kepada saya? Mengapa bukan pada Pak Amien atau Mas Tris langsung?

Pertanyaan-pertanyaan itu cukup menunjukkan bangsa ini bimbang. Bangsa ini tengah berada di persimpangan. Budaya ewuh pekewuh pada pemimpin masih ada. Di sisi lain, orang mulai berani mempertanyakan setiap pilihan langkah pemimpin. Persimpangan seperti itu bukan hanya dihadapi masyarakat, namun juga sosok sekelas Pak Amien yang harus memilih antara politik tinggi atau politik praktis. Saat mundur dari kursi pimpinan partai 2005, Pak Amien seperti memilih politik tinggi dengan menjadi 'guru bangsa'.

Pemilu 2009 ternyata membuat belok lagi ke politik praktis. Pak Amien aktif 'menampung aspirasi' para kader. Mas Tris sudah banyak berkorban buat menyelamatkan partai Pak Amien. Tapi, ia tak didengar. Sesaat, pilihan Pak Amien masuk lagi politik praktis seperti benar. Jago yang digadangnya untuk calon wakil presiden, Hatta Rajasa, seperti akan dipinang Pak Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata tidak. Pak Amien tampak mendekat Kak Ucu, panggilan akrab Jusuf Kalla, saat Mas Tris resmi meneken koalisi dengan Partai Demokrat. Belakangan, Pak Amien harus jelaskan lagi posisi partainya. PAN secara partai tetap resmi berkoalisi dengan Demokrat. Tapi, boleh dong kalau kader punya aspirasi berbeda. Pak Amien menjadi tampak seperti politikus yang tak konsisten serta tega menyakiti kawannya. Banyak yang menuding Pak Amien. Tapi, saya malah berpandangan Pak Amien adalah korban.

Kapasitas serta karakter Pak Amien sangat mirip Ibnu Khaldun. Tokoh besar peradaban yang juga di persimpangan jalan politik dan akademik. Beberapa kali Ibnu Khaldun terjun langsung ke politik. Beberapa kali berhasil, namun lebih sering terjebak pusaran politik praktis. Ibnu Khaldun selamat setelah mampu keluar dari jebakan itu dengan membuat mahakarya peradaban, Muqaddimah.

Pak Amien masih terus terjebak di pusaran politik praktis hingga menjadi 'korban terbesar keadaan sekarang'. Jasa besar Pak Amien sebagai 'Bapak Reformasi' mulai diabaikan publik. Pak Amien dipandang sebagai politikus biasa seperti banyaknya politikus lain yang masih berlogika politik lama.

Pak Amien benar-benar di persimpangan. Terus, bergulat di politik praktis hingga berujung seperti Gus Dur? Atau, hijrah ke jalan intelektual hingga membuat karya peradaban seperti Ibnu Khaldun? Mas Tris yang sering disebut sebagai 'korban Pak Amien' juga di persimpangan. Politik dinilainya sangat carut-marut serta kotor. Pandangan itu serupa dengan penilaian ICMI yang pekan ini merasa perlu mengeluarkan 'Maklumat Politik'.

Demokrasi sudah dibajak dari tujuan semula untuk 'menyejahterakan rakyat' ke kepentingan permainan kekuasaan semata. Praktik politik kotor dan tak terpuji merajalela meskipun terbungkus dalam kemasan rapi dan santun. Mas Tris gamang. Bisakah politik kotor itu diperbaiki atau sudah perlu ditinggalkan sama sekali?

Haruskah terus berkecimpung di kancah politik hingga suatu saat berkesempatan memperbaikinya? Apakah lebih baik fokus ke kegiatan sosial yang lebih jelas dalam mengantar menuju jalan ke surga? Mas Tris terjebak dan terdiam di pusaran persimpangan itu. Sebuah keadaan yang, bila terlalu lama, akan membuatnya seperti seorang yang hanya bisa 'menangisi keadaan' dan bukan seorang yang memang mampu membuat perubahan. Pak Sus, sebutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pun tak luput dari persimpangan.

Persimpangan pertama telah dilampauinya menjelang pemilu lalu. Pilihannya antara menggunakan jalan politik polos seperti 2004 atau memakai mesin politik yang mengerahkan seluruh kekuatan. Pak Sus memilih yang kedua.

Hasilnya terbukti luar biasa. Partai Demokrat yang Pak Sus bina melonjak pesat. Pak Sus berkembang dari seorang figur pemimpin sederhana menjadi sosok pemimpin sangat kuat, seperti Pak Harto dulu. Hampir seluruh kekuatan politik lain kelabakan di hadapan Pak Sus.

Dalam posisi begitu kuat ini, Pak Sus memasuki pusaran persimpangan kedua. Pak Sus dapat menggunakan posisi kuat itu untuk membuat karya nyata secara cepat bagi bangsa.

Itu yang dilakukan Park Chung-hee dalam mendongkrak Korea Selatan pada 1960-an. Juga, oleh Mahathir Muhammad dalam memajukan Malaysia. Bisa saja Pak Sus menggunakannya untuk membangun imperium kekuasaan ke depan. Sahabat, kerabat, bahkan putra Pak Sus juga telah sangat siap untuk itu. Saat ini, tak seorang pun dapat menghalangi Pak Sus bila memilih jalan tersebut. Bila jalan pertama dipilih, kita masih punya peluang menjadi seperti Tiongkok.

Kita bisa segera tinggal landas menjadi negara maju seperti Jepang. Bila jalan kedua dipilih, Indonesia tak akan ke mana-mana dan hanya akan berputar-putar atas nama demokrasi seperti Filipina. Salah-salah, kita malah bisa seperti Myanmar. Bangsa yang di tahun 1950-an merupakan salah satu bangsa paling berkembang di Asia setelah Jepang dan Filipina. Politik permainan kekuasaan telah meruntuhkan kemajuannya.

Mana yang akan menjadi pilihan ada di tangan Pak Sus. Bisa saja Pak Sus minta rakyat menentukan pilihan di persimpangan itu. Namun, hampir pasti rakyat juga akan menyerahkan kembali keputusan itu pada Pak Sus. Pak Amien dan Mas Tris, apa boleh buat, cuma bisa jadi penggembira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar