Sabtu, 23 Mei 2009

Neoliberalisme dan Militer Di Panggung Politik, Kasihan Indonesia!


Terkait dengan semakin mendekatnya pemilu presiden, semakin memanas pula perdebatan dan perang wacana di media massa. Diantaranya yang paling seru adalah hiruk pikuk Boediono neoliberal hingga terus bergulir sampai kehulunya. SBY Neoliberal, sesungguhnya lengkapnya duet SBY-JK yang masih berkuasa hari ini. Padahal ada soal yang juga sama pentingnya dan kritis (tapi hampir tenggelam) yakni soal ramainya para jenderal di kancah kompetisi politik negeri ini.

Rene L Pattiradjawane dalam artikelnya Politik Jenderal : Militer Dalam Politik Kartel Demokrasi di Kompas (20 Mei 2009) menulis dengan sangat baik dan lugas soal ini.

Rene melihat politik demokrasi di negeri ini ibarat sebuah labirin…..

Rene mencatat, menggugah, menggugat, tulisnya…..

Ada jenderal calon wapres yang masih dituduh melakukan pelanggaran HAM berat sehingga kita pun harus siap-siap dan waswas jangan smpai setelah menjadi wapres terpilih, jenderal ini ditankap polisi di luar negeri, seperti yang terjadi pada Jendearal Spinoza ketika berkunjung ke Lomdon.”

Ada jenderal dituduh melakukan penculikan menyebabkan sekitar belasan orang tidak jelas rimbanya sampai sekarang. Atau, jenderal yang mengendalikan negara selama lima tahun terakhir ini yang condong mengulangi perilaku pemimpin Orde Baru dalam versi 2.0. Belum lagi jenderal-jenderal lain pendukung para capres dan cawapres, menjadi semacam kartel kekuasaan dan kekuatan politik pasca-Orde Baru


Khusus untuk partai pemenang pemilu legislatif (Demokrat) saya mencatat bertaburan bintang di tim sukses atau pemenangan Partai Demokrat. Paling tidak pada 6 tim, mantan militer (jenderal purnawirawan) menjadi pendiri, pengurus atau pembinanya. Tim Echo, Gerakan Pro SBY, Tim Delta, Tim Romeo, Barisan Indonesia dan Yayasan Dzikir SBY Nurussalam. (silah lihat lebih lanjut di http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/04/mantan-militer-purnawirwan-dominasi-tim.html)

Selanjutnya Rene menulis bagi rakyat kebanyakan, kehadiran para jenderal ini menjadi dilema tersendiri, karena kehadiran para jenderal selama 32 tahun Orde Baru sebenarnya tidak memberikan arti dan makna yang luas dalam meningkatkan kehidupan demokrasi. Disisi lain politisi sipil seperti terjebak dalam labirin politik kartel yang menganggap seolah-olah para jenderal ini mampu memperbaiki kehidupan kita semua.

Kasihan Indonesia! Begitu Rene menutup artikelnya.

Saya jadi teringat juga pernyataan Imparsial dalam satu siaran persnya yang menyebut politik Indonesia hari ini sebagai Politik yang Tuna Sejarah. Imparsial menyatakan Politik Indonesia adalah politik yang “Tuna Sejarah”. Politik ini tidak mengkoreksi kesalahan masa lalu, dan bahkan sebaliknya melupakannya. Di sini, bukannya keadilan korban yang terpenuhi, tetapi kemenangan pelaku pelanggaran HAM yang terlihatkan.

Imparsial juga menyatakan “…….oleh karenanya, disisa akhir pemerintahannya adalah benar apabila pemerintahan SBY-JK untuk berani mengungkap semua kejahatan yang terjadi, termasuk kasus pembunuhan aktifis HAM Munir. Jika tidak, SBY- JK tidak hanya telah menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri dengan membiarkannya, tetapi juga telah menjadi bagian dari politik yang tuna sejarah”.
(Silah tengok Politik yang Tuna Sejarah)

Alkisah dibanyak negeri miskin dan berkembang militer dan pendukung neoliberalisme (sebuah jalan ekonomi sekaligus politik, sosial, budaya dan tentu saja ideologi) adalah pasangan ideal (mutualis simbiosis) untuk terus memerkaya segelintir orang di satu sisi dan melanggengkan kekuasaan yang menindas dan menghisap di sisi lain.

Kasihan Sekali Indonesia! Begitu saya menutup catatan kecil ini

salam pembebasan

andreas iswinarto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar