Kamis, 09 Juli 2009

Warga Negara, Pemilu, dan Demokrasi Transformatif

Oleh Iwan Gardono Sujatmiko

Pemilihan presiden, legislatif, dan pilkada merupakan mekanisme memilih pemimpin yang akan melaksanakan konstitusi dan membuat kebijakan publik guna melaksanakan cita-cita bangsa dan menjalankan aspirasi rakyat.

Dalam demokrasi perwakilan, warga negara menjadi pemilih (voter). Diharapkan, pada masa pascapemilu mereka ”memetik buah” hasil pilihan mereka.

Warga negara dan pemilu

Sejak 1955 hingga kini, antusiasme pemilih dalam pemilu di Indonesia relatif tinggi meski dalam konteks politik beragam.

Keikutsertaan warga dapat dijelaskan dengan aneka faktor, seperti idealisme, untuk partisipasi peristiwa penting lima tahun sekali. Atau mereka menunjukkan loyalitas kepada calon atau parpol tertentu entah karena kesamaan ideologi atau kebetulan karena tetangga satu desa atau kabupaten. Ada juga pemilih yang terbujuk janji kampanye atau berniat memilih-tidak memilih calon sesuai pengalaman mereka selama lima tahun terakhir.

Keikutsertaan dalam pemilu juga dapat merupakan upaya agar tidak dicemooh lingkungan, komunitas maupun keluarga, karena tidak ada bekas tinta pada jari. Ini dapat dianggap sebagai warga negara yang kurang baik.

Selain itu, warga menjadi ”raja atau ratu sehari” dan merasa ”di atas” calon atau parpol yang dipilih. Ini adalah kelanjutan masa kampanye di mana calon dan parpol menjadi amat ramah, terbuka, dan dekat dengan pemilih.

Demokrasi transformatif

Sistem dan proses politik sering memberi penekanan pada mekanisme koreksi kekuasaan agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan. Namun, sebenarnya demokrasi bukan hanya bersifat korektif sehingga hanya akan mempertahankan status quo. Demokrasi dapat menjadi alat transformasi sosial di mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam hal ini, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola perubahan dalam masyarakat, misalnya pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua periode berturut-turut.

Secara spasial juga terjadi perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar meski masih lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal, berbagai golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah mendapat kesempatan lebih besar. Jika dilihat secara vertikal, ada perubahan dalam hubungan masyarakat dengan negara di mana kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan kebijakan negara.

Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan perubahan signifikan, masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota, misalnya perbaikan warga desa melalui land reform yang baru terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar.

Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh, sektor informal, atau ”Indonesia bagian bawah” yang berjumlah sekitar 60 persen, belum terwakili secara nyata dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi terobosan di mana Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946 telah memberi jatah kepada ”golongan-golongan besar”, yakni petani dan buruh masing-masing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen dalam KNIP/”parlemen” (lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, 2005). Hal ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah, dan golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda.

Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian Linggarjati. Namun, yang penting, terlihat bagaimana ada upaya peningkatan representasi atau kebhinekaan masyarakat Indonesia. Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau pelapisan/kelas masyarakat. Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas perlu lebih banyak meningkatkan representasi golongan besar ini dalam organisasi dan kebijakan mereka.

Transformasi warga negara

Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa bahwa setelah pemilu, mereka bukan lagi menjadi warga negara dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi warga kota, warga desa, atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan bahwa organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak terlaksana.

Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak berdaya menghadapi negara, perusahaan, atau organisasi masyarakat.

Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana warga negara dapat mengalami transformasi menjadi lebih berdaya dan berkuasa. Dalam hal ini, UU Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku tahun 2010 dapat membuat warga negara menjadi seperti mempunyai hak angket dan interpelasi.

Demikian juga UU Pelayanan Publik yang akan berlaku tahun 2011. UU yang memberdayakan warga negara ini perlu diamandemenkan di UUD pada amandemen ke-5. Ini menunjukkan, warga negara harus berjuang sendiri untuk menikmati ”buah demokrasi”.

Kasus terakhir ditunjukkan dua warga negara, Refly Harun dan Maheswara Prabandono, yang berhasil mengatasi masalah DPT dalam Pilpres 2009 di Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan mereka setara dengan perppu (kekuasaan presiden) dan dapat mendukung hak konstitusional mereka berdua serta jutaan pemilih atau warga negara lain.

Dinamika kekuasaan

Pilpres 2009 telah menunjukkan kepada kita dinamika kekuasaan warga negara dalam berdemokrasi dan hubungannya dengan pemimpin, parpol, dan ormas. Berbagai aturan baru (UU KIP, UU Pelayanan Publik, dan Kewenangan MK) memberi ruang dan peluang baru bagi warga negara untuk menegakkan hak konstitusional mereka meski sejumlah lembaga negara dalam demokrasi perwakilan ini kurang aspiratif dan representatif.

Keadaan ini dapat membuat warga negara menjadi lebih aktif sehingga prospek demokrasi Indonesia menjadi lebih baik di masa depan.

Iwan Gardono Sujatmiko Sosiolog; Dosen FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar