Kamis, 02 Juli 2009

Gas Tangguh dan Debat Capres

Kurtubi

Dalam putaran kedua debat calon presiden bertema ”Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran”, muncul pernyataan dan dialog menarik. Salah satu isu yang mengemuka adalah soal gas Tangguh yang dijual amat murah.

Rendahnya harga jual gas Tangguh, berpangkal dari formula harga jual yang membatasi harga minyak mentah yang menjadi acuan, tidak boleh lebih tinggi dari 38 dollar AS/BBLS. Ini menghasilkan harga jual gas Tangguh flat, maksimal 3,35 dollar AS/MMBTU untuk kontrak penjualan jangka panjang.

Padahal, bukti empiris dan teori menunjukkan harga gas selalu bergerak seirama harga minyak mentah yang amat dinamis.

Harga gas di pasar spot Henry Hub di Oklahoma, harga LNG yang diimpor Jepang, dan harga gas melalui pipa dari Rusia ke Eropa Barat semua amat dinamis, bisa naik-turun, tergantung fluktuasi harga minyak mentah.

Pengalaman Pertamina

Begitu juga pengalaman Indonesia (Pertamina). Formula harga jual gas dari Badak yang disepakati antara Pertamina dan pembeli di Jepang tahun 1980- an maupun rencana penjualan gas Donggi-Senoro ke Jepang tahun 2013 (jika proyek dijalankan) juga terkait harga minyak mentah yang tak dibatasi.

Artinya, jika harga minyak mentah naik, harga jual gas dari Badak dan Donggi-Senoro juga naik. Begitu juga sebaliknya. Ini fair bagi penjual maupun pembeli, tak ada pihak yang dirugikan, berlaku saat kondisi buyer market maupun seller market.

Dengan harga minyak mentah sekitar 70 dollar AS/BBLS, seperti terjadi saat ini, LNG dari Badak dan Donggi-Senoro dijual seharga 11 dollar AS/MMBTU, sedangkan gas Tangguh dijual 3,35 dollar AS/MMBTU. Jika harga minyak ada pada kisaran 150 dollar AS/BBLS, (ini bukan mustahil karena level tertinggi 147,27 dollar AS/BBLS pernah terjadi 11 Juli 2008), harga jual LNG Badak dan Donggi-Senoro menjadi sekitar 25 dollar AS/ MMBTU. Negara berpotensi rugi dalam jumlah amat besar, bisa di atas Rp 700 triliun atau sekitar 70 persen dari APBN 2010.

Untuk menghindari kerugian itu, pemerintah membentuk Tim Renegosiasi Harga Gas Tangguh yang diketuai Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian/Menteri Keuangan. Namun, seperti dikemukakan capres Jusuf Kalla, ”Entah mengapa tim yang sudah ada keppresnya ini lamban sekali.” Bahkan, ada indikasi tim akan layu sebelum berkembang seperti terlihat dari pernyataan Menteri ESDM, ”Harga gas Tangguh (3,35 dollar AS/MMBTU) sudah bagus. Pemerintah menghormati kontrak” (Kontan, 15/5/2009).

Ke depan, mengingat prospek harga minyak mentah sulit bertahan pada 50 dollar AS/BBLS, bahkan cenderung naik sejalan pemulihan ekonomi dunia, maka argumentasi bahwa harga LNG Tangguh 3,35 dollar AS/MMBTU sebagai harga bagus bagi Indonesia menjadi amat lemah.

Jauh sebelum kontrak penjualan LNG Tangguh, tahun 1931, Harold Hotelling, ahli ekonomi Sumber Daya Alam, memperkirakan, harga nominal minyak mentah/SDA tak terbarukan (nonrenewable resources) harus naik minimal sama dengan tingkat suku bunga. Ini diperlukan agar pemilik sumber daya tidak rugi (worse off) jika memproduksi minyak tahun ini atau tahun-tahun mendatang.

Mengingat risiko dan biaya mencari serta memproduksi minyak dan gas relatif sama, ditambah sifat minyak dan gas yang bisa saling substitusi, maka wajar jika harga gas amat terkait harga minyak tanah.

Amat disayangkan jika gas Tangguh yang akan dikapalkan Juli ini harus dijual dengan harga maksimal 3,35 dollar AS/MMBTU meski harga minyak dunia naik ke level berapa pun.

Penyimpangan

Kasus LNG Tangguh ini memberi pelajaran amat berharga bagi bangsa ini. Model pengembangan LNG Tangguh berdasar UU Migas No 22/2001 dengan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada non-BUMN. Padahal, sebagian besar gasnya merupakan bagian negara lalu dijual dengan harga amat murah. Maka, ini jelas merupakan penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945.

Kekayaan alam yang terkandung di perut bumi, sesuai konstitusi harus dikuasai negara (melalui BUMN yang diberi kuasa pertambangan), hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perusahaan minyak asing dan domestik tetap diperlukan dalam mengembangkan industri minyak dan gas nasional, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan BUMN dalam pola hubungan B to B. Pola ini lebih efisien dan lebih bagus daripada B to G yang kini berlaku.

Jika kontraktor menemukan cadangan gas besar, pengembangan dilakukan BUMN. Ini dimaksudkan untuk memperoleh harga ekspor maksimal dan untuk menghindari conflict of interest yang mungkin timbul jika diserahkan kepada non-BUMN (multinational company). Sementara pemegang kebijakan dan regulator dalam pola B to B tetap di tangan pemerintah, terutama Departemen ESDM.

Kita berharap pemerintah atau siapa pun presiden terpilih kelak agar tegas berusaha memperbaiki formula harga jual yang amat tidak adil ini, agar rakyat, terutama generasi muda, tidak dirugikan. Lebih dari itu, kita juga berharap agar pengelolaan kekayaan minyak dan gas nasional ke depan dikoreksi dan disempurnakan.

Kurtubi Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar