Senin, 06 Juli 2009

ANALISIS POLITIK Menegakkan Hak Pemilih



Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

"Sebuah kematian adalah tragedi, satu juta orang mati adalah statistik”. Banyak orang di Indonesia mengenal kata-kata masyhur ini sebagai kutipan dari Josef Stalin, mendiang mantan pemimpin Uni Soviet.

Namun, penelusuran lebih lanjut atas dokumen pernyataan dan tulisan Stalin membuktikan bahwa sangat boleh jadi atribusi itu keliru. Kemungkinan besar, kutipan itu berasal dari novel Der Schwarze Obelisk karya Erich Maria Remarque (1956). Namun, saya tak ingin mendiskusikan kekeliruan atribusi yang sudah menahun ini.

Kutipan terkemuka itulah yang tiba-tiba saya ingat di tengah kepungan suasana hiruk pikuk menjelang hari pencontrengan Pemilu Presiden 2009 hari-hari ini. Sebab, inilah hari-hari yang selayaknya menyadarkan kita bahwa ”satu juta orang tak memilih adalah statistik, satu orang kehilangan hak pilihnya adalah tragedi”.

Demokratisasi sejak 1998 datang membawa perubahan definisi memilih. Jika pada masa Orde Baru memilih cenderung didefinisikan sebagai ”kewajiban”, pada era Reformasi saat ini memilih lebih dirumuskan sebagai ”hak”. Alhasil, memilih atau tidak adalah sebuah pilihan yang sama lazimnya. Sejauh dilakukan secara bertanggung jawab, memilih ataupun tidak, memiliki nilai yang setara saja. Tentu saja, dengan konsekuensi yang berbeda.

Maka, 121.391.591 orang yang tidak memilih dan 17.291.806 pemilih yang suaranya tak sah adalah rentetan statistik. Mereka— 66.968.882 orang atau 39,15 persen dari total pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) itu—memang mewakili sebuah gejala rendahnya partisipasi sekaligus keletihan politik—adalah gejala lazim dalam pasang naik dan pasang surut hidup berdemokrasi.

Namun, cerita menjadi berbeda menyangkut sejumlah besar orang—tak ada yang tahu jumlah pastinya—yang hak-hak pilihnya dicederai. Mereka adalah penduduk sah yang karena kelalaian (atau kesengajaan?) birokratis dan politik tak tercantum dalam DPT. Di sini, kita tidak lagi bicara statistik, melainkan sebuah tragedi demokrasi yang sungguh tak main-main.

Saya ingin memahami pemilihan presiden yang sudah di pelupuk mata dengan menggunakan perspektif itu. Ketika Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sebuah tayangan televisi (Senin, 6/7) menyatakan bahwa ”hanya” sekitar 44.000 nama yang mengalami pencatatan ganda di Jawa Timur, Sang Ketua telah gagal memahami keadaan.

Dua langkah

Jika tak ada aral melintang, besok (Rabu, 8 Juli 2009) puluhan juta orang di seluruh pelosok Indonesia akan mendatangi 451.182 TPS (lebih sedikit 63.738 TPS dibandingkan dengan pemilu legislatif) untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden.

Menurut data KPU, 176.367.056 orang tercatat dalam DPT. Jumlah ini memang 5.101.614 orang lebih banyak dibandingkan dengan DPT pemilu legislatif. Namun, sejumlah pihak menengarai bahwa masih banyak—diperkirakan jumlahnya bahkan mencapai jutaan—orang yang sejatinya berhak pilih tak tercantum dalam daftar itu.

Ini sesungguhnya bukan masalah baru. Perkara serupa sudah terjadi, dan sempat menimbulkan kisruh temporer, dalam pemilu legislatif lalu. Keliru besar jika Presiden, Mendagri, dan KPU memahami masalah ini sebagai semata perkara administrasi yang tak genting. Keliru besar jika kita hanya menggugat perkara ini di bagian hilir, yakni dikaitkan semata sebagai buruknya kerja KPU. Keliru besar jika sumber persoalan di hulu, yakni buruknya administrasi kependudukan yang kemudian menghasilkan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang sangat bermasalah, tidak ikut digugat dan diperbaiki (di kemudian hari).

Namun, di atas segalanya, potensi kekeliruan terbesar datang dari cara memahami persoalan. Sebagaimana sudah saya tegaskan di awal, ini bukan semata statistik jumlah orang yang tidak memilih, tetapi tragedi demokrasi yang sungguh serius.

Untuk jangka pendek, perlu perbaikan daftar pemilih dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena itu, kita selayaknya mendukung kesibukan tak biasa, Senin lalu di KPU. Tim dari ketiga pasang capres dan cawapres bekerja bersama para petugas KPU untuk memperbaiki daftar pemilih tetap untuk pemilu besok.

Langkah jangka pendek lain adalah merealisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Refly Harun dan Maheswara Prabandono untuk menguji Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pemilihan Presiden. MK melenturkan syarat administratif bagi pemilih dengan mempersilakan penduduk yang namanya tak ada dalam DPT untuk memilih menggunakan bukti KTP atau paspor.

Selepas itu, sambil mengelola agar pemilu tak ditandai oleh kecurangan dan kekerasan, setiap orang dengan segenap keterbatasan masing-masing selayaknya ikut menjadi pelaku sekaligus pengawas proses pencontrengan, pencatatan hasil, hingga selesainya keseluruhan prosesi Pilpres 2009.

Lalu, dalam jangka panjang, kisruh DPT adalah alarm yang berbunyi nyaring: betapa mendesaknya penertiban administrasi kependudukan dengan menimbang sejumlah hal. Pertama, selayaknya kita menggunakan sistem identitas tunggal yang efisien dan kredibel. Kedua, selayaknya dipikirkan mekanisme yang membuat semua orang—termasuk penduduk miskin dan mereka yang oleh aturan didefinisikan sebagai ”penduduk liar”—memiliki akses yang lapang terhadap identitas kependudukan.

Akhirnya, terlepas dari beragam kisruh yang kita dulang hari-hari ini, selamat menegakkan hak kewarganegaraan Anda! Selamat menentukan pilihan dan menjadi para penagih janji selepas pemilu!

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar