Minggu, 05 Juli 2009

Pilpres Iran Jangan Diimpor ke Indonesia

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam perspektif perkembangan pemikiran politik Muslim Syiah selama puluhan abad, pilpres Iran sebagai bagian dari sistem demokrasi tidak pernah terbayangkan. Sekiranya Revolusi 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini tidak meledak, Iran akan tetap saja berada di bawah sistem politik dinastik yang opresif. Adapun kondisi demokrasi belum seperti yang diharapkan dengan kenyataan masih bertenggernya maqam spiritual tertinggi yang sangat berkuasa di atas presiden sebagai sebuah superbody memang selalu menghambat program pemerintah di bawah pimpinan presiden terpilih. Mohammad Khatami yang sangat populer selama dua periode menjabat sebagai presiden Iran sungguh merasakan belitan gurita maqam tertinggi itu yang sekarang masih berada di bawah genggaman Ayatullah Ali Khamenei. Boleh jadi, pada saatnya nanti, demokrasi Iran akan melumpuhkan gurita itu sehingga seorang akan dapat secara bertanggung jawab melaksanakan tugasnya sebagai presiden pilihan rakyat. Tetapi, sistem demokrasi yang coba dikembangkan di Iran sungguh merupakan terobosan sejarah yang telah berhasil memutus rantai dinastik sampai batas-batas tertentu. Negara-negara Arab yang masih berpegang kepada sistem dinastik-despotik semestinya merasa malu dengan terobosan Iran ini.

Pada 12 Juni yang lalu, Iran baru saja melaksanakan pilpres yang sayang berbuntut kekerasan. Kekuatan reformis di bawah pimpinan Mir Hossein Mousavi tidak menerima hasil pilpres itu yang dinilai curang dan menuntut diadakan pemilihan ulang. Di belakang Mousavi, sesungguhnya berdiri Khatami dan Rafsanjani, keduanya adalah mantan presiden yang masih berpengaruh. Sekiranya aparat tidak sampai membunuh para demonstran, gaungan cacat demokrasi Iran tidak akan begitu membahana. Presiden terpilih Mahmoud Ahmadinejad tidak perlu terlalu tegang menghadapi entakan kaum reformis ini, dengan catatan tuduhan kecurangan pilpres benar-benar dibongkar secara jujur dan adil. Kita berharap agar Iran akan berhasil menyelamatkan demokrasinya yang belum berusia panjang. Apalagi, sebenarnya sistem itu asing dalam tradisi Syiah, sebagaimana telah disinggung di atas.

Sekarang, kita turun ke Indonesia. Pilpres langsung tahun 2004 relatif aman dan terkendali. Dunia luar memuji demokrasi rakyat yang mayoritas Muslim itu. Seorang pengamat pemilu Indonesia, Jimmy Carter misalnya, sampai-sampai mengatakan bahwa ternyata demokrasi selaras dengan ajaran Islam. Komentar Carter ini telah dikutip oleh media di seantero jagat. Demokrasi Indonesia jadi buah buah bibir di mana-mana: ternyata Islam Indonesia bersahabat dengan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi kita belum berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, itu masalah yang memang sangat mengganggu kita semua. 

Inilah salah satu tantangan yang menghadang pemerintah yang akan datang, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakilnya pada 8 Juli nanti. Demokrasi prosedural dan teknis yang telah berjalan relatif baik di Indonesia harus secepatnya diarahkan kepada tujuan sejati sistem itu: kesejahteraan bersama. Tanpa bergerak ke arah ini, demokrasi dapat menjadi bumerang dan malapetaka, sesuatu yang wajib dihindari oleh bangsa ini secara keseluruhan tanpa kecuali. Para elite sebagai pemain terdepan di panggung politik mesti mengantisipasi serba kemungkinan buruk ini. Caranya sederhana saja, yaitu ubah tingkah laku agar mendekati posisi calon negarawan.

Akhirnya, budaya kekerasan sebagai ekor pilpres Iran jangan dibawa ke Indonesia. Siapa pun yang terpilih nanti melalui pemilihan yang jujur dan adil harus diterima dengan penuh pengertian dan kesabaran. Di sinilah, peran KPU menjadi sangat krusial untuk mengurus masalah DPT semaksimal mungkin sehingga tuduhan serba curang akan terhapus dalam kosakata Pilpres 2009 ini. Saya mohon agar KPU sekarang mau belajar kepada KPU periode lalu yang ternyata jauh lebih profesional. Adapun suara teman kita, Permadi, agar Megawati dan JK memboikot pilpres tidak perlu dipertimbangkan, dengan catatan KPU bekerja maksimal dan belajar menjadi profesional. Taruhan di depan KPU sungguh dahsyat. Karena itu, harus tidak sungkan belajar kepada pendahulunya demi kepentingan masa depan demokrasi Indonesia.
(-) 
Index Koran

1 komentar:

  1. Sebetulnya ada apa dengan DPT dari sisi legal, ya?

    Di blog Cantik Selamanya, ada artikel bagus soal hal ini. Tiap Senin, memang Cantik Selamanya punya artikel legal.

    Judul artikelnya, "Ada Apa dengan DPT (Menjadi Manusia Utuh)"

    Bagus deh, orisinal, informatif, dan punya narasumber dari kalangan hukum.

    BalasHapus