Jumat, 03 Juli 2009

Anatomi Pilihan Presiden 2009

Mochtar Pabottingi 

Saya termasuk orang yang sebelumnya sangat ingin mempertahankan duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kini dengan tiga pasangan yang berlomba—Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto—hitung-hitungan politik harus dimulai baru lagi.

Kita perlu merumuskan tiga persyaratan bagi negara-nasion yang baik. Dengan itulah kita mengukur kondisi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Begitu pula modal politik tiap pasangan maupun perangkap-perangkap politik yang harus diwaspadai pada mereka. Analisis dan kesimpulan bisa ditarik dari situ.

Tiap negara-nasion hanya bisa tumbuh baik dengan tiga persyaratan. Pertama, jika kebijakan-kebijakan nasionalnya menguntungkan warga negara secara merata.

Kedua, jika pemerintah tekun menyimak hasrat-hasrat bajik dari rakyat di seluruh bagian negeri dan mengindahkan tiap hasrat itu dalam aneka kebijakannya. Ketiga, jika negara-nasion terus bekerja mengukuhkan kemandiriannya atau konsisten meningkatkan pengendaliannya atas segala bentuk kegiatannya secara terpuji tanpa didikte atau dilecehkan oleh kepentingan-kepentingan asing.

Di mana Indonesia?

Dalam lima tahun terakhir, keamanan menjadi lebih baik, pemerintahan berjalan relatif lancar, kanker korupsi tidak dibiarkan, dan faset-faset demokrasi terus dikembangkan. Ini patut disyukuri. Namun, kondisi positif ini harus diperhadapkan dengan ketiga persyaratan di atas.

Dengan kata lain, pertanyaan sentralnya ialah apakah di dalam kondisi itu bangsa kita makin sejahtera atau justru makin diperkuli. Juga apakah negara-nasion kita semakin merdeka atau makin terjajah.

Sejak awal upaya reformasi, alangkah banyak energi, legislasi, kebijakan, dan praktik pemerintahan yang tidak diperuntukkan bagi perbaikan hidup rakyat secara keseluruhan, apalagi untuk meningkatkan daya tahan nasional serta kelestarian lingkungan hidup bangsa kita. Pelbagai kekayaan alam dan sumber-sumber daya kita terus dijarah secara bebas dan besar-besaran.

Dalam hal kebijakan pembangunan, perdagangan, serta minyak dan gas, misalnya, sangat terasa kecenderungan atau bahkan perbudakan pada kepentingan-kepentingan asing. Dan sorotan paling tajam harus ditujukan pada kian beratnya beban utang yang harus ditanggung oleh bangsa kita selama beberapa generasi.

Dalam kondisi demikian sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir ketiga kriteria yang kita utarakan di depan sama sekali tak terpenuhi.

Modal politik 

Modal politik SBY-Boediono jelas bertumpu pada kesantunan/kehati-hatian yang sudah melekat pada sosok SBY dan sepanjang lima tahun ini telah terbangun, dan tampaknya cukup dihargai masyarakat. Dengan modal itu, SBY hampir selalu tampil pantas dan menyejukkan. Dia tidak menciptakan musuh-musuh.

Dalam kampanyenya sekarang, modal ini pula yang secara sadar dieksploitasi oleh tim sukses SBY. Boediono, calon wakil presiden, juga sama, santun dan hati-hati dan jelas melengkapi pemerintahan SBY dengan kemampuan teknokrasinya.

Modal politik Megawati tetap adalah pengaitan dengan sosok ayahandanya atau pertumpuan pada ”kultus Bung Karno”. Sejak terjun ke politik, itulah modal tunggal Megawati. Atas dasar itu pulalah dia terus diusung oleh para pendukungnya.

Prabowo, pendampingnya, juga sudah menerima jalan kultus itu. Dia tampaknya senang pada klaim Permadi yang ”melihat sosok Bung Karno” pada dirinya. Dalam kampanyenya di Ponorogo beberapa waktu lalu, dia sengaja memakai pantalon model tahun 1950-an yang kerap dipakai Bung Karno, khususnya pada momen Proklamasi.

Modal politik Jusuf Kalla (JK) adalah keterbukaan, keberanian, dan kecepatannya membaca situasi serta mengambil keputusan. Terlepas dari sosoknya yang kecil, kepercayaan dirinya sangat besar. Jiwa dan pikirannya transparan. Mungkin karena kombinasi itu semua, tak sulit baginya untuk menyambut uluran persahabatan atau berhadapan dengan tantangan. Dia memahami sekaligus memaksudkan hampir setiap kata-katanya. Kejujuran terpancar dari situ. Berhadapan dengan JK, kita seperti berhadapan dengan buku yang tiap lembarnya terbuka, kita tak berbicara dengan sosok bermasker. Sebagai pendamping, Wiranto adalah figur yang rendah hati, tidak gegabah, dan memiliki semangat keindonesiaan yang kuat. Itu adalah sifat serta aset yang pas untuk mendampingi JK.

Perangkap-perangkap politik 

Perangkap politik yang sangat mungkin menghadang pasangan SBY-Boediono adalah pembesaran defisit nyali eksekutif. Selama lima tahun ini defisit demikian juga ada dan berkali-kali mencuat di permukaan, tetapi itu banyak tertutupi oleh kesigapan, keberanian, dan terobosan JK.

Dalam hitungan itu, beda dengan pasangan SBY-JK, pasangan SBY-Boediono yang sama-sama santun tidak saling melengkapi. Dalam memerintah, kehati-hatian dan teknokrasi memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah keberanian mengambil keputusan tanpa terlalu banyak mengulur waktu.

Kita juga harus mempertanyakan kesantunan itu sendiri, apakah itu murni ataukah sejenis eskapisme, bahkan topeng. Kita tahu, tokoh Soeharto juga amat santun, tetapi kita juga tahu apa-apa saja yang tersembunyi di baliknya. Tidak menciptakan musuh-musuh adalah bajik. Namun, jauh lebih bajik adalah keberanian menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Memilih posisi tertentu setiap saat adalah niscaya dalam politik, dan tiap kali kita memilih pasti ada kawan ada lawan. Politisi maupun negarawan menjadi besar justru karena kejelasan posisi-posisi serta deretan kawan-lawannya.

Tiap kita yang mengikuti perilaku kepresidenan dalam lima tahun terakhir pasti menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh seorang SBY sebetulnya adalah figur yang cepat menanggapi, menentukan posisi, dan mengambil keputusan.

Sungguh mengkhawatirkan jika pilihan SBY atas Boediono semata-mata didasari oleh hitungan loyalitas. Sanggupkah Boediono memenuhi tuntutan sebagai pengisi defisit nyali eksekutif? Dengan kata lain, pada saat-saat tertentu, sanggupkah dia bertindak sebagai the real president seperti apa yang telah dilakukan oleh JK selama ini dalam posisi wakil?

Yang paling mencemaskan adalah kemungkinan perangkap politik yang sungguh bisa terjadi jika pasangan Megawati-Prabowo menang. Berhadapan dengan kecerewetan mekanisme politik demokratis, pasangan ini akan mudah tergoda untuk—mengulang langkah Bung Karno— lagi-lagi mendekritkan Indonesia ”kembali ke UUD 1945 yang asli”. Tak cuma sekali Megawati menyatakan hasratnya ke situ.

Dalam konteks politik ekstra cerewet dan supra mahal selama lima tahun terakhir, kembali ke UUD 1945 memang bisa disebut terobosan, tetapi ia pasti terobosan celaka. Megawati tampaknya tak kunjung menyadari bahwa pada hakikatnya UUD 1945 asli itulah yang telah membawa tragedi mahabesar dan bersimbah darah kepada bangsa kita dua kali berturut-turut, masing-masing 1965-1966 dan 1998-2001. Dia juga tidak menyadari bahwa kondisi pasca-Soeharto sama sekali beda dengan kondisi pasca-Demokrasi Terpimpin. Dulu ”Dekrit” dikawal oleh tokoh sekaliber Bung Karno dan TNI masih berwibawa. Kini kedua ”modal dekrit” itu sama sekali tiada.

Kita sepenuhnya memaklumi bahwa proses demokrasi memang cerewet, tetapi ”kecerewetan” itu perlu untuk laku prinsip saling kontrol saling imbang: kecerewetan adalah penangkal tragedi. Kita masih ingat betapa cerewetnya demokrasi Indonesia sepanjang 1950-1958 dan karena itulah ia terbebas dari tragedi nasional.

Bisa dipastikan bahwa betapa panjang pun tawar-menawar politik di Era Upaya Reformasi ini, di dalamnya tak pernah ada penumpukan kebencian. Orang tak menumpuk konflagrasi api dalam sekam seperti yang berlaku pada kedua rezim pendahulunya!

Bagi bangsa kita, dekrit demikian berarti balik ke pangkal proses menuju tragedi politik mahabesar untuk ketiga kalinya. Merisikokan satu lagi tragedi politik mahabesar ke depan berarti merisikokan tamatnya republik kita. Kita sepenuhnya menyadari bahwa UUD 1945 hasil amandemen masih memiliki titik-titik irasional, bahkan konyol, terutama pemberian kuasa berlebihan kepada lembaga legislatif, tetapi akan lebih konyol lagi jika substansi konstitusional yang membuat kekuasaan diraih secara kompetitif dan dikawal secara kritis lagi-lagi dihapuskan.

Dengan pemahaman politik Megawati yang sangat terbatas, sulit untuk melihat kemungkinan dia menyadari betapa besarnya bahaya pemberian kuasa nyaris total kepada lembaga eksekutif. Sama sulitnya untuk melihat kemungkinan dia mampu membalikkan absolutisme politik jika itu sudah tergenggam di tangannya.

Untuk pasangan JK-Wiranto, perangkap politik bisa datang dari dua arah. Perangkap pertama bagi pasangan ini bisa datang dari lingkaran dan kepentingan bisnis keluarga JK. Setidaknya begitulah penilaian sebagian kalangan.

Kemungkinan perangkap kedua bisa datang dari Partai Golkar. Partai ini tetaplah merupakan anatema peninggalan Orde Baru. Selama sepuluh tahun terakhir, para petinggi Golkar umumnya, begitu pula sebagian besar jajarannya, tetap menggandul pada motif-motif politik buruk dan praktik-praktik politik tak terpuji yang sudah berurat-berakar pada mereka sejak 1971.

Dominannya virus-virus tercela bawaan Partai Golkar inilah yang menyebar dan menjangkiti praktis semua partai lainnya. Dan jadilah wajah kepartaian kita seperti yang kita saksikan kini.

Kesimpulan 

Bagaimana melakukan ekstrapolasi dari ketiga pokok analisis yang telah dijabarkan di atas?

Saya yakin bahwa kesopanan/kehati-hatian yang terlalu diutamakan berdampak pada kelambanan mengambil sikap dan keputusan dalam pelbagai persoalan kenegaraan.

Ini cukup terbukti pada sosok SBY selama lima tahun terakhir. Saya juga meyakini argumen bahwa karier politik Megawati bertumpu pada ”kultus Bung Karno” seperti saya meyakini keyakinannya pada pernyataan-pernyataan politiknya untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.

Bagaimana tentang JK? Seingat saya memang sempat mencuat kasus-kasus di mana JK bisa dibaca sebagai telah melakukan favoritisme ekonomi, tetapi pada umumnya ini bisa ditepis secara efektif dan transparan olehnya dan tak satu pun yang dibawa ke pengadilan. Selama lima tahun terakhir, ”buku politik” maupun ”buku ekonomi” seorang JK senantiasa terbuka.

Saya juga yakin JK cukup memaklumi cacat-cacat yang lengket pada orang-orang partainya, termasuk bagaimana dia sendiri kerap dilecehkan oleh jajaran petinggi Golkar, terutama dalam dua kali masa memasuki pencalonan pasangan kepresidenan. Perlu dicatat bahwa JK sudah menjadi tokoh dan sudah orang berada sebelum aktif di Golkar.

Singkatnya, jika modal politik pasangan SBY-Boediono maupun Megawati-Prabowo terancam serius oleh perangkap-perangkap politik yang membayangi keduanya, tidak demikian halnya dengan JK. Modal politik JK sebagai tokoh yang memiliki keterbukaan, keberanian, dan kecepatan dalam membaca situasi serta mengambil keputusan akan tetap bertahan meskipun diperhadapkan dengan kedua perangkap politik yang membayanginya.

Maka, dari ketiga pasangan yang berlomba, pasangan JK-Wiranto berpotensi memiliki potensi besar untuk melakukan rangkaian perbaikan nyata atau terobosan konstruktif bagi bangsa. Kali ini, pembebasan Indonesia dari kungkungan keterpurukan berlarut-larut hanya bisa diharapkan dari mereka.

Mochtar Pabottingi Guru Besar Riset Ilmu Politik LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar