Kamis, 02 Juli 2009

SURVEI PEMILU "KOMPAS" Magnet Politik Tiga Kandidat Presiden

Bestian Nainggolan

Keputusan para pemilih untuk mencontreng salah satu dari ketiga kandidat presiden menjelang pemungutan suara semakin kokoh terbentuk. Di balik putusan mereka, daya pikat apa yang melekat pada ketiga kandidat presiden sehingga memengaruhi pilihan pemilih?

Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas, 4-14 Juni 2009, tidak hanya memotret tingkat keterpilihan dari masing-masing pasangan kandidat presiden, yang menempatkan secara berturut-turut pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto, dalam proporsi perolehan dukungan para pemilih. Selain itu, hasil survei ini pun menggambarkan karakteristik pemilih dari masing-masing pasangan kandidat presiden tersebut telah terpolakan dalam berbagai segmen identitas yang melekat.

Sebagai gambaran, para pemilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, sekalipun menyebar pada hampir setiap karakteristik pemilih, tetapi dukungan terhadap pasangan ini lebih banyak bertumpu pada para pemilih dengan latar belakang usia muda dan produktif dengan jenjang pendidikan menengah hingga tinggi. Dari sisi pekerjaan, rentang dukungan terhadap pasangan nomor urut dua ini juga cukup luas, mulai dari para pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, kalangan swasta, dan wiraswasta. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, pemilih bertumpu pada keluarga-keluarga yang berpengeluaran di atas Rp 1 juta per bulan.

Sangat kontras yang terjadi pada para pemilih pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Pemilih sangat identik dengan kalangan wong cilik yang menjadi simbol keberpihakan pasangan ini. Terbukti, para pemilih lebih bertumpu pada mereka yang yang berpendidikan rendah dan berusia relatif tua. Sebagian besar pemilih pasangan kandidat presiden ini bekerja sebagai petani dan nelayan dengan tingkat pengeluaran rumah tangga kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Perbedaan karakteristik para pemilih dari kedua kandidat presiden di atas akan semakin kontras lagi jika dibandingkan dengan karakteristik pemilih pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. Hasil kajian survei ini menunjukkan, karakteristik pemilih pasangan JK-Wiranto tampaknya secara khas terfokus pada segmen-segmen primordialitas tertentu, seperti mereka yang berasal dari kelompok etnis Bugis, Minang, Melayu, dan sebagian suku atau kelompok etnis di wilayah timur negeri ini. Di samping itu, identitas yang melekat bagi para pemilih pasangan ini tergolong dari kalangan berpendidikan tinggi, kondisi ekonomi yang cukup mapan dengan rata-rata pengeluaran keluarga di atas Rp 1,4 juta per bulan, dan diperkuat pula oleh latar belakang pekerjaan pegawai negeri sipil dan BUMN.

Basis dukungan

Pengelompokan masing-masing pemilih berdasarkan kesamaan identitas pada ketiga pasangan presiden yang telah tergambarkan tidak hanya bertutur mengenai karakteristik pemilih yang melekat saja. Pada sisi lain, pola segmentasi semacam ini menunjukkan pula adanya basis dukungan riil yang saat ini telah terbentuk sekaligus menjadi pilar kekuatan pada ketiga pasangan kandidat. Dalam peta persaingan perebutan suara, konsekuensi terbentuknya segmentasi semacam ini menjadi persoalan tersendiri bagi strategi penguasaan suara pemilih.

Dengan perkataan lain, guna menambah perolehan suara pendukung secara signifikan—terlebih mengubah konfigurasi penguasaan suara di antara para pasangan kandidat—diperlukan upaya sangat maksimal dari para pasangan kandidat tersebut untuk menguasai para pemilih di luar segmen pemilih yang telah terkuasai. Bagi pasangan JK-Wiranto, misalnya, guna meningkatkan posisi keterpilihan mereka, pasangan ini harus mampu memikat para pemilih yang berasal dari segmen wong cilik dan segmen pemilih pasangan SBY-Boediono yang tampak lebih merata tersebar. Demikian pula bagi pasangan Mega-Prabowo, harus mampu pula memikat kalangan di luar karakter khas pemilih pasangan ini.

Upaya setiap pasangan kandidat untuk memikat para pemilih di luar segmen yang telah sedemikian terbentuk ini sudah barang tentu tidak mudah, terlebih semakin tipisnya sisa waktu yang tersedia jelang pemungutan suara. Demikian pula, telaah terhadap karakteristik para pemilih semacam ini hanya salah satu dari faktor yang memperkuat kenyataan telah sedemikian kokohnya pilihan politik yang terbentuk pada benak pemilih. Di samping faktor adanya kesamaan-kesamaan identitas yang melekat pada para pemilih, hasil survei ini juga mengungkapkan bahwa putusan memilih di antara ketiga pasangan kandidat didasarkan pula oleh pertimbangan masing- masing pemilih terhadap karakter yang melekat pada ketiga pasangan kandidat, khususnya kandidat presiden yang saling bersaing. Karakter yang melekat pada ketiga pasangan inilah yang menjadi daya pikat bagi pemilih saat memilih.

Daya pikat

Para pemilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, menurut hasil survei ini (Grafik), merupakan kalangan yang sebagian besar memiliki kecenderungan pandangan bahwa presiden pilihan mereka berjenis kelamin laki-laki. Tidak hanya cukup berjenis kelamin laki-laki, bagian terbesar dari pemilihnya pun cenderung menyukai sosok presiden yang berlatar belakang militer. Selanjutnya, figur Yudhoyono menjadi pilihan paling ideal bagi mereka lantaran di samping memenuhi kedua syarat di atas, juga pandangan kalangan ini yang menyatakan bahwa kadar kewibawaan Yudhoyono yang tinggi.

Sisi lain, sebenarnya terdapat pula kalangan pemilih pasangan ini yang juga mengidealkan pilihannya tidak hanya pada sosok kalangan militer maupun harus berjenis kelamin laki-laki. Sosok presiden yang berlatar belakang nonpengusaha, misalnya, menjadi salah satu daya tarik pemilih untuk memilih pasangan ini. Demikian pula terdapat sebagian pemilih pasangan ini yang berjenis kelamin perempuan dan sebenarnya menoleransikan pilihan mereka terhadap presiden perempuan. Hanya, dalam pilihan tidak identik dengan pilihan calon presiden perempuan. Alasannya, sosok kejujuran dan kewibawaan pasangan SBY bagi mereka tercitra masih jauh lebih kuat.

Kajian terhadap daya pikat pasangan Megawati-Prabowo terhadap para pemilihnya mengungkapkan temuan yang berbeda. Para pendukung pasangan ini menganggap ideal sosok ketegasan Megawati di samping memiliki pandangan perempuan pun ideal menjadi pemimpin negara. Selanjutnya, faktor-faktor yang melekat pada diri Megawati, khususnya aspek kejujuran, menjadi pertimbangan utama pilihan mereka. Faktor lainnya, tidak semata-mata pada figur yang melekat pada Megawati. Kalangan yang berpandangan bahwa latar belakang partai politik calon presiden pilihan mereka berasal dari partai-partai bercorak non- keagamaan, pun menjadi alasan mereka memilih pasangan Megawati-Prabowo.

Jika para pemilih kedua pasangan kandidat, baik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono maupun Megawati Soekarnoputri-Prabowo, secara signifikan menganggap bahwa jenis kelamin calon presiden menjadi pertimbangan mereka, tidak demikian yang terjadi pada para pemilih pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. Bagi kalangan pemilih pasangan ini, faktor primordialitas seperti kesukuan—khususnya berasal dari non-Jawa— menjadi daya pikat para pemilih kalangan ini. Setelah aspek kesukuan, pemilih pasangan ini juga terpikat oleh karakter kejujuran, kelugasan Jusuf Kalla yang dinilai tinggi oleh para pemilih. Latar belakang pengusaha yang disandang Jusuf Kalla sebelum menjabat sebagai wakil presiden pun menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilihnya.

Berbagai pemaparan daya pikat yang dimiliki masing-masing pasangan kandidat tampaknya telah terpolakan sedemikian kuat. Terbukti pula karakter masing-masing calon presiden telah menjadi magnet yang memengaruhi para pemilih dalam penentuan keputusan politik mereka. Dalam kondisi seperti ini, sulit menguak celah perubahan putusan politik para pemilih.

(Litbang ”Kompas”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar