Kamis, 02 Juli 2009

Demokrasi dan Politisasi Agama

HENDARDI 

Mencermati kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang hampir berakhir, tidak banyak hal menarik yang diperdebatkan dan memberi pendidikan demokrasi bagi warga negara.

Debat yang didesain Komisi Pemilihan Umum, yang seharusnya menjadi ajang penggalian visi, misi, dan agenda pembangunan para kandidat, berubah menjadi monolog kandidat dan membosankan. Bahkan, debat itu jauh lebih membosankan dari dinamika perdebatan para kandidat yang terekam di media massa.

Alih-alih menyajikan perdebatan bermutu bagi demokrasi, hiruk pikuk kampanye pilpres justru dicederai politisasi agama, yang entah dari mana munculnya; baik seputar kesalehan personal kandidat, performa pakaian para istri kandidat, maupun pilihan agama dan orientasi keberagamaan seorang kandidat.

Politisasi agama bekerja dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan domain personal ke arena publik. Keberagamaan dan menganut agama adalah soal asasi karena merupakan kebebasan sipil yang dijamin Konstitusi RI dan berbagai instrumen internasional hak asasi manusia. Namun, di tengah kontestasi politik yang tidak sehat, semua kebebasan sipil itu bisa dieksploitasi untuk dua kepentingan, menundukkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.

Jika politisasi diperagakan untuk menundukkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.

Dua model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah tindakan yang mencederai demokrasi: sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja pada aras dan arena rasional. Lebih dari itu, demokrasi memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan.

Mencederai demokrasi

Politisasi agama dalam praktik politik Indonesia sering terjadi meski tidak pernah memberi kontribusi signifikan pada kemenangan seorang kandidat. Pemilu 2004 misalnya, di mana para kandidat yang diusung berbagai kelompok keagamaan dan memantik emosi umat sebagai salah satu cara mendulang dukungan, nyatanya tidak mengalahkan SBY-JK.

Karakter buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah labeling berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap suatu subyek, baik personal maupun golongan, yang pada gilirannya terjadi peminggiran sistematis terhadap subyek dan menghapus hak-haknya untuk diperlakukan setara. Sebenarnya, politisasi agama juga merupakan cara berpolitik yang tidak rasional karena memperdebatkan sesuatu yang bukan merupakan domain politik. Di dalamnya melekat pula pembodohan sistematis kepada publik, suatu yang seharusnya dihindari dalam berdemokrasi. Kontestasi ide menjadi kabur oleh aneka bangunan sentimen identitas. Karena itu, demi penguatan demokrasi yang lebih berkualitas, politisasi identitas (agama) wajib dihindari. Berdemokrasi dan berkontestasilah secara rasional dan cerdas dengan memperdebatkan substansi-substansi yang menjawab kebutuhan masyarakat.

Politisasi agama, pada saat bersamaan, sama berbahayanya dengan pilihan politik pencitraan yang kini menjadi tren politik baru dalam praktik politik Indonesia.

Merugikan

Dalam sejarah politik Indonesia, politisasi agama belum pernah meraih keuntungan politik signifikan dalam sebuah kontestasi. Jika ada fase di mana aneka kelompok agama mampu merengkuh dukungan besar, keberhasilan itu tidak pernah konstan dan bertahan lama karena sebenarnya yang mengikat mereka adalah emosi instan dan sesaat, bukan ikatan ideologis permanen. Hasil pemilu legislatif 2009 telah mengonfirmasi sekian kali tesis ini. Sejumlah partai yang selama ini gemar melakukan politisasi tetapi masih tetap mendapat dukungan diyakini disebabkan bukan oleh benefit politisasi agama, tetapi karena kinerja dan agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan, yang bisa meyakinkan publik untuk dipilih.

Praktik politisasi agama dan identitas lain yang mutakhir adalah ketika RUU Pornografi dibahas di parlemen pada 2007-2008. Semua bangunan logika RUU yang disahkan menjadi UU No 44/2008 akhir 2008 tidak ada yang rasional, baik dari segi filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Namun, dengan keyakinan akan meraih keuntungan politik besar pada pemilu legislatif, parlemen memaksakan diri mengesahkan RUU ini menjadi UU. Apa yang terjadi pada Pemilu 2009? Partai-partai itu rontok dan tiga besar diduduki partai-partai nasionalis. Bagaimana dengan Partai Demokrat, yang saat itu memegang kendali di Panitia Khusus DPR? Penjelasannya sederhana. Kemenangan Demokrat bukan karena mengusung RUU Pornografi dan kecerdasan melakukan politisasi, tetapi karena faktor ”keberhasilan” kinerja SBY yang berhasil dikomunikasikan kepada publik.

Kesimpulannya, kini politisasi agama tetap menjadi barang tak layak jual dalam kontestasi politik Indonesia. Para politisi di daerah, di tengah otonomi daerah, yang selama ini yakin dengan jalan politisasi agama untuk merengkuh dukungan politik kursi bupati/wali kota dengan memproduksi perda-perda agama, saat ini pun meninggalkan cara ini karena ternyata merugikan. Selain itu, dengan menolak ide kesetaraan, penghapusan diskriminasi, dan mengingkari keragaman hakiki bangsa Indonesia, cara ini jelas antidemokrasi.

HENDARDI Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar